Sumber daya air merupakan karunia Tuhan YME yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras dan perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ini diatur mengenai pengelolaan sumber daya air berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Selain pemerintah, Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 18 Maret 2004.
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dinyatakan tidak berlaku. Namun Berdasarkan putusan Mahkamah Konsitusi Nomor bernomor 85/PUU-XI/2013, UU ini dicabut keseluruhannya. Sehingga UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dinyatakan berlaku kembali.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas dasar pertimbangan sebagaimana tersebut, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dasar hukum undang-undang ini adalah : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2004.
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
ABSTRAK:
bahwa pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam rangka mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk mendukung terwujudnya pembangunan nasional yang berkesinambungan dan sejalan dengan tantangan perkembangan serta pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi, maka kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah;
bahwa sehubungan dengan itu, perlu dilaksanakan prinsip keseimbangan antara independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan pengawasan dan tanggung jawab atas kinerjanya serta akuntabilitas publik yang transparan.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
1. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah
2. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah
3. Ketentuan Pasal 7 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu ayat (2)
4. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a diubah
5. Ketentuan Pasal 11 ditambah 2 (dua) ayat baru yaitu ayat (4) dan ayat (5)
6. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) diubah
7. Penjelasan Pasal 37 ayat (1) diubah
8. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) diubah, dan menambah 2 (dua) ayat baru yaitu ayat (3) dan ayat (4)
9. KetentuanPasal40hurufbdiubah
10. Ketentuan Pasal 41 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah
11. Ayat (1) huruf c Pasal 47 dihapus, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3),
12. Ketentuan Pasal 48 diubah, dan ditambah 2 (dua) ayat baru, yaitu ayat (2) dan ayat (3),
13. Ketentuan Pasal 52 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat baru, yaitu ayat (2),
14. Ketentuan Pasal 54 ayat (2) diubah,
15. Ketentuan Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) diubah
16. Ketentuan Pasal 58 diubah,
17. Di antara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 58A
18. Ketentuan Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (4),
19. Ketentuan Pasal 62 diubah
20. Ketentuan Pasal 77 diubah,
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2004.
mengubah UU 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pemberhentian anggota Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Undang-undang (UU) tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
ABSTRAK:
bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;vbahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan– ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279).
Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 2005.
mencabut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686).
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
103
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat