ABSTRAK: |
- Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan mengoptimalkan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan potensi objek Pajak terhadap pendapatan asli Daerah Kabupaten Luwu Timur;
b. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, dimana terjadi perubahan nama nomenklatur Perangkat Daerah sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan saat ini;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Nomor
2 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
- 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang• undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
,, .
l
' r :
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang• undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4270);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang• Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3643);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan PBB-P2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4200);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 4578);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5161);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayarkan Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5179);
14. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 2
Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 73);
15. Peraturan Bupati Luwu Timur Nomor 2 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaaan dan Perkotaan Kabupaten Luwu Timur (Berita Daerah Kabupaten Luwu Timur tahun 2014 Nomor 2).
- PERATURAN BUPATI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN LUWU TIMUR.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Luwu Timur Nomor 2 Tahun
2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Luwu Timur (Berita Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2014 Nomor 2) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 2 dan angka 4 Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Luwu Timur.
r' .
4. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat BPKD adalah perangkat daerah yang membidangi urusan pengelolaan keuangan daerah.
5. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
7. Wajib Pajak adalah Orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak dan pemungut Pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang• undangan perpajakan daerah.
8. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
9. Objek Pajak adalah segala sesuatu yang karena undang-undang dapat dikenai pajak.
10. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
11. Nilai Jual Kena Pajak adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
12. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya dapat disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/ atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Orang Pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
13. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Daerah.
14. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
15. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
16. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
17. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti.
18. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOPTKP adalah besaran nilai yang merupakan batas tertinggi nilai/harga objek pajak yang tidak dikenakan pajak.
.·
19. Pajak yang terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
20. Pemungutan PBB-P2 adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besamya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
21. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Subjek Pajak dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
22. Daftar Himpunan Ketetapan Pajak, yang selanjutnya disingkat DHKP, adalah himpunan data wajib pajak dan objek pajak yang ada dimasing• masing Desa.
23. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT PBB-P2, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besamya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang Wajib Pajak.
24. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke rekening Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
25. Nomor Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NOP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
26. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besamya jumlah pokok pajak yang terutang.
27. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besamya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
28. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atasjumlah pajak yang ditetapkan.
29. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besamya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
30. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya dibayar.
31. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
32. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/ atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang• undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
33. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
34. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
36. Penelitian adalah serangkaian kegiatan untuk mencocokkan data dan perhitungan pajak terutang pada SPOP dan/atau SSPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah dilakukan pembayaran ke kas daerah kecuali pajak terutang nihil sesuai ketentuan yang berlaku.
37. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
38. Sistem Manajemen Infonnasi Objek Pajak yang selanjutnya disebut SISMIOP adalah Sistem yang terintegrasi untuk mengolah informasi/data objek dan subjek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dengan bantuan komputer, sejak dari pengumpulan data (melalui pendaftaran, pendataan dan penilaian), pemberian identitas objek pajak (Nomor Objek Pajak), perekaman data, pemeliharaan basis data, pencetakan hasil keluaran (berupa SPPT PBB-P2, SSPD, DHKP, dan sebagainya), pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan pajak, sampai dengan pelayanan kepada wajib pajak.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pendaftaran objek PBB-P2 dilakukan oleh Subjek Pajak dengan cara mengisi SPOP dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pendaftaran Wajib Pajak dan mencantumkan Nomor Pendaftaran Wajib Pajak dala.rn kolom yang
tersedia dalam SPOP.
(3) SPOP dan Lampiran SPOP diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta
ditandatangani dan disampaikan ke BPKD, paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau
kuasanya.
(4) SPOP disediakan dan dapat diperoleh di BPKD atau di tempat lain yang
ditunjuk.
3. Ketentuan ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Pasal 10 diubah dan setelah ayat (5), ditambahkan 10 (sepuluh) ayat yakni ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), ayat (13), ayat (1) dan ayat (15), sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(3) Tarif PBB-P2 sebagai berikut:
a. untuk NJOP sampai dengan Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun; dan
b. untuk NJOP di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,2 °/o (nol koma dua persen) per tahun.
(4) Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi NJOPTKP.
Besaran Pokok PBB-P2 = Tarif x (NJOP - NJOPTKP)
(5) Penghitungan besaran Pokok PBB-P2 dituangkan dalam SPPT PBB-P2.
(6) Atas SPPT PBB-P2 yang tidak dibayarkan oleh wajib pajak selama 3 (tiga) tahun terakhir secara berturut-turut dari SPPT PBB-P2 tahun berkenaan, maka penerbitan SPPT PBB P2 untuk tahun berikutnya akan ditangguhkan sampai pajak terutang dibayarkan seluruhnya oleh wajib pajak.
(7) Formulir SPPT PBB-P2 berisi informasi sebagai berikut:
a. Halaman depan :
1. lambang daerah dan kop BPKD;
2. informasi berupa tulisan SPPT PBB-P2 Bukan Merupakan Bukti
Kepemilikan Hak;
3. kode akun;
4. tahun pajak dan jenis sektor pajak;
5. NOP;
6. letak objek pajak;
7. nama dan alamat wajib pajak;
8. NPWP;
9. objek pajak;
10. luas bumi dan/atau bangunan;
11. kelas bumi dan/atau bangunan;
12. NJOP;
13. total NJOP bumi dan/atau bangunan;
14. NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2;
15. NJOPTKP;
16. NJOP untuk penghitungan PBB-P2;
17. NJKP;
18. PBB yang terutang;
19. PBB yang harus dibayar;
20. tanggal jatuh tempo; dan
21. tempat pembayaran.
b. Halaman belakang :
1. nama petugas penyampai SPPT-P2;
2. tanggal penyampaian;
3. tanda tangan petugas; dan
4. informasi lainnya.
(8) SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir kertas.
(9) Bentuk, dan isi formulir SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
(10) BPKD mencetak DHKP.
(11) Sebelum disampaikan ke Wajib Pajak, dilakukan penelitian data SPPT PBB-P2 dengan DHKP.
(12) SPPT PBB-P2 yang telah diteliti diserahkan kepada Desa/Kelurahan dengan dibuatkan berita acara serah terima SPPT PBB-P2 untuk disampaikan kepada Wajib Pajak.
( 13) Setelah penelitian selesai dibuatkan berita acara dan laporan hasil penelitian SPPT PBB-P2 rangkap 3 dengan rincian rangkap ke-1 untuk BPKD, rangkap ke-2 untuk Desa/Kelurahan, dan rangkap ke-3 untuk lampiran berita acara penelitian.
(14) Kelurahan/Desa wajib membuat laporan penyampaian SPPT PBB-P2 secara berkala kepada BPKD.
(15) SPPT PBB-P2 harus sudah sampai ke Wajib Pajak paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerimaan oleh Kepala Desa.
4. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
( 1) Penerbitan SPT PBB P2 dihitung dan ditetapkan besaran PBB yang terutang, selanjutnya BPKD menerbitkan SPPT PBB P2.
(2) SPPT PBB-P2 dapat diterbitkan melalui :
a. pencetakan massal; atau
b. pencetakan dalam rangka:
1. pembuatan salinan SPPT-P2;
2. penerbitan SPPT PBB-P2 sebagai tindak lanjut suatu keputusan, yaitu keputusan keberatan, keputusan pengurangan ketetapan, atau keputusan pembetulan; dan
3. selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, SPPI' PBB-P2 dipergunakan sebagai tindak lanjut pendaftaran objek.
(3) Permohonan penerbitan SPPT PBB P2 dari masyarkat yang diajukan
melalui loket pelayanan;
a. SPPT PBB P2 ditetapkan sesuai dengan bukti hak surat tanah; dan
b. penerbitan SPPT PBB P2 untuk jenis pelayanan pendaftaran objek pajak baru berdasarkan tahun perolehan surat tanah, apabila tahun perolehan hak tanah melebihi 5 (lima) tahun, maka SPPT PBB P2 ditetapkan 5 (lima) tahun.
(4) Penentuan tanggal jatuh tempo atas penerbitan SPPT PBB P2 massal pada awal tahun pajak ditetapkan setiap tanggal 9 September tahun pajak berkenaan apabila t.angga.1 jatuh tempo tepat pada ha.ri libur, maka tanggal jatuh tempo pada hari berikutnya;
(5) Penentuan tanggal jatuh tempo untuk penerbitan SPPT PBB P2 atas Pelayanan Objek Pajak Baru, Mutasi, dan Pelayanan lain yang sejenis, setelah tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapka.n 1 (satu) bulan setelah tanggal penerbitan SPPT PBB P2.
(6) Penentuan tanggal jatuh tempo SPPT PBB P2 atas pelayanan Penentuan Kembali Tanggal Jatuh Tempo ditetapkan 1 (satu) bulan berikutnya setelah Surat Ketetapan Kepala BPKD tentang penundaan jatuh tempo diterbitkan.
5. Diantara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal
12A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1) Penyusunan data awal dan/atau pemutakhiran data objek pajak dan subjek PBB P2, BPKD menghitung dan menetapkan besa.rnya pajak terutang sebagai dasar penetapan pajak pada SPPT PBB P2.
(2) Pengadministrasian objek PBB dikelompokkan berdasarkan besarnya pokok ketetapan PBB P2, sebagai berikut:
a. buku I dengan besar pokok ketetapan dari Rp0,00 (nol rupiah)
sampai denga.n Rpl00.000,00 (seratus ribu rupiah);
b. buku II dengan besar pokok ketetapan lebih dari Rpl00.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai dengan Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
c. buku III dengan besar pokok ketetapan lebih dari Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) sarnpai dengan Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
d. buku IV dengan besar pokok ketetapan lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
e. buku V dengan besar pokok ketetapan lebih dari Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
6. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
Kepala BPKD berhak untuk mengabulkan atau menolak permohonan Wajib
Pajak untuk mengangsur dan atau menunda pembayaran.
7. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 30 diubah, serta diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (la) dan ayat (lb), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berilrut:
Pasal 30
(1) Permohonan pembetulan terhadap Surat Ketetapan atau Surat Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dapat diajukan secara:
a. perseorangan; atau b. kolektif.
(la) Perrnohonan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh wajib pajak atau diwakilkan kepada kuasanya.
(lb) Perrnohonan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Ketetapan atau Surat Keputusan diterima.
(2) Perrnohonan pembetulan secara perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. perseorangan; atau b. kolektif.
(3) Perrnohonan pembetulan secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai :
a. diajukan untuk SPPT PBB-P2 Tahun Pajak yang sama dengan Pajak yang Terutang untuk setiap SPPT PBB-P2 paling banyak Rpl0.000.000,00 (sepuluhjuta rupiah);
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan
yang mendukung perrnohonannya; dan
c. diajukan kepada Kepala BPKD dengan melampirkan surat pengantar dari Kepala Desa atau Lurah yang diketahui Camat.
(4) Tanggal penerimaan surat yang dijadikan dasar untuk memproses surat perrnohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal terima surat Wajib Pajak.
8. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Besarnya pengurangan yang diberikan :
1. Paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB-P2 yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a angka 1;
2. Paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari PBB-P2 yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a angka 2), angka 3), angka 4), dan/atau angka 5), atau Pasal 36 ayat (2} hun.zf b; atau
3. Paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB-P2 yang terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) atau ayat (4).
9. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Tim Pemeriksa tetap melanjutkan proses pemeriksaan berdasarkan data
yang ada pada BPKD apabila wajib pajak:
a. tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a;
b. tidak memberikan keterangan yang diminta secara lisan ataupun tertulis baik sebagian atau seluruhnya;
c. tidak memperlihatkan dan/atau meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, dan/atau dokumen yang dibutuhkan; dan/atau
d. tidak memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa sebagian atau seluruh tempat atau ruangan yang ada pada objek pajak,
sehingga tidak terpenuhinya data yang diperlukan, maka Tim
Pemeriksa tetap melanjutkan proses Pemeriksaan berdasarkan data yang ada pada BPKD.
10. Ketentuan Pasal 50 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
BPKD melakukan pemeriksaan ulang dalam hal terdapat data baru atau berdasarkan pertimbangan Kepala BPKD.
Pasal II
Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Luwu Timur.
|