ABSTRAK: |
- a. bahwa penyelenggaraan usaha kepariwisataan merupakan salah satu potensi sangat pesat perkembangannya di Kabupaten Barru dan sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah, sehingga diperlukanpengembangan kepariwisataan yang dilandasi nilai- nilai budaya bangsa sebagai jati diri utama dalam suasana kondusif aman, tertib dan nyaman;
b. bahwa pengembangan bidang pariwisata merupakan salah satu sektor yang mampu memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan perekonomian untuk memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pemerintah Daerah berwenang mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan.
- 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat II Di Sulawesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1822);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3845);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4988);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3658);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4578);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4593);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125);
13. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Barru (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun 2005 Nomor
24, tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru Nomor 1);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Barru (Lembaran Daerah Kabupaten Barru Tahun
2008 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru nomor 3);
15. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2008
Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Barru Nomor
6);
- PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA KEPARIWISATAAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang di maksud dengan:
1. Daerah adalah KabupatenBarru.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Bupati adalah BupatiBarru.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Barru.
5. Dinas Pariwisata adalah Dinas Kebudayaan, Priwisata, Pemuda dan Olah Raga
Kabupaten Barru.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Kebudayaan, Priwisata, Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Barru.
7. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha.
8. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
9. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
10. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
11. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
12. Daerah Tujuan Pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
13. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
14. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
15. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka mengahasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
16. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan.
17. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilam dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.
18. Permandian Alam adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk mandi-mandi dengan memanfaatkan air panas dan/atau air terjun dan/atau air sumber sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi.
19. Kolam Pemancingan adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk memancing ikan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum.
20. Cafe dan sejenisnya adalah suatu usaha yang menyediakan pelayanan jasamakan dan minum disertai fasilitas hiburan.
21. Pusat Pasar Seni adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk memamerkan, menjual atau mendemontrasikan kegiatan (karya) seni.
22. Teater atau Panggung Terbuka adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk pertunjukan seni budaya di tempat terbuka (tanpa atap) dan dapat dilengkapi dengan penyedian jasa pelayanan makan dan minum.
23. Usaha Fasilitas Wisata Tirta dan Rekreasi Air adalah suatu usaha yang menyediakan peralatan atau perlengkapan untuk rekreasi di air yang dikelola secara komersial.
24. Usaha Sarana dan Fasilitas Olah Raga adalah suatu usaha yang menyediakan peralatan atau perlengkapan untuk olah raga atau ketangkasan baik di darat, air dan udara yang dikelola secara komersial.
25. Balai Pertemuan Umum adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk menyelenggarakan pertemuan, rapat, pesta atau pertunjukan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum.
26. Salon Kecantikan adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan tempat dan fasilitas untuk memotong, menata rambut, merias muka serta merawat kulit dengan bahan kosmetika.
27. Lapangan Tenis adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk olah raga tenis sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum.
28. Lapangan Bulu Tangkis adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk olah raga bulu tangkis sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum.
29. Gelanggang Olah Raga Tertutup adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk kegiatan bermain (anak) olah raga sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum dan dalam area tertutup.
30. Gelanggang Olah Raga Terbuka adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk kegiatan bermain (anak) olah raga sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum di tempat terbuka.
31. Jasa Biro Perjalanan Wisata adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mengatur, menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan bagi seseorang atau kelompok orang untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama berwisata.
32. Jasa Agen Perjalanan Wisata adalah kegiatan usaha yang menyelenggarakan usaha perjalanan yang bertindak sebagai perantara di dalam menjual dan atau mengurusjasa untuk melakukan perjalanan.
33. Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam adalah usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya yang telah ditetapkan sebagai obyek dan daya tarik wisata untuk dijadikan sasaran wisata.
34. Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Budaya adalah usaha pemanfaatan seni dan budaya untuk dijadikan sasaran wisata.
35. Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Minat Khusus adalah usaha pemanfaatan sumber daya alam dan/atau potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata.
36. Usaha Penyediaan Akomodasi adalah penyediaan kamar dan fasilitas lain serta pelayanan yang diperlukan.
37. Usaha Penyediaan Makan dan Minum adalah usaha pengolahan, penyediaan dan pelayanan makanan dan minuman yang dapat dilakukan sebagai bagian dari penyediaan akomodasi ataupun sebagai usaha yang berdiri sendiri.
38. Usaha Penyediaan Angkutan Wisata adalah usaha khusus atau sebagian dari usaha dalam rangka penyediaan angkutan pada umumnya terdiri dari angkutan khusus wisata atau angkutan umum yang menyediakan angkutan wisata.
39. Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta adalah usaha menyediakan dan mengelola prasarana dan sarana serta jasa berkaitan dengan kegiatan wisata tirta (dapat dilakukan di laut, sungai, danau, rawa, waduk dan dermaga) serta
fasilitas olahraga air untuk keperluan olah raga berlayar, menyelam dan memancing.
40. Usaha Kawasan Pariwisata adalah usaha yang kegiatannya membangun atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
41. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban dibidang pariwisata.
42. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan daerah.
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN KODE ETIK PARIWISATA
Bagian Kesatu Asas dan Tujuan Pasal 2
Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan;
e. kemandirian;
f. kelestarian;
g. partisipatif;
h. berkelanjutan;
i. demokratis;
j. kesetaraan; dan k. kesatuan.
Pasal 3
Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan bertujuan untuk :
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat kekhasan dan citra daerah;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan nasional; dan j. mempererat persahabatan antardaerah.
Bagian Kedua
Kode Etik Priwisata
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan didasarkan pada kode etik pariwisata global, sebagai berikut :
a. Pariwisata memberikan kontribusi untuk saling memahami dan saling menghormati antara manusia dan masyarakat;
b. Pariwisata sebagai penggerak bagi kepuasan bersama dan individu;
c. Pariwisata sebagai faktor pembangunan yang berkelanjutan;
d. Pariwisata sebagai pengguna warisan budaya dan kontributor terhadap peningkatannya;
e. Pariwisata sebagai aktivitas yang mengntungkan bagi negara, daerah dan masyarakat lokal;
f. Pariwisata mendorong kewajiban seluruh sektor pembangunan dalam pengembangan pariwisata;
g. Pariwisata mendorong pengembangan hak-hak kepariwisataan;
h. Pariwisata menjamin kebebasan pergerakan wisatawan; dan
i. Pariwisata wajib mengembangkan hak-hak tenaga kerja dan wirausahawan dalam industri pariwisata.
(2) Implementasi prinsip-prinsip kode etik pariwisata global sebagaimana dimaksudpada Pasal (1), dilaksanakan oleh seluruh pelaku kepariwisataan.
BAB III
WEWENANG PEMERINTAH DAERAH
Pasal 5
(1) Dalam Penyelenggaraan Kepariwisataan Pemerintah Daerah :
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten;
b. menetapkan destinasi pariwisata kabupaten;
c. menetapkan daya tarik wisata kabupaten;
d. melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
e. mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
f. memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g. memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
h. menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten;
i. memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
j. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan k. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
(2) Penyusunan dan penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 6
(1) Setiap perseorangan, organisasi pariwisata, lembaga pemerintah, serta badan usaha yang berprestasi luar biasa atau berjasa besar dalam partisipasinya meningkatkan pembangunan, kepeloporan, dan pengabdian di bidang kepariwisataan yang dapat dibuktikan dengan fakta yang konkret diberi penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah
Daerah atau lembaga lain yang tepercaya.
(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian piagam, uang, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan, bentuk penghargaan, dan pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan.
(2) Dalam menyediakan dan menyebarluaskan informasi, Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi kepariwisataan daerah.
BAB IV PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
Pasal 8
Pembangunan Kepariwisataan dilakukan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
Pasal 9
Pembangunan kepariwisataan meliputi :
a. Industri pariwisata;
b. Destinasi pariwisata ;
c. Pemasaran; dan
d. Kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 10
(1) Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah.
(2) Rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran yang akan diwujudkan, kebijakan dan strategi untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan destinasi pariwisata, pembangunan usaha pariwisata, pemasaran pariwisata serta pengorganisasian kepariwisataan dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan kepariwisataan.
(3) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Pasal 11
Dalam hal yang bersifat khusus atau sebagai kegiatan rintisan, pemerintah daerah dapat menyelenggarakan kegiatan wisata secara mandiri atau bekerjasama dengan usaha pariwisata dan/atau masyarakat setempat.
Pasal 12
(1) Wilayah, lokasi, bangunan yang karena memiliki sifat khusus dan/atau telah digunakan oleh perseorangan, masyarakat atau badan usaha sebagai daya tarik wisata, wajib dilindungi dan/atau dapat dikuasai oleh pemerintah daerah agar tidak beralih fungsi atau merugikan kepentingan umum.
(2) Wilayah, lokasi, bangunan yang karena memiliki sifat khusus dan/atau telah digunakan oleh perseorangan, masyarakat atau badan usaha sebagai daya tarik wisata yang akan dikuasai oleh pemerintah daerah, diatur berdasarkan mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kepada perseorangan, masyarakat atau badan usaha yang memiliki dan/atau menguasai wilayah,lokasi, bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kompensasi sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
(4) Kriteria wilayah, lokasi, bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan bupati.
Pasal 13
Pemerintah daerah bersama lebmbaga yang terkait menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan.
BAB V
PENDANAAN DAN PERMODALAN PARIWISATA
Bagian Kesatu
Pendanaan
Pasal 14
Pendanaan kepariwisataan menjadi tanggung jwab bersama antar Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat.
Pasal 15
Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 16
Usaha sarana pariwisata, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah atau warga negara republik Indonesia dapat berbentuk badan usaha atau badan perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Usaha sarana pariwista, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang seluruh modalnya patungan antara Pemerintah Daerah atau Warga Negara Republik Indonesia dan Pemerintah Asing atau Warga Negara Asing bentuk usahanya harus perseroan terbatas.
BAB VI
BENTUK USAHA PARIWISATA
(1) Usaha Pariwisata meliputi:
Pasal18
a. Daya Tarik Wisata, terdiri dari :
1) Taman Rekreasi;
2) Taman Cagar Budaya; dan
3) Taman Wisata Bahari;
b. Kawasan Pariwisata;
c. Jasa Transportasi Wisata;
d. Jasa Perjalanan Wisata, terdiri dari :
1) Jasa Biro Perjalanan Wisata; dan
2) Jasa Agen Perjalanan Wisata. e. Jasa Makanan dan Minuman;
f. Penyediaan Akomodasi, terdiri dari :
1) Hotel/Wisma/Penginapan/Bungalow;
2) Sarana dan Prasarana olahraga; dan
3) Pusat Kesehatan;
g. Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi, terdiri dari:
1) Pusat Kegiatan Olahraga;
2) Kolam Pemancingan;
3) Gelanggang Permainanan Ketangkasan;
4) Café;
5) Dunia fantasi;
6) Karaoke;
7) Pagelaran Kesenian; dan
8) Pertunjukan Temporer;
h. Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Koferensi dan Pameran, terdiri dari :
1) Pusat Pasar Seni;
2) Teater dan Panggung Terbuka;
3) Teater Tertutup; dan
4) Balai Pertemuan Umum;
i. Jasa Informasi Pariwisata; j. Jasa Konsultan Pariwisata; k. Jasa Pramuwisata;
l. Wisata Tirta, terdiri dari :
1) Gelanggang Renang;
2) Pemandian Alam; dan
3) Taman Pantai/Laut. m. Spa, terdiri dari :
1) Pijat Kesehatan/Refleksi;
2) Potong Rambut; dan
3) SalonKecantikan;
n. Wisata Agro, terdiri dari :
1) Agro Wisata Perikanan;
2) Agro Wisata Pertanian;
(2) Jenis-jenis usaha pariwisata yang belum ditentukan sebagai katagori usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB VII
KAWASAN DESTINASI PARIWISATA
Pasal 19
(1) Pengembangan kawasan destinasi pariwisata dilakukan melalui :
a. Penataan kawasan dan jalur pariwisata;
b. Penyediaan sarana dan prasarana; dan
c. Pemeliharaan kelestarian dan mutu lingkungan hidup;
(2) Pengembangan kawasan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh masyarakat, penyelenggara usaha pariwisata, pemerintah daerah atau dalam bentuk kemitraan;
(3) Kawasan-kawasan tertentu sebagai sentra pengembangan aktivitas kepariwisataan ditetapkan dengan peraturan Bupati
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 20
(1) Pemerintah daerah berhak mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan.
(2) Pemerintah daerah berhak mendapatkan data dan informasi kegiatan usaha pariwisata yang dilakukan oleh badan usaha dan perorangan.
Setiap pengusaha pariwisata berhak :
Pasal 21
a. Mendapat kemudahan pelayanan dari pemerintah daerah;
b. Memperoleh kesempatan yang sama dalam melakukan usaha pariwisata;
c. Terdaftar sebagai pelaku usaha pariwisata;
d. Mendapat fasilitas dari pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang
– undangan;
e. Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan; dan
f. Mendapat perlindungan hukum dalam melakukan kegiatan usahanya.
(1) Setiap orang berhak :
Pasal 22
a. Memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. Melakukan usaha pariwisata;
c. Menjadi pekerja/burub pariwisata;
d. Berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan; dan/atau
e. Mendapatkan penghargaan atas jasa penemuan, pelestarian dan penyelamatan benda cagar budaya.
(2) Setiap orang dan/atau masyarakat didalam dan sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas :
a. Menjadi pekerja/buruh;
b. Konsinyasi;
c. Pengelolaan; dan/atau d. Produk lokal.
Pasal 23
Setiap wisatawan berhak memperoleh :
a. Informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata beserta fasilitasnya;
b. Pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c. Perlindungan hukum dan keamanan serta kenyamanan;
d. Pelayanan kesehatan;
e. Perlindungan hak pribadi; dan
f. Perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang memiliki resiko tinggi.
Pasal 24
Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Bagian kedua
Kewajiban
Pasal 25
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban :
a. Memberikan pelayanan dan kemudahan atau fasilitas kepada para pengusaha pariwisata secara optimal;
b. Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
c. Menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata;
d. Memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset-aset daerah yang menjadi daya tyarik wisata, dan aset-aset potensial yang belum tergali;
e. Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas;
f. Memberikan penghargaan kepada warga masyarakat dan dunia usaha yang berprestasi sesuai dengan bidangnya;
g. Memberikan perlindungan dan memfasilitasi terhadap pengembangan karya seni budaya yang merupakan daya tarik wisata;
h. Menyelenggarakan promosi investasi pengembanyan pariwisata; dan
i. Menyelenggarakan diseminasi informasi dalam rangka meningkatkan sadar wisata.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Setiap orang berkewajiban :
Pasal 26
a. Menjaga dan melestarikan daya tarik wisata;
b. Membantu terciptanya suasana aman, tertib, dan bersih di lingkungan destinasi pariwisata; dan
c. Berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.
Setiap Wisatawan berkewajiban :
Pasal 27
a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. Turut serta menjaga keamanan, ketertiban kebersihan, dan kelestarian lingkungan ; dan
c. Berpartisipasi mencegahsegala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Pasal 28
Setiap Pengusaha Pariwisata berkewajiban :
a. Melapor apabila usahanya dipindahtangankan, adanya perubahan skala usaha dan/atau perpindahan lokasi/tempat usaha;
b. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
c. Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan kesalamatan wisatawan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Memberikan informasiyang akurat dan bertanggung jawab;
e. Memberikan pelayanan yang optimal dan tidak diskrimatif;
f. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum dilingkungan tempat usahanya;
g. Menjaga dan memelihara situasi yang kondusif di lingkungan usahanya;
h. Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang beresiko tinggi;
i. Menyediakan fasilitas dan sarana bagi penyandang catat , lanjut usia dan anak
– anak sesuai jenis usaha pariwisata berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan;
j. Memprioritaskan penggunaan produk masyarakt setempat, produk dalam negeri, dan seni budaya tradisi daerah, serta memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
k. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan, serta melakukan uji kompetensi pada setiap tenaga kerjanya;
l. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
m. Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
n. Membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan sadar wisata dan sapta pesona bagi masyarakat di sekitarnya;
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 29
(1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik Daya Tarik Wisata. (2) Merusak fisik Daya Tarik Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, mengahncurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah.
BAB IX
IZIN USAHA PARIWISATA
Pasal 30
(1) Pengusaha pariwisata yang menyelenggarakan usaha pariwisata wajib memiliki izin usaha pariwisata yg diterbitkan oleh bupati.
(2) Dalam memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan perizinan teknis dan persyaratan administrasi.
(3) Pengusaha wajib menjamin bahwa perizinan teknis dan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah absah, benar dan sesuai dengan fakta.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata caramemperoleh izin usaha pariwisata dan mengenai perizinan teknis dan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 31
(1) Izin usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku selama perusahaan melakukan kegiatan usaha pariwisata.
(2) Izin usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan ulang setiap 3 (tiga) tahun.
(3) Pengusaha wajib mengajukan secara tertulis kepada bupati permohonan pemutakhiran izin usaha pariwisata apabila terdapat suatu perubahan kondisi terhadap hal yang tercantum dalam izin usaha pariwisata dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah suatu perubahan terjadi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemutakhiran izin usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
(1) Pengusaha pariwisata yang menyelenggarakan usaha pariwisata yang tergolong usaha mikro atau kecil dibebaskan dari ketentuan izin usaha pariwisata.
(2) Pengusaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan badan usahanya.
Pasal 33
Bupati dapat menunda atau meninjau kembali izin usaha pariwisata apabila tidak sesuai dengan ketentuan dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 34
Pemerintah daerah mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara :
a. Membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasai; dan
b. Memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan usaha skala besar
BAB X
FASILITAS USAHA KEPARIWISATAAN MILIK DAERAH
Pasal 35
(1) Fasilitas Usaha Kepariwisataan Milik Daerah terdiri dari :
a. Fasilitas Usaha Akomodasi;
b. Fasilitas Usaha Rekreasi dan Hiburan;
c. Fasilitas Cagar Budaya;
d. Fasilitas Wisata Bahari;
e. Fasilitas Pelatihan Kepariwisataan;
f. Fasilitas Pelayanan Informasi Pariwisata; dan
g. Fasilitas Kepariwisataan lain yang ditetapkan kemudian dengan Keputusan
Bupati;
(2) Fasilitas Usaha Kepariwisataan Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 36
(1) Penggunaan Fasilitas Usaha Kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), dikenakan Retribusi;
(2) Jenis dan besarnya Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersendiri;
(3) Penggunaan fasilitas usaha kepariwisataan lainnya yang dimiliki oleh daerah yang belum dikenakan retribusi dapat dikenakan biaya sewa pemakaian fasilitas;
(4) Besarnya tarif biaya sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati selama belum ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Retribusi
BAB XI
KOORDINASI
Pasal 37
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan kepariwisataan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan pariwisata.
(2) Koordinasi lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina;
b. Bidang keamanan dan ketertiban;
c. Bidang prasarana umum yang mencakup jalan, air bersigh, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;
d. Bidang transportasi darat,laut, dan udara; dan
e. Bidang promosi pariwisata dan kerjasama luar negeri.
BAB XII
BADAN PROMOSI PARIWISATA DAERAH
Pasal 38
(1) Dalam rangka mendukung program umum pengembangan pariwisata Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Promosi
Pariwisata Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIII
GABUNGAN INDUSTRI PARIWISATA DAERAH
Pasal 39
(1) Di Daerah dapat dibentuk Gabungan Industri Pariwisata Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, keanggotaan, susunan kepengurusan, dan kegiatan Gabungan Industri Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 40
(1) Pembinaan penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan oleh Bupati dalam bentuk pengaturan, bimbingan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan Usaha Pariwisata.
(2) Pembinaan penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan agar tercipta kondisi yang mendukung kepentingan wisatawan, kelangsungan usaha pariwisata dan terpeliharanya objek serta Daya tarik Wisata beserta lingkungannya.
(3) Dalam rangka mewujudkan pembinaan penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan upaya :
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas kepariwisataan;
b. Penyebaran pembangunan kepariwisataan;
c. Peningkatan aksebilitas pariwisata;
d. Penciptaan iklim usaha yang sehat di bidang usaha pariwisata;
e. Peningkatan peran serta swasta dalam pengembangan usaha pariwisata;
f. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan usaha pariwisata;
g. Perlindungan terhadap pelestarian dan keutuhan objek dan daya tarik wisata;
h. Peningkatan promosi dan pemasaran produk wisata;dan
i. Peningkatan kerjasama regional, nasional maupun internasional.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah melalui perangkat daerah yang membidangi kepariwisataan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan.
(2) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB XV PENYIDIKAN
Pasal 42
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini, dilaksanakan oleh Penyidik Umum dan/atau oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilingkungan Pemerintah Daerah;
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para penyidik sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berwenang :
a. Menerima Laporan atau Pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang Tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
Tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda dan/atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret Tersangka;
f. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau
Saksi;
g. Mendatangkan Orang Ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, Tersangka atau Keluarganya; dan
i. Melakukan tindakan lain menurut Hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan;
BAB XVI
KETENTUAN SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administrasi
Pasal 43
(1) Setiap orang dan/atau wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 29, dikenai sanksi
berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi.
(2) Apabila orang dan/atau wisatawan telah diberi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diindahkannya, orang dan/atau wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi perbuatan dilakukan.
Pasal 44
(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan
c. pembekuan sementara kegiatan usaha.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 45
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana yangdimaksud dalam Peraturan Daerah ini, diancam Pidana kurungan paling lama 6 bulan kurungan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).
(2) Tindak Pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah
Pelanggaran.
BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 46
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua usaha pariwisata yang selama ini sudah ada wajib melakukan pendaftaran untuk memperoleh izin usaha pariwisata.
BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dengan
Peraturan Bupati.
Pasal 48
Peraturan Daerah ini berlaku mulai tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Barru.
|