Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Luwu Timur No. 6 Tahun 2007

Usaha Peternakan dan Penertiban Ternak

MATERI POKOK PERATURAN

Abstrak

MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG USAHA PETERNAKAN DAN PENERTIBAN TERNAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah kabupaten Luwu Timur. 2. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati beserta Perangkat daerah Otonom yang lain sebagai badan Eksekutif Daerah. 3. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Luwu Timur. 4. Bupati adalah Bupati Luwu Timur. 5. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang usaha peternakan dan Penertiban Ternak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. 6. Ternak adalah hewan piaraan yang berkembangbiak serta manfaatnya yang diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus sebagai penghasil bahan-bahan dan jasa-jasa yang berguna bagi kepentingan hidup manusia. 7. Peternakan adalah kegiatan pemeliharaan ternak dalam jumlah besar untuk kepentingan komersial dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen peternakan. 8. Perusahaan peternakan adalah usaha peternakan yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komersil meliputi kegiatan menghasilkan bibit, daging, telur, susu, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan. 9. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan skala rumah tangga yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk setiap jenis ternak ditetapkan dalam peraturan daerah ini. 10. Peternakan Rakyat adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak dan hasil ikutanya bagi konsumen. 11. Lokasi adalah tempat kegiatan usaha peternakan beserta sarana pendukungnya di areal tertentu dan untuk perusahaan peternakan yang telah tercantum dalam Izin Usaha Peternakan. 12. Izin Usaha Peternkan adalah izin tertulis uyang diberikan oleh Bupati atau pejabat yang diberi wewenang. 13. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. 14. Pendaftaran Peternakan Rakyat adalah Pendaftaran Peternakan Rakyat yang dilakukan oleh dinas terkait. 15. Perluasan adalah penambahan jenis atau jumlah ternak diatas yang telah diijinkan. 16. Pedoman Teknis Peternakan adalah Pedoman teknis pengusahaan ternak yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Peternakan. 17. Kartu Pemilikan Ternak (selanjutnya disingkat KPT) adalah kartu yang memuat secara rinci tentang identitas pemilik ternak dan jenis ternak tertentu yang dimiliki oleh setiap atau badan hukum dan berlaku sepanjang ternak masih hidup, kecuali telah beralih kepada pihak lain karena proses yang sah menurut hukum. BAB II PEMBINAAN DAN PENGATURAN Pasal 2 Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengaturan terhadap usaha peternakan dan Peternakan Rakyat yang diselenggarakan di Daerah. Pasal 3 Pengaturan sebagaimana dimaksud pasal 2 dilakukan dalam bentuk pembinaan usaha, pengawasan dan pengendalian serta penertiban kegiatan usaha peternakan dan peternakan rakyat yang meliputi : a. Ternak besar yang terdiri atas kerbau, sapi dan kuda. b. Ternak kecil yang terdiri atas kambing, biri-biri/domba dan babi. c. Ternak unggas. d. Hewan peliharaan lainnya. Pasal 4 Usaha Peternakan dan Peternakan Rakyat harus memenuhi syarat kesehatan masyarakat Veteriner. BAB III P E R I Z I N A N Pasal 5 (1) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan usaha peternakan di Daerah harus memiliki izin dari Pemerintah Daerah. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Lokasi usaha peternakan sesuai dengan rencana tata ruang. b. Kandang peternakan telah sesuai dengan syarat-syarat sanitasi dan kesehatan hewan/veteriner. c. Memiliki sarana penunjang berupa peralatan pengolahan limbah, serta dokumen pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Pemegang izin berkewajiban melaporkan kepada Pemerintah Daerah mengenai hal-hal yang terkait perkembangan ternaknya pada setiap tiga bulan. Pasal 6 (1) Untuk melaksanakan kegiatan peternakan, Perusahaan Peternakan wajib memiliki Izin Usaha Peternakan. (2) Izin Usaha Peternakan berlaku selama Perusahaan Peternakan yang bersangkutan melakukan kegiatan Usahanya dan harus melakukan registrasi setiap tahun. (3) Izin Usaha Peternakan diberikan oleh Bupati atau Pejabat yang diberi wewenang. (4) Tata cara dan syarat-syarat untuk mengajukan ijin usaha diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 7 (1) Permohonan Izin Usaha Peternakan diajukan kepada Bupati atau Pejabat yang diberi wewenang. (2) Izin Usaha Peternakan dikeluarkan setelah memenuhi persyaratan teknis peternakan dan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (4). Pasal 8 (1) Penundaan Pemberian Izin Isaha Peternakan dilakukan apabila Pemohon belum melengkapi persyaratan administrasi dan Teknis. (2) Terhadap penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Perusahaan Peternakan diberi kesempatan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak menerima surat penundaan Pasal 9 Penolakan pemberian Izin Usaha Peternakan dilakukan apabila : a. Masa Berlaku Surat Penundaan telah habis b. Lokasi kegiatan Peternakan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam persetujuan perizinan. Pasal 10 (1) Perusahaan Peternakan yang memiliki Izin usaha dapat melakukan perluasan setelah memperoleh persetujuan pemberian izin (2) Pemberian Surat Izin Usaha perluasan Pertusahaan Peternakan dilakukan apabila : a. Menembah jumlah Ternak lebih dari 30 % b. Menambah Volime bangunan, sarana dan prasarana fisik lainya lebih dari 30% Pasal 11 Izin Usaha Peternakan dicabut apabila : a. Tidak melakukan kegiatan Peternakan secara nyata selama waktu 1 (satu) tahun sejak izin Usaha Peternakan dikeluarkan atau menghentikan kegiatanya selama 1 (satu) tahun. b. Melakukan pemindahan lokasi kegiatan tanpa persetujuan tertulis dari pejabat yang berwenang. c. Melakukan perluasan tanpa memiliki izin perluasan sesuai dengan pasal 10. d. Tidak Melaksanakan Pencegahan dan Pemberantasan penyakit hewan, mengganggu ketentraman umum dan melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. BAB IV RETRIBUSI IZIN USAHA PETERNAKAN Pasal 12 Dengan nama Retribusi Izin Usaha Peternakan dipungut Retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan pemberian izin usaha peternakan. Pasal 13 Obyek retribusi adalah setiap pemberian izin usaha peternakan sebagai berikut : a. Usaha Pemotongan Hewan yang menggunakan fasilitas Rumah Potong Hewan dan yang tidak menggunakan fasilitas b. Usaha Peternakan dan budidaya ayam ras petelur c. Usaha Peternakan ayam ras Pedaging d. Usaha Peternakan ayam Buras e. Usaha Peternakan Itik, Angsa dan Entok f. Usaha peternakan Kambing dan Domba g. Usaha Peternakan burung Puyuh dan atau Burung Dara h. Usaha Peternakan Babi i. Usaha Peternakan Sapi Potong j. Usaha Peternakan Sapi Perah k. Usaha Peternakan Kerbau l. Usaha pengolahan Pakan m. Usaha Poultry Shop n. Usaha Obat-obatan Hewan o. Usaha bahan Asal Hewan dan Hasil Bahan Asal Hewan Pasal 14 Subyek Retribusi adalah setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh izin usaha peternakan. Pasal 15 Retribusi Izin Usaha Peternakan digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. Pasal 16 Retribusi yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat dikeluarkannya izin. Pasal 17 (1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan. (2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD dan SSRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Pasal 18 Pemberian Izin Usaha Perusahaan Peternakan berdasarkan jenis dan jumlah ternak sebagai berikut : a. Usaha Peternakan ayam ras petelur dengan jumlah minimal 1000 ekor. b. Usaha Peternakan ayam ras Pedaging dengan jumlah ternak minimal 1000 ekor/priode. c. Usaha Peternakan ayam buras dengan jumlah ternak minimal 1000 ekor. d. Usaha Peternakan Burung Puyuh, Burung Dara/merpati dengan jumlah minimal 2000 ekor. e. Usaha Peternakan itik, angsa dan entok dengan jumlah ternak minimal 2.000 ekor. f. Usaha Peternakan Kambing dan Domba dengan jumlah minimal 50 ekor. g. Usaha Peternakan sapi potong dengan jumlah minimal 30 ekor. h. Usaha Peternakan Sapi Perah dengan jumlah minimal 20 ekor. i. Usaha Peternakan Kerbau dengan jumlah minimal 30 ekor. j. Usaha peternakan babi dengan jumlah minimal 20 ekor. Pasal 19 Tarif untuk mendapatkan Izin Usaha Peternakan dikenakan biaya sebesar sebagai berikut : 1. Izin Usaha PemotonganHewan sebesar Rp. 200.000,_ (dua ratus ribu rupiah) 2. Izin Usaha Peternakan Ayam Buras untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.75.000,- (Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). 3. Izin Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.200.000,- (Dua ratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp.250.000,- (Dua ratus Lima Puluh Ribu Rupiah). 4. Izin Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). 5. Izin Usaha Peternakan Itik, untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp. 75.000,- (Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150. 000,- 9 Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). 6. Izin Usaha Peternakan Ayam Buras untuk 1.000 s/d 3.000 ekor sebesar Rp.75.000,- (Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah), 3.001 s/d 5.000 ekor sebesar Rp.100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan diatas 5.000 ekor sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah). 7. Izin Usaha Peternakan sapi potong untuk 30 s/d 50 ekor sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan diatas 100 ekor sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus tibu rupiah). 8. Izin Usaha Peternakan sapi perah untuk 20 s/d 50 ekor sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan diatas 100 ekor sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). 9. Izin Usaha Peternakan kerbau untuk 30 s/d 50 ekor sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), 51 s/d 100 ekor sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan diatas 100 ekor sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). 10. Izin usaha poultry shop sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). 11. Izin usaha pengolahan pakan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). 12. Izin usaha obat-obatan hewan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). 13. Izin usaha bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). BAB V PETERNAKAN RAKYAT Pasal 20 (1) Peternakan Rakyat tidak wajib memiliki izin usaha. (2) Jumlah Populasi yang termasuk kategori peternakan rakyat dibawah jumlah populasi yang dimiliki Perusahaan Peternakan sebagaimana dimaksud padal pasal 18 pada setiap jenis ternak. (3) Setiap Peternakan Rakyat wajib diberi Tanda Daftar Peternakan (TDP). BAB VI KETERTIBAN PEMELIHARAAN PETERNAKAN RAKYAT Pasal 21 (1) Pemilik ternak harus mengatur, mengurus dan mengawasi pemeliharaan ternaknya sehingga tidak mengganggu ketertiban dan atau merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup pada umumnya dan atau tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. (2) Pemilik ternak diwajibkan menertibkan ternaknya dan atau tidak melepaskan secara bebas/berkeliaran tanpa penggembala ternak kecuali pada tempat penggembalaan yang telah ditentukan. (3) Setiap pemilik ternak wajib menyediakan tempat/kandang ternak yang memenuhi syarat kesehatan dan ketertiban umum sesuai petunjuk Dinas Daerah. (4) Setiap pemilik ternak apabila ternaknya telah mencapai usia 1 (satu) tahun atau lebih harus memiliki KPT dan khusus bagi ternak besar harus memiliki KPT dan tanda cap. (5) Setiap orang atau badan hukum yang memasukkan/mengeluarkan ternak dari dan ke wilayah daerah, harus memiliki atau memperoleh penggantian KPT sesuai dengan maksud ketentuan pada ayat (3). Pasal 22 Pemilik ternak hanya diperbolehkan melakukan pengembangbiakan ternak sesuai dengan kemampuan sarana, prasarana yang dimiliki atau yang dapat disediakan. Pasal 23 (1) Setiap rumah tangga yang memiliki ternak wajib memelihara ternaknya dengan baik dan dilakukan dengan sistem penggembalaan atau pengandangan. (2) Apabila pemilik ternak memiliki lebih dari 5 (lima) ekor ternak diluar ternak unggas atau hewan peliharaan lainnya, maka pemiliknya diwajibkan melakukan sistem pengandangan. (3) Khusus untuk ternak unggas, pemilik ternak dikenakan kewajiban perkandangan apabila jumlah ternaknya telah mencapai paling kurang 50 ekor. Pasal 24 (1) Ternak yang berkeliaran secara bebas tanpa penggembalaan, dianggap ternak liar dan dapat ditangkap oleh petugas Dinas Daerah atau petugas lain yang ditunjuk untuk itu. (2) Ternak liar yang ditangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditampung pada rumah tahanan ternak yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan dikelola oleh Dinas Daerah. (3) Dikecualikan dari ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah ternak unggas, yang merupakan ternak rumah tangga bukan usaha komersial. Pasal 25 (1) Pemilik ternak yang ternaknya telah ditangkap dan ditahan pada tempat sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (2), dikenakan biaya pemeliharaan / pengamanan untuk setiap ekor dan dipungut dari pemilik ternak sebagai berikut : a. Untuk jenis kambing, domba/biri-biri sebesar Rp.2.500,-perhari. b. Untuk jenis sapi, kuda dan kerbau sebesar Rp.15.000,-perhari. (2) Ternak yang ditangkap segera diberitahukan kepada pemilik ternak untuk mengambilnya dan apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari tidak diambil maka pemilik ternak akan dikenakan denda per hari sebesar dua kali lipat dari biaya dimaksud pada ayat (1). Pasal 26 (1) Dalam hal pemilik ternak telah diberitahukan mengenai penangkapan ternaknya, tetapi dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari ternyata belum membayar biaya pemeliharaan/pengamanan dan/atau sama sekali tidak mengindahkan pemberitahuan tersebut, maka ternaknya dijual/dilelang secara umum dan hasilnya digunakan untuk membayar biaya pemeliharaan/pengamanan dan/atau menjadi hak penerimaan Pemerintah Daerah. (2) Bagi ternak yang tidak diketahui pemiliknya dan Pemerintah Daerah telah memberikan penyampaian melalui pengumuman sebagaimana mestinya, apabila telah melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari belum ada seseorang yang memberikan bukti kepemilikan, maka ternak dimaksud dijual/dilelang untuk kepentingan seperti dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dilaksanakan penjualan/pelelangan, ternyata seseorang dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas ternak, maka kepada yang bersangkutan dikembalikan uang hasil penjualan / pelelangan sebesar 75 % (tujuh puluh lima perseratus) setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan dan biaya penjualan/pelelangan. (4) Sebesar 25 % (dua puluh lima perseratus) yang merupakan sisa pengembalian seperti dimaksud pada ayat (3), disetor ke Kas Pemerintah Daerah. Pasal 27 Dalam hal ternak yang ditahan tersebut mati atau hilang ketika berada dalam masa perkandangan oleh Dinas Daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (2) dan pasal 15, maka ternak tersebut diluar tanggungan Pemerintah Daerah dan pemilik ternak yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban membayar denda. Pasal 28 Ketentuan dan syarat-syarat pemeliharaan ternak babi diatur dengan Peraturan Desa dengan memperhatikan sanitasi dan lingkungan. BAB VII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 29 (1) Pejabat Polri dan atau Pejabat Pengawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. (2) Wewenang penyidik sebagaimana di maksud ayat (1) pasal ini adalah : a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan dugaan tindak pidana agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas. b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana. c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan tentang sehungan dengan tindak pidana. d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana. e. Melakukan penggeledahan, untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut. f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana. g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang orang atau dokunen yang dibawah sebagaimana dimaksud pada huruf e. h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana. i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. j. Menghentikan penyidikan. k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagai mana dimaksud pasal 1 ayat ini memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 30 Barang siapa dengan sengaja dan atau karena kelalaiannya yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 21 diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling tinggi Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). BAB IX KETENTUAN LAIN - LAIN Pasal 31 Setelah berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah sebelumnya yang mengatur mengenai Izin Usaha Peternakan supaya dapat menyesuaikan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah ini diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 33 Peraturan daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalan Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur.

METADATA PERATURAN

Tipe Dokumen
Peraturan Perundang-undangan
Judul
Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Luwu Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Usaha Peternakan dan Penertiban Ternak
T.E.U.
Indonesia, Kabupaten Luwu Timur
Nomor
6
Bentuk
Peraturan Daerah (PERDA)
Bentuk Singkat
PERDA
Tahun
2007
Tempat Penetapan
Malili
Tanggal Penetapan
04 Mei 2007
Tanggal Pengundangan
04 Mei 2007
Tanggal Berlaku
04 Mei 2007
Sumber
LD.2007/NO.6
Subjek
PANGAN, PERTANIAN DAN PETERNAKAN
Status
Berlaku
Bahasa
Bahasa Indonesia
Lokasi
Pemerintah Kabupaten Luwu Timur
Bidang
Halaman ini telah diakses 635 kali

STATUS PERATURAN

Belum Tersedia

UJI MATERI MAHKAMAH KONSTITUSI

Belum Tersedia

TENTANG DATABASE PERATURAN

Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat

KONTAK
  • Sekretariat Website JDIH BPK
  • Ditama Binbangkum - BPK
  • Jalan Gatot Subroto 31
  • Jakarta Pusat, 10210
  • Telp (021) 25549000 ext. 1521

© Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
Badan Pemeriksa Keuangan