ABSTRAK: |
- a. bahwa tenaga listrik sangat bermanfaat untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan perekonomian dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;
b. bahwa dalam rangka peningkatan pembangunan yang berkesinambungan di bidang ketenagalistrikan diperlukan upaya secara optimal memanfaatkan sumber-sumber energi untuk membangkitkan tenaga listrik sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik;
c. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Pemerintah Daerah diberikan kewenangan pengelolaan ketenagalistrikan, dengan menetapkan
regulasi sehingga berperan dalam penyediaan tenaga listrik;
D. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah
Kabupaten Barru tentang Pengelolaan Usaha Ketenagalistrikan;
- : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1822);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3833);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4250);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4593);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2012 tentang Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5326);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Barru (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun
2008 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru
Nomor 3);
- PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN USAHA KETENAGALISTRIKAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Barru.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
Penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Bupati adalah Bupati Barru.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barru.
5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barru.
6. Pengelolaan adalah kegiatan dibidang ketenagalistrikan yang meliputi inventarisasi, perencanaan pendayagunaan, penelitian dan pengembangan, Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD), pemanfaatan, perijinan, konservasi, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian ketenagalistrikan.
7. Sumber Energi adalah segala energi yang dimanfaatkan menjadi tenaga listrik.
8. Instalasi Ketenagalistrikan selanjutnya disebut Instalasi adalah bangunan- bangunan sipil dan elektromekanik, mesin-mesin, peralatan, saluran dan perlengkapannya yang digunakan untuk pembangkit, konversi, transmisi, pendistribusian dan pemanfaatan tenaga listrik.
9. Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah yang selanjutnya disingkat RUKD adalah kebijakan umum dibidang ketenagalistrikan yang mencakup antara lain prakiraan kebutuhan tenaga listrik, potensi sumber energi primer dan jalur lintasan transmisi sesuai dengan rencana umum tata ruang daerah.
10. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
11. Pembangkit adalah setiap pembangkit tenaga listrik termasuk gedung perlengkapan yang dipakai untuk maksud itu beserta alat-alat yang dipergunakan.
12. Penyediaan Tenaga Listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian.
13. Pemanfaatan Tenaga Listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian.
14. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri adalah usaha kegunaan bagi kepentingan sendiri.
15. Usaha Penjualan Tenaga Listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
16. Izin Operasi adalah izin untuk melakukan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
17. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik adalah izin yang diberikan kepada koperasi, swasta, badan usaha milik daerah dan lembaga lainnya untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
18. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik adalah izin yang diberikan kepada koperasi, swasta, badan usaha milik daerah dan lembaga lainnya untuk melakukan usaha penunjang tenaga listrik.
19. Penggunaan Utama adalah penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan secara terus menerus untuk melayani kebutuhan sendiri akan tenaga listrik yang diperlukan.
20. Penggunaan Cadangan adalah penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan sewaktu-waktu dengan maksud untuk menjamin keandalan penyediaan tenaga listrik.
21. Penggunaan Darurat adalah penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan hanya pada waktu terjadi gangguan suplay tenaga listrik.
22. Penggunaan Sementara adalah penggunaan tenaga listrik yang dibangkitkan untuk kegiatan yang bersifat sementara.
23. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 2
(1) Bupati memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pembinaan, pengendalian dan pengawasan ketenagalistrikan daerah.
(2) Untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kegiatan :
a. penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah;
b. penetapan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk badan usaha yang wilayah usahanya dalam daerah;
c. penetapan Izin Operasi yang fasilitas instalasinya dalam daerah;
d. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah;
e. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik untuk badan usaha yang menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan jaringan tenaga listrik kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah daerah;
f. penetapan Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik bagi badan usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri;
g. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang izin operasi yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah daerah;
h. penetapan Izin Pemanfaatan Jaringan Tenaga Listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah;
i. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah daerah;
j. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk daerah;
k. penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah daerah; dan
l. menyampaikan laporan penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan daerah kepada Gubernur.
(3) Kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
BAB III PENGELOLAAN Bagian Pertama Inventarisasi Pasal 3
(1) Inventarisasi meliputi kegiatan penyelidikan, penelitian, eksplorasi, pengumpulan, pengolahan dan evaluasi data sumber energi serta ketenagalistrikan.
(2) Hasil inventarisasi dijadikan sebagai salah satu dasar untuk penyusunan perencanaan pendayagunaan ketenagalistrikan.
(3) Tata cara pelaksanaan kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua Perencanaan Pendayagunaan Pasal 4
(1) Kegiatan perencanaan pendayagunaan ketenagalistrikan dilaksanakan sebagai dasar untuk menetapkan RUKD secara terpadu dan menyeluruh.
(2) Perencanaan Pendayagunaan didasarkan kepada potensi sumber energi yang dilakukan secara rasional dan efisien, agar dapat berkelanjutan.
(3) Tata cara perencanaan pendayagunaan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga Penelitian dan Pengembangan Pasal 5
(1) Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan sebagai salah satu dasar untuk menetapkan RUKD secara terpadu dan menyeluruh.
(2) Kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. penelitian pemanfaatan potensi sumber dan ketenagalistrikan;
b. pengujian kualitas dan kuantitas sumber energi dan ketenagalistrikan;
c. menginformasikan potensi sumber energi setempat dan pengembangan ketenagalistrikan;
d. pengembangan teknologi dibidang ketenagalistrikan;
e. konservasi sumber-sumber ketenagalistrikan; dan/atau
f. pengembangan potensi sumber daya manusia dengan memprioritaskan masyarakat setempat.
(3) Untuk kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Dinas dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Bagian Keempat
Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah
Pasal 6
(1) RUKD disusun dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat.
(2) RUKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam rangka pengelolaan jasa ketenagalistrikan agar bermanfaat, efisien, optimal dalam
pemanfaatan sumber daya alam, berkeadilan, berkelanjutan, menjamin keamanan dan keselamatan serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Bagian Kelima Pemanfaatan Pasal 7
(1) Pemanfaatan tenaga listrik diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat disekitar wilayah penyedia tenaga listrik.
(2) Pemanfaatan tenaga listrik dilaksanakan dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, keseimbangan, keadilan dan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Tata cara pelaksanaan pemanfaatan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IV PENGUSAHAAN DAN PERIZINAN Bagian Pertama
Pengusahaan
Pasal 8
(1) Usaha ketenagalistrikan terdiri atas:
a. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; dan b. Usaha Penunjang Tenaga Listrik.
(2) Usaha ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah usaha ketenagalistrikan yang fasilitas instalasinya berada dalam wilayah pemerintah daerah dan tidak terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional.
Pasal 9
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
a. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum; dan b. Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri.
Pasal 10
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau d. penjualan tenaga listrik.
(2) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
(3) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha.
Pasal 11
(1) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
(2) Badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
(3) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
Pasal 12
(1) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b meliputi:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik; atau
c. pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik.
Pasal 13
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 15
Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b terdiri atas :
a. Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik; dan b. Usaha Industri Penunjang Tenaga Listrik.
Pasal 16
(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
a. konsultansi dalam bidang instalasi penyediaan tenaga listrik;
b. pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik;
c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;
d. pengoperasian instalasi tenaga listrik; e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik; f. penelitian dan pengembangan;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; dan
k. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 17
(1) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi:
a. usaha industri peralatan tenaga listrik; dan/atau b. usaha industri pemanfaat tenaga listrik.
(2) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi.
(3) Badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, dan koperasi dalam melakukan usaha industri penunjang tenaga listrik wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4) Kegiatan usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Perizinan Pasal 18
(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (1)
wajib mendapat Izin Usaha Ketenagalistrikan dari Bupati
(2) Bentuk izin sebagimana dimaksud ayat (1) terdiri dari :
a. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik ;
b. Izin Operasi; dan
c. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik.
(3) Setiap orang yang menyelenggarakan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik.
(4) Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai dengan jenis usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
(5) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Bupati.
(6) Izin operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b ditetapkan setelah memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan.
(7) Izin Operasi diberikan menurut sifat penggunaannya, yaitu :
a. penggunaan utama;
b. penggunaan cadangan;
c. penggunaan darurat; dan d. penggunaan sementara.
(8) Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri dari :
a. Izin Usaha Konsultan Bidang Tenaga Listrik;
b. Izin Usaha Konstruksi Instalasi Tenaga Listrik;
c. Izin Usaha Pengujian Instalasi Tenaga Listrik;
d. Izin Usaha Pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik; e. Izin Usaha Pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik; f. Izin Usaha Penelitian dan Pengembangan; dan
g. Izin Usaha lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan Tenaga
Listrik;
(9) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memperhatikan pertimbangan aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya;
(10) Penetapan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik dan izin usaha industri penunjang tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Izin Operasi dan Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 19
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 memuat hak dan kewajiban.
(2) Izin tidak dapat dipindahtangankan atau dikerjasamakan kepada pihak ketiga tanpa mendapatkan persetujuan dari Bupati.
(3) Tata Cara pelaksanaan pemindahtanganan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketantuan peraturan perundang-undangan dan mengenai teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 20
(1) Jangka waktu pelaksanaan Izin adalah sebagai berikut :
a. Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang;
b. Izin Operasi diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun;
dan
c. Izin Usaha Penunjang Tenaga Listrik diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Permohonan Perpanjangan Izin diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Izin.
(3) Izin berakhir karena :
a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi;
b. dikembalikan oleh pemegangnya dengan cara menyampaikan secara tertulis kepada Bupati; atau
c. potensi ketenagalistrikan sudah tidak memungkinkan untuk diusahakan atau perusahaan dinyatakan pailit.
(4) Izin dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi karena :
a. pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana syarat-syarat yang ditentukan dalam izin;
b. bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih luas dan kesinambungan lingkungan hidup;
c. pemegang izin tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) bulan setelah diterbitkannya izin;
d. dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa persetujuan Bupati;
e. dikerjasamakan dengan pihak lain tanpa persetujuan Bupati melalui Dinas;
dan/atau
f. Pemegang izin melakukan perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dalam melaksanakan usaha ketenagalistrikan.
Pasal 21
Hak dan Kewajiban pemegang Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), sebagai berikut :
a. pemegang Izin berhak untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan Izin yang diberikan; dan
b. pemegang Izin berkewajiban untuk :
1. mempertanggungjawabkan segala akibat yang ditimbulkan dari hak Izin yang diberikan;
2. menyampaikan laporan setiap 3 (tiga) bulan kepada Dinas mengenai usahanya dalam bentuk laporan atau format yang ditetapkan;
3. melaksanakan ketentuan teknis, keamanan dan keselamatan kerja serta kelestarian lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
4. memberdayakan potensi masyarakat setempat;
5. memberikan ganti kerugian hak atas tanah berikut tegakan dan atau kompensasi kepada masyarakat yang lahannya dimanfaatkan dan/atau terganggu akibat adanya kegiatan usaha Ketenagalistrikan;
6. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku;
7. memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan memperhatikan konsumen sesuai peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen;
8. memperhatikan keselamatan ketenagalistrikan; dan
9. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Bagian Ketiga
Penjualan Tenaga Listrik dan Jasa Penyaluran
Pasal 22
(1) Setiap pemegang Izin usaha pembangkitan tenga listrik dapat menjual tenaga listrik.
(2) Setiap pemegang Izin usaha transmisi tenaga listrik dapat menjual jasa penyaluran tenaga listrik.
(3) Setiap Pemegang Izin usaha distribusi tenaga listrik dapat menjual jasa penyaluran tenaga listrik.
(4) Harga jual tenaga listrik dan/atau penyaluran tenaga listrik ditetapkan oleh
Bupati.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jual beli, penetapan harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Keempat Konservasi, Lingkungan Hidup dan Keselamatan Ketenagalistrikan Pasal 23
Upaya konservasi ditetapkan pada seluruh tahap kegiatan, mulai dari ketersedian, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber energi untuk menjamin kepentingan generasi mendatang.
Pasal 24
(1) Setiap kegiatan ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. mentaati peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup;
b. setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan;
c. ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan bertujuan untuk mewujudkan kondisi :
1. andal dan aman bagi instalasi;
2. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan
3. ramah lingkungan.
d. ketentuan keselamatan ketenagalistrikan meliputi:
1. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
2. Pengamanan instalasi tenaga listrik; dan
3. Pengamanan pemanfaat tenaga listrik.
e. setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi;
f. setiap pemanfaatan tenaga listrik yang akan diperjual belikan wajib memiliki tanda keselamatan;
g. setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan
Standar Nasional Indonesia;
h. setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi; dan
i. untuk jenis usaha yang berkaitan dengan jasa konstruksi diatur tersendiri dalam undang-undang dibidang jasa kostruksi.
(2) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima Keadaan Memaksa Pasal 25
(1) Dalam hal terjadi membahayakan keselamatan umum dan lingkungan atau terjadi kekurangan penyediaan sumber energi, Bupati dapat menetapkan keadaan memaksa.
(2) Dalam hal keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati dapat mengambil tindakan penghentian operasi atau peningkatan produksi energi sesuai dengan kapasitas pengoperasian.
(3) Akibat terjadinya keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal ayat (2) pemegang Izin dapat mengajukan tenggang waktu/moratorium kepada Kepada Bupati.
(4) Bupati mengeluarkan keputusan diterima ditolaknya tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 6 bulan sesudah diajukan permintaan tersebut.
(5) Dalam tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hak dan kewajiban pemegang Izin tidak berlaku.
Bagian Keenam
Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian
Pasal 26
(1) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan pemanfaatan sumber energi dan ketenagalistrikan oleh Dinas, berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. keselamatan dan keamanan bagi manusia dan pada keseluruhan sistem penyediaan tenaga listrik;
b. pengembangan usaha;
c. pemanfaatan sumber energi setempat, termasuk pemanfaatan energi terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
d. perlindungan lingkungan;
e. pemanfaatan proses teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan berefisiensi tinggi;
f. pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, termasuk rekayasa dan kompetensi tenaga listrik;
g. keandalan dan kecukupan penyediaan tenaga listik; dan h. tercapainya standarisasi dalam bidang ketenagalistrikan.
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 27
(1) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan dari Peraturan daerah ini, dikenakan
Sanksi Administrasi sesuai Peraturan Perundang-undangan.
(2) Sanksi Administrasi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah ini yaitu berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau c. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 28
(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 29
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) yang mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban.
(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 30
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjual belikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 33
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau pengurusnya.
(2) Dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiganya.
BAB VII PENYIDIKAN Pasal 34
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang ketenagalistrikan.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tidak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret sesorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidikan yang berkaitan dengan aspek teknis, lingkungan hidup dan keselamatan ketenagalistrikan, petugas PPNS harus menggunakan hasil penyidikan Inspektur Ketenagalistrikan.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik berada dibawah koordinasi Penyidik POLRI.
BAB VIII PENEGAKAN HUKUM Pasal 35
(1) Penegakan hukum dilakukan oleh Dinas bersama-sama dengan Satuan Polisi
Pamong Praja serta Dinas/Instansi terkait lainnya.
(2) Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi tindakan preventif dan tindakan represif.
Pasal 36
Tindakan Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dilakukan antara lain meliputi :
a. pembinaan, kesadaran hukum aparatur dan masyarakat;
b. peningkatan profesionalisme aparatur pelaksana; dan/atau c. peningkatan peran dan fungsi pelaporan.
Pasal 37
Tindakan Represif sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (2) meliputi:
a. Tindakan penertiban terhadap perbuatan-perbuatan orang atau badan hukum yang melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Daerah dan Peraturan pelaksanaannya;
b. Pencabutan Izin terhadap Kegiatan Usaha Ketenagalistrikan; dan/atau
c. Penyerahan penanganan pelanggaran Peraturan Daerah kepada Lembaga yang berwenang.
Pasal 38
Masyarakat dapat melakukan pengawasan dan pengaduan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha ketenagalistrikan apabila terjadi pelanggaran.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39
Setiap Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya dan selanjutnya akan diadakan penyesuaian sebagaimana mestinya.
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 41
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Barru.
|