ABSTRAK: |
- a. bahwa dalam rangka menjamin kesinambungan
pengelolaan bahan tambang yang merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan, diperlukan pengaturan sehingga cadangan yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana dengan berpedoman pada pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
b. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pertambangan Umum sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan pengaturan kembali dibidang pertambangan yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi bahan tambang secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efesien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan daerah secara berkelanjutan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Barru tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1822);
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara .Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4959);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699 );
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5142);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
21. Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 3 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintah Daerah Yang Menjadi
Kewenangan Pemerintah Kabupaten Barru (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru Nomor
01);
22. Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 5 Tahun
2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun 2008 Nomor 26 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru Nomor 3);
23. Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 8 Tahun
2008 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan
Daerah Kabupaten Barru (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun 2008 Nomor 24, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru Nomor 6);
- PERATURAN DAERAH TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Barru.
2. Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Bupati adalah Bupati Barru.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah
Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barru sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
Barru.
7. Inspektur Tambang adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pengujian dibidang pertambangan.
8. Pejabat adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tertentu di bidang Pertambangan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang Pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Koperasi adalah Badan Usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
11. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengelahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
12. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang
memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan Kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
13. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonat yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
14. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
15. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.
16. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan Pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
17. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha Pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
18. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha Pertambangan yang meliputi konstruksi penambangan, pengolahan, pemurnian termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian, dampak lingkungan terkait dengan hasil studi kelayakan
19. Studi Kelayakan adalah kegiatan usaha Pertambangan untuk
memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha Pertambangan termasuk kelayakan teknis, administrasi, lingkungan dan keuangan.
20. Penelitian adalah kegiatan pengumpulan, pengelolaan, analisis dan pengujian data yang dilakukan secara sistematis dan obyektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum.
21. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
22. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi
23. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP
adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP
24. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
25. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang.
26. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
27. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan
tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan.
28. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
29. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
30. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
31. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
33. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
34. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
35. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan
pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
36. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk
memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
37. Kegiatan Pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
38. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan/atau usaha kegiatan.
39. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
40. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
41. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
42. Lahan Bekas Tambang adalah lahan wilayah IUP yang telah dilakukan
penambangan sampai pada batas kedalaman penggalian maksimal yang diperbolehkan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat;
dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara.
BAB III KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 4
(1) Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan
penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta
ekspor kepada Menteri dan gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB IV
PENYELIDIKAN DAN PENELITIAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan dan Penelitian
Pasal 5
(1) Pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan.
(2) Penyelidikan dan penelitian sebagaimana maksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bupati pada wilayah Kabupaten dan/atau Laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
(3) Penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi, memuat:
a. formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara;
b. data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertarnbangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telahdikembalikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya;
c. data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yangmasih berlaku, yang sudah berakhir, dan/atau yangsudah dikembalikan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupatisesuai dengan kewenangannya; dan/atau
d. interpretasi penginderaan jauh, baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi.
(4) Bupati dapat mengusulkan suatu wilayah penugasan untuk dilakukan
penyelidikan dan penelitian pertarnbangan kepada Menteri atau
Gubernur.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan
penelitian pertambangan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 6
(1) Data hasil penyelidikan dan penelitian dikumpulkan dan diolah sesuai dengan standard nasional pengolahan data geologi oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelidikan dan penelitian
pengembangan pertambangan diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan Pertambangan
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau
memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral danbatubara.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana maksud pada
ayat (1)dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana maksud pada
ayat (2) dananya dapat berasal dari APBN, APBD dan/atau pihak lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan pertambangan diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB V
WILAYAH PERTAMBANGAN
Pasal 8
(1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP);
b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); dan c. Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
BAB VI
WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN (WIUP) DAN
WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT (WPR)
Bagian Kesatu
Wilayah Izin Usaha Pertambangan(WIUP)
Pasal 9
Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP harus memenuhi kriteria:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk.
Pasal 10
(1) Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan berada pada Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan ditetapkan oleh Bupati berdasarkan permohonan dari Badan Usaha, Koperasi, atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Ketentuan mengenai pemberian WIUP diatur dalam Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
Pasal 12
(1) WPR ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) WPR ditetapkan dalam wilayah pertambangan dan berada diluar WUP
dan WPN.
(3) Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.
Pasal 13
(1) Bupati menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR berdasarkan peta potensi mineral, dan/atau peta potensi/cadangan mineral dan batubara.
(2) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR olehBupatisetelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
(3) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Bupati kepada Menteri dan Gubernur.
Pasal 14
Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai
dan/atau diantara tepi dan tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c. endapan teras, dataran banjir dan endapan sungai purba;
d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima)
hektar;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
Pasal 15
(1) Bupati menetapkan batas wilayah pertambangan rakyat yang dapat ditambang maupun tertutup bagi kegiatan usaha pertambangan.
(2) Berdasarkan pertimbangan tertentu Bupati dapat menutup sebagian atau seluruh wilayah pertambangan yang sedang diusahakan.
(3) Wilayah Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
wilayah/tempat yang dianggap suci, bangunan sejarah, tempat fasilitas umum, hutan lindung dan pertimbangan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENGGOLONGAN BAHAN GALIAN DAN PERIZINAN
Bagian Pertama
Penggolongan Bahan Galian
Pasal 16
(1) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ditujukan untuk melaksanakan kebijakan dalam mengutamakan penggunaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.
(2) Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang:
a. mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya;
b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin;
c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir
kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen;
d. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, garnet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanahmerah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan
e. batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut
Bagian Kedua
Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Pasal 17
(1) IUP diberikan oleh Bupati apabila WIUP berada dalam 1 (satu) wilayah
Kabupaten.
(2) IUP diberikan kepada :
a. Badan Usaha;
b. Koperasi; dan/atau
c. Perseorangan.
(3) IUP terdiri atas dua tahap :
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan
studi kelayakan; dan
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
(4) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan untuk 1(satu) jenis mineral atau batubara.
(5) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 18
(1) Badan Usaha, Koperasi dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan financial.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan administrasi, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan financial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 19
(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf a
memuat sekurang-kurangnya :
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. dokumen lingkungan
(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
huruf b memuat sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu berlakunya IUP;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. penyelesaian masalah pertanahan;
j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang l. perpanjangan IUP;
m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang
baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan
x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara.
(3) Bentuk dan format IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
IUP Eksplorasi
Pasal 20
(1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.
(2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 21
IUP Eksplorasi diberikan oleh Bupati untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Bupati.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan.
(3) Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh
Bupati sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Keempat
IUP Operasi Produksi
Pasal 23
(1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi
Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
(3) Mineral atau Batubara yang tergali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai iuran produksi.
Pasal 24
(1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan dapat diperpanjang 2 ( dua ) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
2 (dua) kali masing – masing 5 (lima) tahun.
(5) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 25
Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/ataupengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian;
dan/atau
c. IUP Operasi Produksi.
(1) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a diberikan oleh:
a. Menteri apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas provinsi dan negara;
b. gubernur apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan
lintas kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota apabila kegiatan pengangkutan danpenjualan dalam
1 (satu) kabupaten/kota.
(2) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b diberikan oleh:
a. Menteri, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari
provinsi lain dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas provinsi;
b. Gubernur, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari
beberapa kabupaten/kota dalam 1 (satu)provinsi dan/atau lokasi kegiatan pengolahan danpemurnian berada pada lintas kabupaten/kota; atau
c. Bupati/walikota, apabila komoditas tambang yang akan diolah
berasal dari 1 (satu) kabupaten/kota dan/ataulokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1(satu) kabupaten/kota.
(3) Dalam hal komoditas tambang yang akan diolah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berasal dari impor, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian diberikan oleh Menteri.
Bagian Kelima
Izin Pertambangan Rakyat
Pasal 27
(1) IPR diberikan oleh Bupati, kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok masyarakat; dan /atau;
c. koperasi.
(2) Untuk memperoleh IPR sebagaimanadimaksud pada ayat (1) pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada Bupati.
(3) Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelompokkan sebagai berikut :
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan batuan; dan/atau d. pertambangan batubara.
(4) Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. kedalaman sumur dan terowongan paling dalam 25 meter;
b. dapat menggunakan pompa-pompa mekanik, penggelundungan atau
permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 horse power; dan c. dilarang menggunakan alat-alat berat dan bahan peledak.
Pasal 28
(1) Dalam ketentuan IPR luas wilayah dapat ditentukan sebagai berikut:
a. Perorangan paling banyak 1 (satu) hektar;
b. Kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar; dan/atau c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 29
Tata cara untuk mendapatkan IPR diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak Pemegang IUP
Pemegang IUP berhak :
Pasal 30
a. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi;
b. memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku;
c. mendapat pembinaan, pengawasan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknik pertambangan dan manajemen dari Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
d. pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.
Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang IUP
Setiap pemegang IUP wajib :
Pasal 31
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi indonesia;
c. memenuhi segala sesuatu yang berkaitan dengan pembiayaan (pajak,
retribusi, iuran) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menyampaikan laporan produksi setiap bulan dan laporan kegiatan
setiap 3 (tiga) bulan yang tata cara dan bentuknya ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati;
e. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara;
f. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
g. memenuhi batas toleransi daya dukung lingkungan;
h. menjamin penerapan standard dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu Daerah;
i. menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
j. mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32
(1) Pemegang IUP wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana
pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi.
(2) Pemegang IUP menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
pasca tambang.
(3) Bupati dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan apabila pemegang IUP tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut rnengenai reklamasi dan pascatambang serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 34
Pemegang IUP wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 35
Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 37
(1) Pemegang IUP wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 38
(1) Pemegang IUP bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang
diakibatkan dari usaha pertambangan baik dalam lingkup Wilayah UsahaPertambangannya maupun di luar, baik dilakukan disengaja maupun tidak.
(2) Kerugian yang diakibatkan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang IUP
dibebankan kepada pemegang IUP.
Bagian Ketiga
Hak Pemegang IPR
Pemegang IPR berhak:
Pasal 39
a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintahdan/ atau Pemerintah Daerah; dan
b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dibidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat.
(2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi:
a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. pengelolaan lingkungan hidup; dan c. pasca tambang.
Pasal 41
(1) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 ayat (2), Pemerintah Daerah mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) PemerintahDaerah wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri yang membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral dan kepada Gubernur.
Bagian Keempat
Kewajiban Pemegang IPR
Pemegang IPR wajib:
Pasal 42
a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
IPR diterbitkan;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yangberlaku;
c. mengelola lingkungan hidup bersama Pemerintah Daerah;
d. membayar pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.
Pasal 43
(1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknispertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 44
(1) Pemegang IPR bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang diakibatkan dari usaha pertambangan baik dalam lingkup wilayah Kuasa Pertambangannya maupun di luar, baik dilakukan disengaja maupun tidak.
(2) Kerugian yang diakibatkan pemegang IPR dibebankan kepada pemegang
IPR.
BAB IX
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 45
(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IPR apabila terjadi :
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;atau
c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
(2) Penghentian sementarakegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IPR.
(3) Permohonan penghentian sementara kegatan usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bupati.
(4) Penghentian sementara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf (c) dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Bupati.
(5) Bupati sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.
Pasal 46
(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.
(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP atau IPR sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya.
(3) Bupati sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian
sementara setelah menerima laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2).
Pasal 47
(1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan
karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah Daerah tidak berlaku.
(2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan
karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah Daerah tetap berlaku.
(3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP terhadap Pemerintah Daerah tetap berlaku.
BAB X BERAKHIRNYA IUP DAN IPR
IUP atau IPR berakhir karena:
a. dikembalikan;
b. dicabut; atau
c. habis masa berlakunya
Pasal 48
Pasal 49
(1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP dan IPR dengan pernyataan tertulis kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pengembalian IUP atau IPR sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.
Pasal 50
IUP atau IPR dapat dicabut oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IPR tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IPR serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. pemegang IUP atau IPR melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
c. pemegang IUP atau IPR dinyatakan pailit.
Pasal 51
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP atau IPR telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, maka IUP atau IPR tersebut berakhir.
Pasal 52
(1) Pemegang IUP atau IPR berakhir karena alasan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51, wajib
memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban pemegang IUP atau IPR sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 53
(1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikembalikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya.
(2) WIUP yang IUP-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditawarkan kepada Badan Usaha, Koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(3) WPR yang IPR-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan permohonan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau Koperasi melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 54
Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati.
BAB XI
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 55
(1) Hak atas WIUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 56
Pemegang IUP dan/atau IPR hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Pasal 57
(1) Pemegang IUP sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemegang IUP Operasi produksi atau IPR wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama dengan pemegang hak atas tanah.
(3) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP.
Pemegang IUP atau IPR yang telah menyelesaikan terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Hak atas IUP atau IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.
BAB XII
KOMODITAS TAMBANG LAIN DALAM WIUP
Pasal 60
(1) Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diiberikan dalam IUP, maka harus diterbitkan IUP tersendiri.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh prioritas dalam mengusahakan komunitas tambang lainya yang ditemukan.
(3) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membentuk badan usaha baru.
(4) Apabila pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi tidak
berminat atas komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kesempatan pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah.
(5) Pihak lain yang mendapatkan IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berkoordinasi dengan pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi pertama untuk membicarakan hal-hal yang dipandang perlu dalam pengelolaan usahanya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP baru sesuai komoditas tambang lain sebagimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
BAB XIII
REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 61
(1) Pemegang IUP Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi.
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan
pascatambang.
(3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi.
(4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode:
a. penambangan terbuka; dan
b. penambangan bawah tanah.
(1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi wajib memenuhi prinsip:
a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan; dan b. keselamatan dan kesehatan kerja.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi
Produksi dan IPR wajib memenuhi prinsip:
a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan;
b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. konservasi mineral dan batubara.
Bagian Kedua
Tata Laksana Reklamasi
Pasal 63
(1) Pemegang IUP Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi.
(3) Pemegang IUP Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi
kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencanapascatambang kepada Bupati.
(4) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi.
(5) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi Daerah yang berwenang di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan pelaporan rencana reklamasi diatur dengan Peraturan Bupati
Bagian Ketiga
Rencana Pascatambang
Pasal 65
(1) Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
memuat:
a. profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, dankegiatan usaha lain di sekitar tambang;
b. deskripsi kegiatan pertarnbangan, meliputi keadaan cadangan awal, sistem dan metode penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang;
c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial; dan
d. program pascatambang.
(2) Program pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (d)
meliputi :
a. reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang;
b. pemeliharaan hasil reklamasi; pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat; dan pemantauan.
c. organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang;
d. kriteria keberhasilan pascatambang; dan
e. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Pasal 66
Pemegang IUP Eksplorasi dalam menyusun rencana pascatambang harus berkonsultasi dengan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barru, dan/atau instansi terkait lainnya.
Pasal 67
Rencana sebagaimana dimaksud pada Pasal 65 ayat (1) disusun dalam:
a. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) bagi usaha / kegiatan yang wajib AMDAL; atau b. UKL / UPL bagi usaha / kegiatan yang tidak wajib AMDAL.
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana dan kriteria
keberhasilan pascatambang diatur dengan Peraturan Bupati
Bagian Keempat
Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang
Pasal 69
(1) Pemegang IUP wajib menyediakan:
a. jaminan reklamasi; dan b. jaminan pascatambang.
(2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan
b. jaminan reklamasi Operasi Produksi
Pasal 70
Jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 69 ayat (1), dapat berupa:
a. rekening bersama pada bank pemerintah;
b. deposito berjangka pada bank pemerintah;
c. bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional; atau d. cadangan akuntansi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Reklamasi dan PascaTambang Bagi Pemegang IPR
Pasal 72
(1) Pemerintah Daerah sebelum menerbitkan IPR pada wilayah
pertambangan rakyat, wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang untuk setiap wilayah pertambangan rakyat.
(2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yangberwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangandi bidang perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup.
(3) Biaya yang timbul dalam penyusunan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban anggaran daerah/kabupaten.
Pasal 73
Pemegang IPR bersama dengan Pemerintah daerah melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 ayat (1).
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang pada wilayah pertambangan rakyat diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIV
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 75
Bupati melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 76
Pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 terdiri atas:
a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan dan pelatihan; dan
b. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaanpenyelenggaraan usaha pertambangan dibidang mineral dan batubara.
Bupati dapat melimpahkan kepada Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barru untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 78
Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertarnbangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 79
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilakukan terhadap:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengelolaan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g, keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa serta
rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;
n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutuhasil usaha pertambangan.
Pasal 80
Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh inspektur tambang dan/atau pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah.
Bagian Ketiga
Perlindungan Masyarakat
Pasal 81
(1) Pemegang IUP wajib melindungi masyarakat dari dampak negatif yang terjadi akibat usaha pertambangan.
(2) Pemegang IUP wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada
masyarakat akibat kesalahan dalam pengusahaan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Apabila terjadi sengketa akibat timbulnya dampak dan kesalahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Apabila musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghasilkan mufakat, maka penyelesaiannya dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan masyarakat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
Pasal 82
(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.
(2) Upaya pengembangan dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan kepada masyarakat yang berada disekitar lokasi kegiatan operasional penambangan.
(3) Tata cara pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
BAB XV
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 83
(1) Bupati sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi
administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini
(2) Setiap pemegang izin yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini dapat diberikan sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi
atau operasi produksi; dan/atau;
c. pencabutanIUP atau IPR.
(3) Tata cara pemberian sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XVI PENYIDIKAN
Pasal 84
(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Pejabat Penyidik dan Penuntut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Di samping penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khususnya sebagai Penyidik Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang, badan usaha atau koperasi yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha
pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum, melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai ketentuan yang diatur dalam Udang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB XVII KETENTUAN PIDANA
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP Eksplorasi dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yangmempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan kegiatan pertambangan Rakyat tanpa mendapat Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diancam pidana kurungan palang lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 86
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku :
1. Kuasa Pertambangan, Surat Izin Pertambangan Daerah, dan Surat Izin
Pertambangan Rakyat, yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah masih berlaku ini sampai jangka waktu berakhirnya izin serta wajib disesuaikan menjadi IUP atau IPR;
2. Keputusan Bupati yang ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun
2002 tentang Pertambangan Umum Daerah dinyatakan masih berlaku
sampai jangka waktu yang ditentukan dalam Keputusan Bupati dan
Peraturan Bupati tersebut.
BAB XIX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 87
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 88
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Barru
Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pertambangan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun 2002 Nomor 28) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 89
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Barru.
|