Informasi, Pers, Pos, dan PeriklananKeagamaan, Ibadah, dan Penyelenggaraan HajiKehutanan dan PerkebunanKesehatanKetenagakerjaanKonstruksi, Sipil, Arsitek, Bangunan, dan InfrastrukturPariwisata dan KebudayaanPenanaman Modal dan InvestasiPendidikanPerikanan dan KelautanPerlindungan Usaha, Perusahaan, Badan Usaha, PerdaganganPertambangan Migas, Mineral dan EnergiPangan, Pertanian dan PeternakanTelekomunikasi, Informatika, dan InternetTransportasi Darat/Laut/UdaraPertahanan dan Keamanan, MiliterPerizinan, Pelayanan PublikPerindustrianPerumahan, PermukimanCipta Kerja
Status Peraturan
Mengubah
UU No. 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 103 UU Nomor 11 Tahun 2020 menambah satu pasal diantara Pasal 53 dan Pasal 54 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 114 dan Pasal 176 angka 4 ayat (4) dalam Pasal
252 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2O2O tettang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang
UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang
Untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Upaya penyesuaian berbagai aspek pengaturan tersebut, dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 UUD 1945; Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; dan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
UU ini mengatur mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Sepuluh ruang lingkup UU ini adalah: 1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; 2) ketenagakerjaan; 3) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; 4) kemudahan berusaha; 5) dukungan riset dan inovasi; 6) pengadaan tanah; 7) kawasan ekonomi; 8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan 10) pengenaan sanksi.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 02 November 2020.
Pada saat UU ini mulai berlaku, Peraturan pelaksanaan dari UU ini wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan, dan semua peraturan pelaksanaan dari UU yang telah diubah oleh UU ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini dan wajib disesuaikan paling lama 3 (tiga) bulan.
bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pcsantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28B, Pasal 29, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang tentang Pesantren mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Melalui Undang-Undang tentang Pesantren, penyelenggaraan Pendidikan Pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-Undang tentang Pesantren memberikan landasan hukum bagi rekognisi terhadap peran Pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, tradisi, nilai dan norma, varian dan aktivitas, profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, serta proses dan metodologi penjaminan mutu. Undang-Undang tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum afirmasi atas jaminan kesetaraan tingkat mutu lulusan, kemudahan akses bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan fasilitasi dalam pengembangan Pesantren.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 16 Oktober 2019.
UU No. 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
ABSTRAK:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Salah satu jaminan negara atas kemerdekaan beribadah ialah memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB I Ketentuan Umum
BAB II Jemaah Haji
BAB III Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
BAB IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
BAB V Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah
BAB VI Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
BAB VII Penyelenggaraan Ibadah Umrah
BAB VIII Koordinasi
BAB IX Peran Serta Masyarakat
BAB X Penyidikan
BAB XI Larangan
BAB XII Ketentuan Pidana
BAB XIII Ketentuan Peralihan
BAB XIV Ketentuan Penutup
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2019.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang.
Undang-undang (UU) tentang Pengelolaan Keuangan Haji
ABSTRAK:
1. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. jumlah WNI yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji terus meningkat sedangkan kuota haji terbatas sehingga jumlah jemaah haji tunggu meningkat;
3. peningkatan jumlah jemaah haji tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji;
4. akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel, memerlukan payung hukum yang kuat.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
semua ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang ini.
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat;
bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya;
bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal;
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut.
Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang- Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
-
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.
bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Ketentuan umum;
2. BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
3. PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
4. PEMBIAYAAN
5. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
6. PERAN SERTA MASYARAKAT
7. SANKSI ADMINISTRATIF
8. LARANGAN
9. KETENTUAN PIDANA
10. KETENTUAN PERALIHAN
11. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 25 November 2011.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 09 Oktober 2009.
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 23 September 1999.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat