ABSTRAK: |
- a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan Pertanian Sub Sektor
peternakan, Usaha Peternakan dan Peternakan Rakyat merupakan faktor
yang sangat penting dalam usaha peningkatan populasi, mutu genetik ternak,
beserta hasil ikutanya yang berlandaskan agroindustri, agrobisnis dan
berbasis ekonomi kerakyatan dalam upaya mewujudkan masyrakat yang
sejahtera dan mandiri;
b. bahwa dalam usaha Peternakan dan Peternakan Rakyat, perlu menciptakan
iklim usaha yang sehat, yang berwawasan lingkungan dan pemeliharaan
Ternak yang tertib dan teratur;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Usaha Peternakan dan
Penertiban Ternak.
- 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok
peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2824);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4048);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu
Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Propinsi Sulawesi Selatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 27, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4270);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Nomor 4389);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3102);
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisa Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3338);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4139);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1990 tentang
Pembinaan Usaha dan Peternakan Ayam Ras;
13. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang PPNS di
Lingkungan Pemda;
14. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404 Tahun 2002 tentang Perizinan;
15. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2005 tentang Rencana Pembanguan
Jangka Panjang Kabupaten Luwu Timur;
16. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Rumah Potong Hewan
Kabupaten Luwu Timur.
- MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN
TERNAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah kabupaten Luwu Timur.
2. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati beserta Perangkat daerah Otonom yang lain sebagai
badan Eksekutif Daerah.
3. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Luwu Timur.
4. Bupati adalah Bupati Luwu Timur.
5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang usaha peternakan dan
Penertiban Ternak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
6. Ternak adalah hewan piaraan yang berkembangbiak serta manfaatnya yang diatur dan
diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa
yang berguna bagi kepentingan hidup manusia.
7. Peternakan adalah kegiatan pemeliharaan ternak dalam jumlah besar untuk kepentingan
komersial dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen peternakan.
8. Perusahaan peternakan adalah usaha peternakan yang dijalankan secara teratur dan terus
menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersil
meliputi kegiatan menghasilkan bibit, daging, telur, susu, bahan asal hewan dan hasil bahan
asal hewan.
9. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan skala rumah tangga yang diselenggarakan
sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk setiap jenis ternak
ditetapkan dalam peraturan daerah ini.
10. Peternakan Rakyat adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak dan hasil ikutanya
bagi konsumen.
11. Lokasi adalah tempat kegiatan usaha peternakan beserta sarana pendukungnya di areal
tertentu dan untuk perusahaan peternakan yang telah tercantum dalam Izin Usaha
Peternakan.
12. Izin Usaha Peternkan adalah izin tertulis uyang diberikan oleh Bupati atau pejabat yang
diberi wewenang.
13. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan,
bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kesehatan manusia.
14. Pendaftaran Peternakan Rakyat adalah Pendaftaran Peternakan Rakyat yang dilakukan oleh
dinas terkait.
15. Perluasan adalah penambahan jenis atau jumlah ternak diatas yang telah diijinkan.
16. Pedoman Teknis Peternakan adalah Pedoman teknis pengusahaan ternak yang dikeluarkan
oleh Direktur Jenderal Peternakan.
17. Kartu Pemilikan Ternak (selanjutnya disingkat KPT) adalah kartu yang memuat secara rinci
tentang identitas pemilik ternak dan jenis ternak tertentu yang dimiliki oleh setiap atau
badan hukum dan berlaku sepanjang ternak masih hidup, kecuali telah beralih kepada pihak
lain karena proses yang sah menurut hukum.
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGATURAN
Pasal 2
Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengaturan terhadap usaha peternakan dan
Peternakan Rakyat yang diselenggarakan di Daerah.
Pasal 3
Pengaturan sebagaimana dimaksud pasal 2 dilakukan dalam bentuk pembinaan usaha,
pengawasan dan pengendalian serta penertiban kegiatan usaha peternakan dan peternakan
rakyat yang meliputi :
a. Ternak besar yang terdiri atas kerbau, sapi dan kuda.
b. Ternak kecil yang terdiri atas kambing, biri-biri/domba dan babi.
c. Ternak unggas.
d. Hewan peliharaan lainnya.
Pasal 4
Usaha Peternakan dan Peternakan Rakyat harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat
Veteriner.
BAB III
P E R I Z I N A N
Pasal 5
(1) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan usaha peternakan di Daerah harus
memiliki izin dari Pemerintah Daerah.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Lokasi usaha peternakan sesuai dengan rencana tata ruang.
b. Kandang peternakan telah sesuai dengan syarat-syarat sanitasi dan kesehatan
hewan/veteriner.
c. Memiliki sarana penunjang berupa peralatan pengolahan limbah, serta dokumen
pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan yang berlaku.
(3) Pemegang izin berkewajiban melaporkan kepada Pemerintah Daerah mengenai hal-hal
yang terkait perkembangan ternaknya pada setiap tiga bulan.
Pasal 6
(1) Untuk melaksanakan kegiatan peternakan, Perusahaan Peternakan wajib memiliki Izin
Usaha Peternakan.
(2) Izin Usaha Peternakan berlaku selama Perusahaan Peternakan yang bersangkutan
melakukan kegiatan Usahanya dan harus melakukan registrasi setiap tahun.
(3) Izin Usaha Peternakan diberikan oleh Bupati atau Pejabat yang diberi wewenang.
(4) Tata cara dan syarat-syarat untuk mengajukan ijin usaha diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
Pasal 7
(1) Permohonan Izin Usaha Peternakan diajukan kepada Bupati atau Pejabat yang diberi
wewenang.
(2) Izin Usaha Peternakan dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan teknis peternakan dan
persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (4).
Pasal 8
(1) Penundaan Pemberian Izin Isaha Peternakan dilakukan apabila Pemohon belum
melengkapi persyaratan administrasi dan Teknis.
(2) Terhadap penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Perusahaan Peternakan
diberi kesempatan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak menerima surat penundaan
Pasal 9
Penolakan pemberian Izin Usaha Peternakan dilakukan apabila :
a. Masa Berlaku Surat Penundaan telah habis
b. Lokasi kegiatan Peternakan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam persetujuan
perizinan.
Pasal 10
(1) Perusahaan Peternakan yang memiliki Izin usaha dapat melakukan perluasan setelah
memperoleh persetujuan pemberian izin
(2) Pemberian Surat Izin Usaha perluasan Pertusahaan Peternakan dilakukan apabila :
a. Menembah jumlah Ternak lebih dari 30 %
b. Menambah Volime bangunan, sarana dan prasarana fisik lainya lebih dari 30%
Pasal 11
Izin Usaha Peternakan dicabut apabila :
a. Tidak melakukan kegiatan Peternakan secara nyata selama waktu 1 (satu) tahun sejak izin
Usaha Peternakan dikeluarkan atau menghentikan kegiatanya selama 1 (satu) tahun.
b. Melakukan pemindahan lokasi kegiatan tanpa persetujuan tertulis dari pejabat yang
berwenang.
c. Melakukan perluasan tanpa memiliki izin perluasan sesuai dengan pasal 10.
d. Tidak Melaksanakan Pencegahan dan Pemberantasan penyakit hewan, mengganggu
ketentraman umum dan melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan.
BAB IV
RETRIBUSI IZIN USAHA PETERNAKAN
Pasal 12
Dengan nama Retribusi Izin Usaha Peternakan dipungut Retribusi sebagai pembayaran atas
pelayanan pemberian izin usaha peternakan.
Pasal 13
Obyek retribusi adalah setiap pemberian izin usaha peternakan sebagai berikut :
a. Usaha Pemotongan Hewan yang menggunakan fasilitas Rumah Potong Hewan dan yang
tidak menggunakan fasilitas
b. Usaha Peternakan dan budidaya ayam ras petelur
c. Usaha Peternakan ayam ras Pedaging
d. Usaha Peternakan ayam Buras
e. Usaha Peternakan Itik, Angsa dan Entok
f. Usaha peternakan Kambing dan Domba
g. Usaha Peternakan burung Puyuh dan atau Burung Dara
h. Usaha Peternakan Babi
i. Usaha Peternakan Sapi Potong
j. Usaha Peternakan Sapi Perah
k. Usaha Peternakan Kerbau
l. Usaha pengolahan Pakan
m. Usaha Poultry Shop
n. Usaha Obat-obatan Hewan
o. Usaha bahan Asal Hewan dan Hasil Bahan Asal Hewan
Pasal 14
Subyek Retribusi adalah setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh izin usaha
peternakan.
Pasal 15
Retribusi Izin Usaha Peternakan digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.
Pasal 16
Retribusi yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat dikeluarkannya izin.
Pasal 17
(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD dan SSRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
Pasal 18
Pemberian Izin Usaha Perusahaan Peternakan berdasarkan jenis dan jumlah ternak sebagai
berikut :
a. Usaha Peternakan ayam ras petelur dengan jumlah minimal 1000 ekor.
b. Usaha Peternakan ayam ras Pedaging dengan jumlah ternak minimal 1000 ekor/priode.
c. Usaha Peternakan ayam buras dengan jumlah ternak minimal 1000 ekor.
d. Usaha Peternakan Burung Puyuh, Burung Dara/merpati dengan jumlah minimal 2000 ekor.
e. Usaha Peternakan itik, angsa dan entok dengan jumlah ternak minimal 2.000 ekor.
f. Usaha Peternakan Kambing dan Domba dengan jumlah minimal 50 ekor.
g. Usaha Peternakan sapi potong dengan jumlah minimal 30 ekor.
h. Usaha Peternakan Sapi Perah dengan jumlah minimal 20 ekor.
i. Usaha Peternakan Kerbau dengan jumlah minimal 30 ekor.
j. Usaha peternakan babi dengan jumlah minimal 20 ekor.
Pasal 19
Tarif untuk mendapatkan Izin Usaha Peternakan dikenakan biaya sebesar sebagai berikut :
1. Izin Usaha PemotonganHewan sebesar Rp. 200.000,_ (dua ratus ribu rupiah)
2. Izin Usaha Peternakan Ayam Buras untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.75.000,- (Tujuh
Puluh Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.100.000,- (Seratus Ribu
Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
3. Izin Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.150.000,-
(Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.200.000,- (Dua ratus
Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp.250.000,- (Dua ratus Lima Puluh Ribu
Rupiah).
4. Izin Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.
150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp. 100.000,-
(Seratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh
Ribu Rupiah).
5. Izin Usaha Peternakan Itik, untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp. 75.000,- (Tujuh Puluh
Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan
diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150. 000,- 9 Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
6. Izin Usaha Peternakan Ayam Buras untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.75.000,- (Tujuh
Puluh Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.100.000,- (Seratus Ribu
Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
7. Izin Usaha Peternakan sapi potong untuk 30 s/d 50 ekor sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus
ribu rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan
diatas 100 ekor sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus tibu rupiah).
8. Izin Usaha Peternakan sapi perah untuk 20 s/d 50 ekor sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
dan diatas 100 ekor sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
9. Izin Usaha Peternakan kerbau untuk 30 s/d 50 ekor sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu
rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan
diatas 100 ekor sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
10. Izin usaha poultry shop sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
11. Izin usaha pengolahan pakan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
12. Izin usaha obat-obatan hewan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).
13. Izin usaha bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan sebesar Rp. 500.000,- (lima
ratus ribu rupiah).
BAB V
PETERNAKAN RAKYAT
Pasal 20
(1) Peternakan Rakyat tidak wajib memiliki izin usaha.
(2) Jumlah Populasi yang termasuk kategori peternakan rakyat dibawah jumlah populasi yang
dimiliki Perusahaan Peternakan sebagaimana dimaksud padal pasal 18 pada setiap jenis
ternak.
(3) Setiap Peternakan Rakyat wajib diberi Tanda Daftar Peternakan (TDP).
BAB VI
KETERTIBAN PEMELIHARAAN PETERNAKAN RAKYAT
Pasal 21
(1) Pemilik ternak harus mengatur, mengurus dan mengawasi pemeliharaan ternaknya
sehingga tidak mengganggu ketertiban dan atau merusak sumber daya alam dan
lingkungan hidup pada umumnya dan atau tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
(2) Pemilik ternak diwajibkan menertibkan ternaknya dan atau tidak melepaskan secara
bebas/berkeliaran tanpa penggembala ternak kecuali pada tempat penggembalaan yang
telah ditentukan.
(3) Setiap pemilik ternak wajib menyediakan tempat/kandang ternak yang memenuhi syarat
kesehatan dan ketertiban umum sesuai petunjuk Dinas Daerah.
(4) Setiap pemilik ternak apabila ternaknya telah mencapai usia 1 (satu) tahun atau lebih
harus memiliki KPT dan khusus bagi ternak besar harus memiliki KPT dan tanda cap.
(5) Setiap orang atau badan hukum yang memasukkan/mengeluarkan ternak dari dan ke
wilayah daerah, harus memiliki atau memperoleh penggantian KPT sesuai dengan maksud
ketentuan pada ayat (3).
Pasal 22
Pemilik ternak hanya diperbolehkan melakukan pengembangbiakan ternak sesuai dengan
kemampuan sarana, prasarana yang dimiliki atau yang dapat disediakan.
Pasal 23
(1) Setiap rumah tangga yang memiliki ternak wajib memelihara ternaknya dengan baik dan
dilakukan dengan sistem penggembalaan atau pengandangan.
(2) Apabila pemilik ternak memiliki lebih dari 5 (lima) ekor ternak diluar ternak unggas atau
hewan peliharaan lainnya, maka pemiliknya diwajibkan melakukan sistem pengandangan.
(3) Khusus untuk ternak unggas, pemilik ternak dikenakan kewajiban perkandangan apabila
jumlah ternaknya telah mencapai paling kurang 50 ekor.
Pasal 24
(1) Ternak yang berkeliaran secara bebas tanpa penggembalaan, dianggap ternak liar dan
dapat ditangkap oleh petugas Dinas Daerah atau petugas lain yang ditunjuk untuk itu.
(2) Ternak liar yang ditangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditampung pada rumah
tahanan ternak yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan dikelola oleh Dinas
Daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah ternak unggas,
yang merupakan ternak rumah tangga bukan usaha komersial.
Pasal 25
(1) Pemilik ternak yang ternaknya telah ditangkap dan ditahan pada tempat sebagaimana
dimaksud pada pasal 19 ayat (2), dikenakan biaya pemeliharaan / pengamanan untuk
setiap ekor dan dipungut dari pemilik ternak sebagai berikut :
a. Untuk jenis kambing, domba/biri-biri sebesar Rp.2.500,-perhari.
b. Untuk jenis sapi, kuda dan kerbau sebesar Rp.15.000,-perhari.
(2) Ternak yang ditangkap segera diberitahukan kepada pemilik ternak untuk mengambilnya
dan apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari tidak diambil maka pemilik ternak akan dikenakan
denda per hari sebesar dua kali lipat dari biaya dimaksud pada ayat (1).
Pasal 26
(1) Dalam hal pemilik ternak telah diberitahukan mengenai penangkapan ternaknya, tetapi
dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari ternyata belum membayar biaya
pemeliharaan/pengamanan dan/atau sama sekali tidak mengindahkan pemberitahuan
tersebut, maka ternaknya dijual/dilelang secara umum dan hasilnya digunakan untuk
membayar biaya pemeliharaan/pengamanan dan/atau menjadi hak penerimaan
Pemerintah Daerah.
(2) Bagi ternak yang tidak diketahui pemiliknya dan Pemerintah Daerah telah memberikan
penyampaian melalui pengumuman sebagaimana mestinya, apabila telah melebihi jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari belum ada seseorang yang memberikan bukti kepemilikan,
maka ternak dimaksud dijual/dilelang untuk kepentingan seperti dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dilaksanakan
penjualan/pelelangan, ternyata seseorang dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas
ternak, maka kepada yang bersangkutan dikembalikan uang hasil penjualan / pelelangan
sebesar 75 % (tujuh puluh lima perseratus) setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan
dan biaya penjualan/pelelangan.
(4) Sebesar 25 % (dua puluh lima perseratus) yang merupakan sisa pengembalian seperti
dimaksud pada ayat (3), disetor ke Kas Pemerintah Daerah.
Pasal 27
Dalam hal ternak yang ditahan tersebut mati atau hilang ketika berada dalam masa
perkandangan oleh Dinas Daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (2) dan pasal 15,
maka ternak tersebut diluar tanggungan Pemerintah Daerah dan pemilik ternak yang
bersangkutan dibebaskan dari kewajiban membayar denda.
Pasal 28
Ketentuan dan syarat-syarat pemeliharaan ternak babi diatur dengan Peraturan Desa dengan
memperhatikan sanitasi dan lingkungan.
BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 29
(1) Pejabat Polri dan atau Pejabat Pengawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana di maksud ayat (1) pasal ini adalah :
a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan dugaan
tindak pidana agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas.
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan tentang sehungan
dengan tindak pidana.
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang berkenaan
dengan tindak pidana.
e. Melakukan penggeledahan, untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan
dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut.
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana.
g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang orang atau
dokunen yang dibawah sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana.
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
j. Menghentikan penyidikan.
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagai mana dimaksud pasal 1 ayat ini memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Barang siapa dengan sengaja dan atau karena kelalaiannya yang bertentangan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 21 diancam dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling tinggi Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah).
BAB IX
KETENTUAN LAIN - LAIN
Pasal 31
Setelah berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah sebelumnya yang mengatur
mengenai Izin Usaha Peternakan supaya dapat menyesuaikan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah ini diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 33
Peraturan daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalan Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur.
|