bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam;
bahwa pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan;
bahwa sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat;
bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1, KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAHAN
4. HAK DAN KEWAJIBAN
5. PERIZINAN
6. PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SAMPAH
7. PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI
8. KERJA SAMA DAN KEMITRAAN
9. PERAN MASYARAKAT
10. LARANGAN
11. PENGAWASAN
12. SANKSI ADMINISTRATIF
13. PENYELESAIAN SENGKETA
14. PENYIDIKAN
15. KETENTUAN PIDANA
16. KETENTUAN PERALIHAN
17. KETENTUAN LAIN-LAIN
18. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 07 Mei 2008.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan sistem tanggap darurat diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tata cara pelabelan atau penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan kewajiban produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan izin dan tata cara pengumuman diatur dengan peraturan daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.
dll
bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasaratas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjagakeseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,bahwa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga
keuangan dan di luar lembaga keuangan karenaterbatasnya jaminan,bahwa untuk memudahkan akses permodalan, dibutuhkan dukungan penjaminan dari lembaga
penjamin,bahwa untuk mendorong industri penjaminan yangdiselenggarakan secara efisien, berkesinambungan, dan berperan penting dalam pembangunan nasional, perlu
melakukan pengaturan terhadap industri penjaminan bahwa membentuk Undang-Undang tentang Penjaminan
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kendala internal, antara lain, terkait dengan keterbatasan modal, tidak mempunyai laporan keuangan yang baik, dan manajemen bersifat kekeluargaan. Adapun kendala eksternal, antara lain, berupa kesulitan mendapatkan permodalan, teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, dan kemitraan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 19 Januari 2016.
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, perlu dibentuk UU tentang Pemerintahan Aceh.
Dasar hukum UU ini adalah : Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara; UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; UU Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang; UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dalam UU ini diatur mengenai pembagian daerah Aceh dan kawasan khusus. Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota, Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan, Kecamatan dibagi atas mukim, dan Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Selain mengatur mengenai pembagian daerah, UU ini juga mengatur mengenai kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Agustus 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Telah dilakukan uji materiil oleh MK dengan nomor putusan 35/PUU-VIII/2010.
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ketentuan mengenai:
a. permohonan kepailitan bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 2; dan
b. penundaan kewajiban pembayaran utang bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 223,
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
UU No. 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
UU No. 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang
UU No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) NO. 4, LN.2023/No.4, TLN No.6845, jdih.setneg.go.id: 527 hlm.
Undang-undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
ABSTRAK:
Upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif. Untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam; perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi; sistem keuangan yang makin maju; serta untuk memperkuat kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, diperlukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Nomor 7 Tahun 1992; UU Nomor 25 Tahun 1992; UU Nomor 8 Tahun 1995; UU Nomor 32 Tahun 1997; UU Nomor 23 Tahun 1999; UU Nomor 24 Tahun 2002; UU Nomor 24 Tahun 2004; UU Nomor 40 Tahun 2004; UU Nomor 21 Tahun 2008; UU Nomor 2 Tahun 2009; UU Nomor 7 Tahun 2011; UU Nomor 21 Tahun 2011; UU Nomor 1 Tahun 2013; UU Nomor 40 Tahun 2014; UU Nomor 1 Tahun 2016; dan UU Nomor 9 Tahun 2016.
UU ini mengatur mengenai ekosistem sektor keuangan yang meliputi: 1) kelembagaan; 2) perbankan; 3) Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing; 4) perasuransian dan penjaminan; 5) asuransi Usaha Bersama; 6) program penjaminan polis; 7) Usaha Jasa Pembiayaan; 8) kegiatan usaha bulion (bullion); 9) Dana Pensiun, program jaminan hari tua, dan program pensiun; 10) kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan; 11) lembaga keuangan mikro; 12) Konglomerasi Keuangan; 13) Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK); 14) penerapan Keuangan Berkelanjutan; 15) Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen; 16) akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 17) sumber daya manusia; 18) Stabilitas Sistem Keuangan; 19) lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan 20) penegakan hukum di sektor keuangan. Undang-Undang ini mereformasi sektor keuangan dengan mengatur kelembagaan dan Stabilitas Sistem Keuangan dan pengembangan dan penguatan industri. Oleh sebab itu, Undang-Undang ini mengatur penguatan hubungan pengawasan dan pengaturan antar lembaga di bidang sektor keuangan guna mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan dalam hal ini antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Salah satunya melalui wadah Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam mekanisme pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial dalam jaring pengaman sistem keuangan. Selanjutnya, penguatan lembaga yang berwenang sebagai pengatur dan pengawas sektor keuangan dilakukan untuk menjaga kestabilan industri sektor keuangan dan peningkatan kepercayaan masyarakat.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2023.
UU ini mencabut UU Nomor 11 Tahun 1992 dan mengubah beberapa UU sebagaimana tercantum dalam UU ini.
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik;
bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;
bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara adalah Pasal 20 dan Pasal 21 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;.
Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan.
Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Untuk meningkatkan produktivitas dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak memperoleh jaminan sosial.
Dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN, dibentuk KASN yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik dan kode perilaku ASN.
KASN beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima) orang anggota. KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan. Selain itu KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Untuk menyalurkan aspirasi dalam rangka pembinaan dan pengembangan profesi ASN, Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi ASN. Sistem Informasi ASN merupakan rangkaian informasi dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2014.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890),
Ketentuan mengenai Kepegawaian Daerah yang diatur dalam Bab V Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan peraturan pelaksanaannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi dan kompetensi yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dan berperan mendorong pembangunan nasional;
bahwa dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan undang-undang yang baru;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia dan penutupan Objek Asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Undang-Undang ini juga mengharuskan penyelenggaraan Program Asuransi Wajib, misalnya asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga bagi pengendara kendaraan bermotor, secara kompetitif dan memungkinkan pemberian fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan pemanfaatan Asuransi atau Asuransi Syariah dalam rangka pengelolaan risiko.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan. Pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam hal pengaturan lini usaha dan produk Asuransi dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau kecilnya peran industri perasuransian tersebut.
Pengaturan dalam Undang-Undang ini juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan Perasuransian diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh persetujuan berhenti sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, jumlah, dan persyaratan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan metode mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan investasi kekayaan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelesaian kewajiban Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim likuidasi dan pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan dari kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan dan pelaksanaan sebagian fungsi pengaturan dan pengawasan oleh pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta kriteria dan tata cara penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan atau pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta besaran denda sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi Pihak yang tidak melakukan penyesuaian pemegang saham pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi Perusahaan Perasuransian yang tidak melakukan penyesuaian kepemilikan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat;
bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan;
bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan;
bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, peningkatan kerja sama lintas sector, dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.
Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta.
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan Tenaga Kesehatan, termasuk peningkatan karier. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan Tenaga Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi, Registrasi, perizinan, dan hak-hak Tenaga Kesehatan.
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan, penguatan sistem informasi Tenaga Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta sosial ekonomi dan budaya.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 92)
Pasal 4 ayat (2), Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 94 huruf a); dan
Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Pasal 94 huruf b).
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan tenaga pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional diatur dengan Peraturan Menteri.
78
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat