Informasi, Pers, Pos, dan PeriklananKeagamaan, Ibadah, dan Penyelenggaraan HajiKehutanan dan PerkebunanKesehatanKetenagakerjaanKonstruksi, Sipil, Arsitek, Bangunan, dan InfrastrukturPariwisata dan KebudayaanPenanaman Modal dan InvestasiPendidikanPerikanan dan KelautanPerlindungan Usaha, Perusahaan, Badan Usaha, PerdaganganPertambangan Migas, Mineral dan EnergiPangan, Pertanian dan PeternakanTelekomunikasi, Informatika, dan InternetTransportasi Darat/Laut/UdaraPertahanan dan Keamanan, MiliterPerizinan, Pelayanan PublikPerindustrianPerumahan, PermukimanCipta Kerja
Status Peraturan
Mengubah
UU No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 103 UU Nomor 11 Tahun 2020 menambah satu pasal diantara Pasal 53 dan Pasal 54 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 114 dan Pasal 176 angka 4 ayat (4) dalam Pasal
252 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tettang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang
UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang
Untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Upaya penyesuaian berbagai aspek pengaturan tersebut, dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 UUD 1945; Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; dan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
UU ini mengatur mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Sepuluh ruang lingkup UU ini adalah: 1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; 2) ketenagakerjaan; 3) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; 4) kemudahan berusaha; 5) dukungan riset dan inovasi; 6) pengadaan tanah; 7) kawasan ekonomi; 8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan 10) pengenaan sanksi.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 02 November 2020.
Pada saat UU ini mulai berlaku, Peraturan pelaksanaan dari UU ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan, dan semua peraturan pelaksanaan dari UU yang telah diubah oleh UU ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu diganti;
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan adalah Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan perlu diganti, agar dapat memenuhi perubahan paradigma penyelenggaraan Perkebunan, menangani konflik sengketa Lahan Perkebunan, pembatasan penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana Perkebunan, izin Usaha Perkebunan, sistem data dan informasi, dan sanksi bagi pejabat.
Tujuan penyelenggaraan Perkebunan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri, memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan. Penyelenggaraan Perkebunan tersebut didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi- berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Adapun lingkup pengaturan penyelenggaraan Perkebunan meliputi: perencanaan, penggunaan lahan, perbenihan, budi daya Tanaman Perkebunan, Usaha Perkebunan, pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan, penelitian dan pengembangan, sistem data dan informasi, pengembangan sumber daya manusia, pembiayaan Usaha Perkebunan, penanaman modal, pembinaan dan pengawasan, dan peran serta masyarakat.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian sumber daya genetik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai introduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan mengenai tata cara mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai standar minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai pelaksanaan integrasi dan diversifikasi usaha diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin Usaha Perkebunan, luasan lahan tertentu untuk usaha budi daya Tanaman Perkebunan, dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Perkebunan berkelanjutan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia Perkebunan diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan, lembaga pembiayaan, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.
Undang-undang (UU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
ABSTRAK:
bahwa hutan, sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang;
bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional;
bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).
Ruang lingkup undang-undang ini meliputi (i) pencegahan perusakan hutan; (ii) pemberantasan perusakan hutan; (iii) kelembagaan; (iv) peran serta masyarakat; (v) kerja sama internasional; (vi) pelindungan saksi, pelapor, dan informan; (vii) pembiayaan; dan (viii) sanksi.
Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.
Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.
Upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui pembuatan kebijakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan peningkatan peran serta masyarakat. Dalam rangka pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini mengatur kategori dari perbuatan perusakan hutan terorganisasi, baik perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan terkait lainnya. Guna meningkatkan efektivitas pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini dilengkapi dengan hukum acara yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.
Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 06 Agustus 2013.
a. ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan
b. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan barang bukti hasil perusakan hutan yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan tata cara peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja lembaga diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Undang-undang (UU) tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan
ABSTRAK:
bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia;
bahwa pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan;
bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan;
bahwa untuk mewujudkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan;
bahwa pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan dewasa ini masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga belum dapat memberikan dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
3. SASARAN PENYULUHAN
4. KEBIJAKAN DAN STRATEGI
5. KELEMBAGAAN
6. TENAGA PENYULUH
7. PENYELENGGARAAN
8. SARANA DAN PRASARANA
9. PEMBIAYAAN
10. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
11. KETENTUAN SANKSI
12. KETENTUAN PERALIHAN
13. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 November 2006.
-
Untuk melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja penyuluhan pada tingkat pusat, diperlukan wadah koordinasi penyuluhan nasional nonstruktural yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
Untuk menunjang kegiatan Badan Koordinasi Penyuluhan pada tingkat provinsi dibentuk sekretariat, yang dipimpin oleh seorang pejabat setingkat eselon IIa, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur.
Badan pelaksana penyuluhan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Balai Penyuluhan bertanggung jawab kepada badan pelaksana penyuluhan kabupaten/kota yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan programa penyuluhan diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja dan metode penyuluhan ditetapkan dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan prasarana diatur dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 13 Agustus 2004.
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan YME yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional termasuk di dalamnya pembangunan perkebunan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya. Perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ini diatur mengenai Asas, Tujuan, dan Fungsi penyelenggaraan perkebunan. Pengaturan perkebunan meliputi perencanaan, penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengolahan dan pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, pembiayaan, serta pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perkebunan dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 2004.
Telah dilakukan uji materiil oleh MK dengan putusan nomor 55/PUU-VIII/2010.
Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Varietas Tanaman
ABSTRAK:
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara agraris, maka pertanian yang maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan yang penting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional;
bahwa untuk membangun pertanian yang maju, efisien, dan tangguh perlu didukung dan ditunjang antara lain dengan tersedianya varietas unggul;
bahwa sumberdaya plasma nutfah yang merupakan bahan utama pemuliaan tanaman, perlu dilestarikan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka merakit dan mendapatkan varietas unggul tanaman tanpa merugikan pihak manapun yang terkait guna mendorong pertumbuhan industri perbenihan;
bahwa guna lebih meningkatkan minat dan peranserta perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman perlu diberikan hak tertentu serta perlindungan hukum atas hak tersebut secara memadai;
bahwa sesuai dengan konvensi internasional, perlindungan varietas tanaman perlu diatur dengan undang-undang.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3398) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3680);
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).
1. KETENTUAN UMUM
2. LINGKUP PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
3. PERMOHONAN HAK PERLINDUNGAN
VARIETAS TANAMAN
4. PEMERIKSAAN
5. PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
6. BERAKHIRNYA HAK PERLINDUNGAN
VARIETAS TANAMAN
7. BIAYA
8. PENGELOLAAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
9. HAK MENUNTUT
10. PENYIDIKAN
11. KETENTUAN PIDANA
12. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 20 Desember 2000.
-
Ketentuan mengenai penggunaan oleh Pemerintah atas varietas yang dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan oleh Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan, kualifikasi Pemeriksa PVT dan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Ketentuan mengenai pemberian atau penolakan permohonan hak PVT berikut bentuk dan isinya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Susunan organisasinya, tata kerja Komisi Banding PVT, tata cara permohonan dan pemeriksaan banding, serta penyelesaiannya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Ketentuan mengenai perjanjian lisensi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai Lisensi Wajib diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU ini diatur mengenai penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembagian hutan berdasarkan statusnya yang terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Selain itu, hutan harus dilakukan pengelolaan yang dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berupa: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 30 September 1999.
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku: oschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63; dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketetnuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Telah dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
Undang-undang (UU) tentang Sistem Budidaya Tanaman
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 30 April 1992.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat