bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia;
bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
bahwa selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962).
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi (i) pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah; (ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah; (iii) pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; serta (iv) pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Juni 2011.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ciri, desain, dan kriteria bahan baku Rupiah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengedarkan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggantian atas Rupiah yang dicabut dan ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
UU No. 37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang
bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas Wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia;
bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab tantangan yang ada.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. PELAKSANAAN FUNGSI KEIMIGRASIAN
3. MASUK DAN KELUAR WILAYAH INDONESIA
4. DOKUMEN PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA
5. VISA, TANDA MASUK, DAN IZIN TINGGAL
6. PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
7. TINDAKAN ADMINISTRATIF KEIMIGRASIAN
8. RUMAH DETENSI IMIGRASI DAN RUANG DETENSI IMIGRASI
9. PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN
10. PENYIDIKAN
11. KETENTUAN PIDANA
12. BIAYA
13. KETENTUAN LAIN-LAIN
14. KETENTUAN PERALIHAN
15. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 05 Mei 2011.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474);
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5064); dan
semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara masuk dan keluar Wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian, penarikan, pembatalan, pencabutan, penggantian, serta pengadaan blanko dan standardisasi Dokumen Perjalanan Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan, jenis kegiatan, dan jangka waktu Visa, serta tata cara pemberian Tanda Masuk diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Alih status Izin Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan, jangka waktu, pemberian, perpanjangan, atau pembatalan Izin Tinggal, dan alih status Izin Tinggal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keimigrasian, Intelijen Keimigrasian, Rumah Detensi Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi, serta penanganan terhadap korban perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan PPNS Keimigrasian, dan administrasi penyidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan khusus Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
bahwa pembangunan nasional yang berkesinambungan memerlukan perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta memenuhi prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa jasa akuntan publik merupakan jasa yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan berpengaruh secara luas dalam era globalisasi yang memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta meningkatkan transparansi dan mutu informasi dalam bidang keuangan;
bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur profesi akuntan publik yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur antara lain:
lingkup jasa Akuntan Publik;
perizinan Akuntan Publik dan KAP;
hak, kewajiban, dan larangan bagi Akuntan Publik dan KAP;
kerja sama antar-Kantor Akuntan Publik (OAI) dan kerja sama antara KAP dan Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA);
Asosiasi Profesi Akuntan Publik;
Komite Profesi Akuntan Publik;
pembinaan dan pengawasan oleh Menteri;
sanksi administratif; dan
ketentuan pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 03 Mei 2011.
Ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan (“Accountant”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 705) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Ketentuan mengenai pembatasan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin Akuntan Publik Asing menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perpanjangan izin Akuntan Publik diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara menjadi Rekan non-Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan pencabutan izin usaha KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin cabang KAP dan tidak berlakunya izin cabang KAP diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan domisili Akuntan Publik dan KAP sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d serta pelatihan profesional berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran dan pembatalan status terdaftar OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama KAPA atau OAA, perjanjian kerja sama, persetujuan pencantuman nama, pengajuan permohonan, dan persetujuan pencantuman nama KAPA atau OAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran KAPA atau OAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Asosiasi Profesi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan SPAP, penyelenggaraan ujian profesi akuntan publik, dan pendidikan profesional berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan unsur-unsur, serta tata kerja Komite Profesi Akuntan Publik, dan sekretariat Komite Profesi Akuntan Publik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap Akuntan Publik, KAP, dan/atau cabang KAP diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman Pihak Terasosiasi dalam daftar orang tercela diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
ABSTRAK:
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801);
Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam penataan dan penyempurnaan Partai Politik di Indonesia adalah persyaratan pembentukan Partai Politik, persyaratan kepengurusan Partai Politik, perubahan AD dan ART, rekrutmen dan pendidikan politik, pengelolaan keuangan Partai Politik dan kemandirian Partai Politik.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2011.
Merubah UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (3a) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
ABSTRAK:
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif;
bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia;
bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
bahwa pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau;
bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
3. PEMBINAAN
4. TUGAS DAN WEWENANG
5. PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
6. PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
7. PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
8. PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH
9. PENYEDIAAN TANAH
10. PENDANAAN DAN SISTEM PEMBIAYAAN
11. HAK DAN KEWAJIBAN
12. PERAN MASYARAKAT
13. LARANGAN
14. PENYELESAIAN SENGKETA
15. SANKSI ADMINISTRATIF
16. KETENTUAN PIDANA
17. KETENTUAN PERALIHAN
18. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2011.
-
Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah memenuhi persyaratan wajib mendapat pengesahan dari pemerintah daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai pemanfaatan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghunian dengan cara sewa menyewa dan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghunian rumah negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai kriteria MBR dan persyaratan kemudahan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan penyelenggaraan kawasan permukiman diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif, pengenaan disinsentif, dan pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan lokasi, pemugaran, peremajaan, pemukiman kembali, dan pengelolaan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai konsolidasi tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2), serta forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) dan Pasal 132 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa tanaman hortikultura sebagai kekayaan hayati merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam Indonesia yang sangat penting sebagai sumber pangan bergizi, bahan obat nabati, dan estetika, yang bermanfaat dan berperan besar dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yang perlu dikelola dan dikembangkan secara efisien dan berkelanjutan;
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum dapat memberikan kepastian hukum dalam pengembangan hortikultura sesuai dengan perkembangan dan tuntutan dalam masyarakat.
Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
3. PERENCANAAN HORTIKULTURA
4. PEMANFAATAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
5. PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
6. DISTRIBUSI, PERDAGANGAN, PEMASARAN, DAN KONSUMSI
7. PEMBIAYAAN, PENJAMINAN, DAN PENANAMAN MODAL
8. SISTEM INFORMASI
9. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
10. PEMBERDAYAAN
11. KELEMBAGAAN
12. PENGAWASAN
13. PERAN SERTA MASYARAKAT
14. SANKSI ADMINISTRATIF
15. PENYIDIKAN
16. KETENTUAN PIDANA
17. KETENTUAN PERALIHAN
18. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 24 November 2010.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi keahlian dan kemampuan tertentu di bidang hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai varietas tanaman hortikultura yang pengeluarannya dari wilayah negara Republik Indonesia dapat merugikan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji mutu dan pendaftaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji mutu dan pendaftaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi unit usaha budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan dan perizinan unit usaha budidaya hortikultura diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha hortikultura diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan standar proses dan persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pembinaan dan fasilitasi pengembangan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas dan insentif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi benih, sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran dan pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemuliaan, introduksi, dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengujian, lembaga penguji, dan jenis yang dikecualikan, diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara peluncuran varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, dan persyaratan izin khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan bangsal pascapanen atau tempat yang memenuhi persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memperdagangkan produk hortikultura dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan kewajiban sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan tata cara pemasaran yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan dan pengembangan kawasan dan/atau unit usaha budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria kawasan dan/atau unit usaha budidaya hortikultura untuk usaha wisata agro sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penggelaran produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar mutu dan/atau keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan fasilitasi ekspor produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian rekomendasi dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tata cara penetapan pintu masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan produk segar hortikultura impor tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pembiayaan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga pengembangan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan pelaksanaan tugas lembaga pengembangan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi, besarnya denda, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
bahwa pembangunan kepribadian ditujukan untuk mengembangkan potensi diri serta memiliki akhlak mulia, pengendalian diri, dan kecakapan hidup bagi setiap warga negara demi tercapainya kesejahteraan masyarakat;
bahwa pengembangan potensi diri sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam berbagai upaya penyelenggaraan pendidikan, antara lain melalui gerakan pramuka;
bahwa gerakan pramuka selaku penyelenggara pendidikan kepramukaan mempunyai peran besar dalam pembentukan kepribadian generasi muda sehingga memiliki pengendalian diri dan kecakapan hidup untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global;
bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini belum secara komprehensif mengatur gerakan pramuka.
Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28C, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
aspek pendidikan kepramukaan, kelembagaan, tugas dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, hak dan kewajiban para pemangku kepentingan, serta aspek keuangan gerakan pramuka.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 24 November 2010.
bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;
bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;
bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP
3. KRITERIA CAGAR BUDAYA
4. PEMILIKAN DAN PENGUASAAN
5. PENEMUAN DAN PENCARIAN
6. REGISTER NASIONAL CAGAR BUDAYA
7. PELESTARIAN
8. TUGAS DAN WEWENANG
9. PENDANAAN
9. PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
10. KETENTUAN PIDANA
11. KETENTUAN PERALIHAN
12. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 24 November 2010.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penemuan Cagar Budaya dan kompensasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeringkatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Nasional Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelamatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan Pasal 69 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem Zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengembangan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemanfaatan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
54
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat