ABSTRAK: |
- a. bahwa memperhatikan potensi sumber daya mineral yang ada serta dalam rangka pengaturan pengelolaan Bahan Galian Golongan C wilayah kabupaten Luwu Utara;
b. bahwa Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten berdasarkan amanat undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, sehingga dipandang perlu mengatur usaha pertambangan dimaksud;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
- 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
2. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 06 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3826);
6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
10. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 05, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3003);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3174);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4138);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Repulblik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4154);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4574);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
21. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bidang Pertambangan Umum;
22. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1453.K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintaan di BIdang Pertambangan Umum;
23. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 53 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sebagai Daerah Otonom (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara Tahun 2000 Nomor 82).
- PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Luwu Utara.
2. Kabupaten adalah Kabupaten Luwu Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Luwu Utara.
4. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang yang membidangi Pertambangan Bahan Galian Golongan C.
6. Kepala SKPD adalah Kepala SKPD yang membidangi Pertambangan Bahan Galian Golongan C.
7. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang–Undangan yang berlaku.
8. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya disebut pajak adalah pungutan Daerah atas kegiatan eksplorasi dan atau eksploitasi Bahan Galian Golongan C.
9. Bahan Galian Golongan C adalah semua Bahan Galian yang tidak termasuk Golongan Bahan Galian A (Strategis) dan Golongan Bahan Galian B (Vital).
10. Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C adalah segala kegiatan Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang meliputi penyelidikan umum, Eksplorasi, Eksploitasi, Pengelolahan/Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan.
11. Eksplorasi adalah usaha penyelidikan Geologi/Pertambangan untuk menetapkan lebih tinggi seksama adanyan dan sifat letakkan bahan tambang serta melakukan persiapan-persiapan dan manfaatnya.
12. Esploitasi Bahan Galian Golongan C adalah Usaha pertambangan bahan galian golongan C dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian golongan C dan memanfaatkannya.
13. Pengolahan dan Pemurnian adalah usaha pekerjaan untuk mempertinggi mutu Bahan Galian dari daerah/tempat eksplorasi, eksploitasi dan atau tempat pengolahan/kemurnian.
14. Pengangkutan adalah usaha pemindahan bahan galian dari hasil pengolahan/pemurnian bahan galian dan atau hasil eksploitasi dan eksplorasi.
15. Penjualan adalah segala usaha penjualan bahan galian dari hasil pengolahan pemurnian bahan galian dan atau dari daerah/tempat eksplorasi atau eksplotasi.
16. Reklamasi adalah setiap pekerjaan yang bertujuan memperbaiki, mengembalikan pemanfaatan atau meningkatkan daya guna sesuai dengan fungsinya yang diakibatkan oleh usaha-usaha pertambangan.
17. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumber daya terbaharui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
18. Inspektur Tambang (IT) adalah pegawai dinas pertambangan yang ditunjuk/sebagai pelaksana Inspektur Tambang dan bertugas melaksanakan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan lingkungan hidup atau usaha pertambangan.
19. Sungai adalah sistem pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan.
20. Memanfaatkan bahan galian golongan C adalah menggunakan dan mengolah bahan tambang golongan C, baik yang berasal dari Kabupaten Luwu Utara maupun dari luar Kabupaten Luwu Utara untuk pembangunan dalam arti luas.
21. Surat Izin Pertambangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIPD adalah pemberian izin kepada orang atau badan untuk melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi bahan galian golongan C.
22. Surat Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat SIPR adalah izin usaha pertambangan yang diberikan oleh SKPD yang membidangi bahan galian golongan C kepada rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas.
23. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut Peraturan dan Perundang–Undangan Perpajakan Daerah.
24. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran yang terutang ke kas daerah atau ke tempat lain yang ditetapkan oleh Bupati.
25. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang.
26. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah Surat Keputusan yang menentukan besarnya jumlah Pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
27. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah Surat Keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
28. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
29. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat Keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak seharusnya terutang.
30. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah Surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan denda.
31. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengelola data dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Retibusi Daerah.
32. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang–Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
33. Sanksi Adsministrasi adalah sanksi yang diberikan secara Administratif kepada subyek pajak maupun wajib pajak atas pelanggaran ketentuan-ketentuan teknis administratif dalam pengelolaan bahan galian golongan c dan kelalaian dalam memenuhi kewajiban pajaknya kepada Pemerintah Daerah dapat berupa teguran tertulis, penutupan sementara lokasi penambangan, pembongkaran material, pengenaan bunga.
34. Iuran Tetap Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya disebut pajak tetap adalah pungutan daerah setiap tahun atas penguasaan wilayah pertambangan berdasarkan jenis bahan galian golongan C dan luas wilayah SIPD.
35. Iuran Produksi Galian Golongan C selanjutnya disebut Pajak Produksi adalah pungutan daerah yang dikenakan atas pengambilan/pengolahan bahan galian golongan C berdasarkan volume.
36. Penyidikan tindak pidana di bidang pajak daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang pajak daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Pengelolaan usaha pertambangan dalam Peraturan Daerah ini adalah pengelolaan untuk pengusahaan bahan galian golongan C sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Ruang lingkup dalam Peraturan Daerah ini adalah pengelolaan usaha pertambangan bahan galian golongan C yang meliputi :
a. pemberian Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Isin Pertambangan Rakyat (SIPR);
b. pemberian rekomendasi/persetujuan yang berkaitan dengan usaha pertambangan yang sifatnya mendesak dan menyangkut kepentingan umum;
c. pembinaan dan pengawasan;
d. penarikan iuran dalam bentuk pajak tetap dan pajak produksi.
BAB III
ORGANISASI PENGELOLA USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 3
(1) Untuk pengelolaan usaha pertambangan dilaksanakan oleh SKPD yang membidangi.
(2) Fungsi-fungsi usaha pertambangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. aspek pengaturan;
b. syarat-syarat perizinan/rekomendasi;
c. pembinaan dan pengawasan produksi, pemasaran, konservasi, keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan;
d. pengelolaan informasi pertambangan;
e. pengevaluasian dan pelaporan kegiatan;
f. penarikan pajak tetap dan pajak produksi;
g. penertiban pertambangan tanpa izin.
BAB IV
PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN
Pasal 4
(1) Setiap usaha pertambangan hanya dapat dilakukan setelah mendapat SIPD dan atau rekomendasi dari SKPD yang membidangi.
(2) Usaha pertambangan dapat dilakukan oleh:
a. perusahaan negara;
b. perusahaan daerah;
c. koperasi;
d. perusahaan swasta nasional;
e. perorangan.
Pasal 5
SIPD dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) terdiri dari :
a. SIPD eksplorasi;
b. SIPD eksploitasi;
c. SIPD Pengolahan/Pemurnian;
d. SIPD Pengangkutan;
e. SIPD Penjualan;
f. rekomendasi yang sifatnya temporer dan mendesak.
BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SIPD DAN REKOMENDASI
Pasal 6
(1) Permohonan SIPD dan rekomendasi diajukan secara tertulis kepada SKPD yang membidangi dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan.
(2) Bentuk dan syarat-syarat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(3) Apabila dalam satu wilayah terdapat lebih dari satu pemohon, maka prioritas pertama diberikan berdasarkan urutan pengajuan permohonan.
BAB VI
LUAS WILAYAH
Pasal 7
(1) Luas wilayah pertambangan dapat diberikan untuk satu SIPD paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
(2) Kepada perorangan hanya dapat diberikan 1 (satu) SIPD sedangkan kepada badan hukum dan atau koperasi dapat diberikan paling banyak 5 (lima) SIPD.
(3) Untuk mendapatkan luas wilayah SIPD atau jumlah wilayah SIPD yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Bupati.
BAB VII
MASA BERLAKU SIPD
Pasal 8
(1) SIPD eksploitasi diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) kali dan setiap kali perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Permohonan perpanjangan SIPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
SURAT IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 9
(1) SKPD sebelum memberikan SIPR terlebih dahulu menetapkan suatu wilayah pertambangan rakyat.
(2) Usaha pertambangan rakyat hanya diberikan kepada perorangan.
(3) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan Bupati.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG SIPD
Pasal 10
(1) Pemegang SIPD berhak melakukan kegiatan di dalam wilayah SIPDnya sesuai tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Pemegang SIPD wajib :
a. mematuhi setiap ketentuan yang tercantum dalam SIPD;
b. membayar iuran/pajak tetap dan pajak produksi sesuai ketentuan yang berlaku;
c. memberikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan hasil produksi setiap bulan kepada SKPD yang membidangi;
d. melakukan pengelolaan dan memelihara kelestarian lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. memelihara kelestarian/penyelamatan tanah dan mencegah erosi yang dapat menyebabkan pengendapan dan pendangkalan saluran-saluran serta mengusahakan kelestarian bantaran sungai-sungai.
Pasal 11
Apabila selesai melakukan usaha pertambangan pada satu tempat, pemegang SIPD diwajibkan untuk mengembalikan tanah tersebut sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya serta tetap mempunyai daya dukung lingkungan.
BAB X
HUBUNGAN PEMEGANG SIPD
DENGAN PEMILIK HAK ATAS TANAH
Pasal 12
(1) Pemegang SIPD diwajibkan mengganti kerugian akibat usaha pertambangan yang dilakukan pada segala sesuatu yang berada diatas tanah dengan pemilik tanah.
(2) Pemegang SIPD diwajibkan untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan dengan pihak-pihak yang berwenang sebelum kegiatan usaha pertambangan dilakukan.
(3) Apabila telah ada hak atas tanah yang bersangkutan dengan wilayah SIPD, maka kepada yang berhak diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara calon pemegang SIPD dengan yang berhak atas tanah berdasarkan musyawarah dan mufakat.
(4) Segala biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan ganti rugi maupun tumpang tindih dibebankan kepada pemegang SIPD.
BAB XI
BERAKHIRNYA SIPD
Pasal 13
(1) Apabila setelah berakhirnya jangka waktu pemberian SIPD tanpa permohonan perpanjangan oleh pemegang SIPD, maka SIPD tersebut dinyatakan berakhir dan segala usaha pertambangan harus dihentikan, dan mengangkat keluar segala sesuatu yang menjadi miliknya kecuali benda/bangunan yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
(2) Pemegang SIPD mengembalikan SIPD kepada SKPD yang membidangi dengan mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan alasan-alasan mengenai pengembalian tersebut.
(3) Pengembalian SIPD baru sah setelah mendapat persetujuan tertulis dari SKPD yang mebidangi.
(4) SIPD dapat dibatalkan oleh SKPD yang membidangi, meskipun masa berlakunya belum berakhir apabila pemegang SIPD tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban dalam Keputusan SIPD maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang belum dipenuhi selama berlakunya SIPD :
a. terdapat kekeliruan dalam penertiban SIPD, sebagai akibat kesalahan pemohon;
b. adanya pelanggaran teknis yang dipandang dapat mengancam/membahayakan Lingkunagan Hidup;
c. secara teknis maupun aspek sosial sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pertambangan;
d. jika ternyata kegiatan eksploitasi belum dimulai dalam jangka 6 (enam) bulan setelah diterbitkannya SIPD yang bersangkutan;
e. tidak memenuhi/mengindahkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pejabat yang berwenang mengenai penyelenggaraan usaha pertambangan dan atau tidak mengindakahkan kewajiban-kewajibannya sebagaimana tercantum dalam SIPD.
BAB XII
PEMINDAHAN SIPD
Pasal 14
(1) Dalam rangka peningkatan usaha maka SIPD dapat dipindahkan kepihak lain atas persetujuan tertulis dari Kepala SKPD yang membidangi;
(2) Tata cara dan persyaratan pemindahan SIPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KEMITRAAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 15
Pemerintah Kabupaten wajib mengupayakan terciptanya kemitraan berdasarkan prinsip saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan antara pemegang SIPD dengan masyarakat.
Pasal 16
Bentuk kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan pemegang SIPD disesuaikan dengan skala usahanya antara lain :
a. membeli hasil produksi usaha pertambangan yang dilakukan rakyat/masyarakat setempat;
b. membina atau sebagai Bapak angkat usaha pertambangan yang dilakukan masyarakat setempat dalam wilayah SIPDnya.
c. memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk melakukan usaha kegiatan penunjang;
d. memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang.
BAB XIV
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 17
(1) Untuk kepentingan pembinaan, pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan baik yang memiliki izin maupun pertambangan tanpa izin dapat dikenakan sanksi administrasi yang dilaksanakan oleh SKPD yang membidangi.
(2) Pengawasan kegiatan usaha pertambangan terdiri dari, pengawasan pengusahaan (produksi), pengawasan pemasaran, tata cara teknik pertambangan, pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja serta pengawasan dampak lingkungan.
(3) Pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan lingkungan, atau keselamatan kerja dilaksanakan oleh Inspektur Tambang.
(4) Petunjuk dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan pengangkatan pejabat pelaksana Inspektur Tambang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XV
DAMPAK LINGKUNGAN DAN REKLAMASI
Pasal 18
(1) Pemegang SIPD diwajibkan mengangkat Kepala Teknik Tambang dan bila dianggap perlu mengangkat Wakil Kepala Teknik Tambang.
(2) Kepala dan Wakil Kepala Teknik Tambang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan tata cara penambangan, keselamatan dan kesehatan kerja, dampak lingkungan dan reklamasi.
(3) Pemegang SIPD diwajibkan menjaga segala dampak lingkungan yang ditimbulkan serta memperbaiki bila terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatannya.
(4) Perlindungan terhadap dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi :
a. wajib tanam/penghijauan;
b. mengamankan tanah pucuk;
c. memfungsikan kembali lahan bekas penambangan;
d. pengaturan pencegahan erosi;
e. pencegahan pendangkalan sungai dan saluran pengairan;
f. pengaturan untuk mencegah pencemaran udara dan air;
g. pengamanan sumber-sumber air dan menjaga kelestarian air.
BAB XVI
KEGIATAN PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C
PASAL 19
(1) Kegiatan pengambilan bahan Galian Golongan C meliputi :
a. Asbes;
b. Batu tulis;
c. Batu setengah Permata;
d. Batu Kapur;
e. Batu Apung;
f. Batu permata;
g. Bentonit;
h. Dolomit;
i. Feldspar;
j. Garam Batu (helite);
k. Grafit;
l. Granit/andesit;
m. Gips;
n. Kalsit;
o. Kaolin;
p. Leosit;
q. Magnesit;
r. Mika;
s. Marmer;
t. Nitrat;
u. Opsiden;
v. Oker;
w. Pasir dan Kerikil;
x. Pasir Kuarsa;
y. Perlit;
z. Phospat;
aa. Talk;
bb. Tanah Serap (fuller earth);
cc. Tanah Diatome;
dd. Tanah Liat;
ee. Tawas (alum);
ff. Tras;
gg. Yorasit;
hh. Zeolit;
ii. Basal;
jj. Trakkit.
(2) Dikecualikan dari obyek pajak pengambilan bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud pada ayat (1)) adalah :
a. kegiatan pengambilan bahan galian golongan C yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk mengambil bahan galian golongan C tersebut dan tidak dimanfaatkan secara ekonomis;
b. pengambilan bahan galian golongan C lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 20
Subjek Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah Orang Pribadi atau Badan yang mengambil Bahan Galian Golongan C.
Pasal 21
Wajib Pajak Pengambilan Golongan C adalah Orang Pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Pengambilan bahan galian golongan C yang memiliki SIPD.
BAB XVII
DASAR PENGENAAN STRUKTUR TARIF PAJAK
Pasal 22
(1) Atas pengelolaan bahan galian golongan C dikenakan pajak tetap dan pajak produksi.
(2) Dasar Pengenaan Pajak tetap bahan galian golongan C adalah berdasarkan jenis bahan galian golongan C, lamanya pengelolaan dan luas wilayah SIPD.
(3) Dasar pengenaan Pajak Produksi adalah nilai jual/nilai pasar per meter kubik setiap jenis bahan galian golongan C hasil eksploitasi dikalikan 20 % (dua puluh perseratus).
(4) Nilai jual/nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(5) Pajak Tetap dan Pajak Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
No Jenis Bahan Galian
Gol “C” Pajak Tetap
(Ha/Thn) Pajak Produksi
(M3)
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pasir
Batu Kali
Kerikil
Sirtu
Tanah Urug/
Tanah Timbunan
Tanah Liat
Pengambilan bahan galian golongan C lainnya Rp. 250.000,-
Rp. 350.000,-
Rp. 300000,-
Rp. 300.000,-
Rp. 250.000,-
Rp. 250.000,-
Rp. 250.000,-
Nilai Pasar/Harga Standar Per M3 dikalikan 20%
BAB XVIII
WILAYAH PEMUNGUTAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 23
(1) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C yang terutang dipungut diwilayah daerah tempat Pengambilan bahan galian golongan C.
(2) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(3) Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan nilai jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dengan besar pajak pengenaan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB XIX
MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH
Pasal 24
Masa pajak adalah jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan Takwin.
Pasal 25
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pengambilan Bahan Galian Tambang Golongan C dilakukan.
Pasal 26
(1) Setiap wajib pajak wajib mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Bupati atau pejabat yang berwenang paling lambat 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPTPD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XX
TATA CARA PERHITUNGAN DAN PENETAPAN PAJAK
Pasal 27
(1) Berdasarkan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Bupati dan atau pejabat yang berwenang menetapkan ditetapkan pajak terutang dengan menerbitkan SKPD.
(2) Apabila SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD diterima dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua perseratus) sebulan dan ditagih dengan menerbitkan STPD.
Pasal 28
(1) Wajib pajak yang membayar sendiri, SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) digunakan untuk menghitung, memperhitungkan dan menetapkan besarnya jumlah pajak sendiri yang terutang.
(2) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak daerah Bupati dan atau pejabat yang berwenang menerbitkan diterbitkan :
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT; dan
c. SKPDN.
(3) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan apabila:
a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak;
b. SPTPD tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak;
c. kewajiban mengisi SPTPD dan tidak dipenuhi, pajak yang berutang di hitung secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 (dua puluh lima) % (persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 (dua) % (persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(4) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang, akan dikenakan sanksi berupa kenaikan sebesar 100% (serarus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(5) Kenaikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak dikenakan, apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(6) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(7) Apabila kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b tidak sepenuhnya dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan.
(8) Penambahan jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud ayat (4) tidak dikenakan pada wajib pajak apabila melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan.
BAB XXI
TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 29
(1) Pembayaran pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang dtentukan, sesuai dengan yang tercantum dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD.
(2) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lambat 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam dan atau dalam waktu yang ditentukan.
(3) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan menggunakan SSPD.
Pasal 30
(1) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas.
(2) Bupati dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pajak terutang dalam kurun waktu tertentu, setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(3) Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda pembayaran pajak sampai batas waktu yang ditentukan setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar.
(5) Persyaratan untuk dapat mengangsur dan menunda pembayaran serta tata cara pembayaran angsuran penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 31
(1) Setiap pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diberikan tanda bukti pembayaran dan dicatat pada buku penerimaan.
(2) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
(1) Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan Pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterima oleh Wajib Pajak, harus melunasi pajak yang terutang.
(3) Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 33
(1) Apabila jumlah Pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, jumlah Pajak yang harus dibayar ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Pejabat menerbitkan Surat Paksa segera setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
Pasal 34
Apabila Pajak yang harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 (dua) x 24 (dua puluh empat) jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa, Pejabat segera menerbitkan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan.
Pasal 35
Setelah dilakukan penyitaan dan Wajib Pajak belum juga melunasi utang pajaknya setelah lewat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan, Pejabat mengajukan permintaan penetapan tanggal pelelangan kepada Kantor Lelang Negara.
Pasal 36
Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak.
Pasal 37
Bentuk, jenis dan isi formulir yang dipergunakan untuk pelaksanaan penagihan Pajak Daerah ditetapkan oleh Peraturan Bupati.
BAB XXII
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK
Pasal 38
(1) Bupati, berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengurangan Keringanan dan Pembebasan Pajak.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Peraturan Bupati.
BAB XXIII
TATA CARA PEMBETULAN, PEMBATALAN,
PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 39
(1) Bupati karena jabatannya atau atas permohonan Wajib pajak dapat :
a. membetulkan SKPD atau SKPDKB, SKPBKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan Daerah;
b. membatalkan atau mengurangkan ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan, ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati, atau Pejabat paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD dengan memberikan alasan yang jelas.
(3) Bupati atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, sudah harus memberikan keputusan.
(4) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati atau Pejabat yang berwenang yang ditunjuk tidak memberikan keputusan permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan.
BAB XXIV
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 40
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat yang berwenang yang ditunjuk atas suatu :
1. SKPD;
2. SKPDKB;
3. SKPDKBT;
4. SKPDLB; dan
5. SKPDN.
(2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan-alasan yang jelas dan dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN diterima oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, harus sudah memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(4) Apabila sudah lewat jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati atau Pejabat yang berwenang yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan dianggap dikabulkan.
(5) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar pajak.
(6) Keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya pajak yang terutang dalam Keputusan Bupati.
Pasal 41
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak atas pajak yang ditetapkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dilampiri salinan dari Surat Keputusan Bupati tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 42
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
BAB XXV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 43
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-kurangnya :
a. nama dan alamat wajib pajak;
b. masa pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak; dan
d. alasan yang jelas.
(2) Bupati atau Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui, Bupati atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai hutang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu hutang pajak dimaksud.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Kelebihan Pajak (SPPKP);
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Bupati atau Pejabat memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pajak.
Pasal 44
Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) pembayaran dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan berlaku sebagai bukti pembayaran.
BAB XXVI
KADALUWARSA
Pasal 45
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak dalam masa kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terhutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak Pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kadaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan surat teguran dan surat paksa; atau
b. ada pengakuan hutang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.
BAB XXVII
PENYIDIKAN
Pasal 46
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintahan Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan penyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XXVIII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 47
(1) Pembongkaran ditempat bagi yang menyangkut Bahan Galian Golongan C tanpa didukung dokumen yang sah dan atau denda 4 (empat) kali lipat dari jumlah pajak material yang diangkut.
(2) Hasil pembongkaran sebagaimana dimaksud pada (1) adalah milik/aset daerah dan dapat digunakan untuk kepentingan umum
BAB XXIX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 48
(1) Setiap orang dan atau Badan Hukum yang :
a. tidak mempunyai SIPD dan melakukan Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. tidak berhak atas tanah merintangai atau mengganggu usaha pertambangan yang sah;
c. berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang SIPD memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
d. Setiap orang dan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.
(2) Pemegang SIPD yang :
a. tidak memenuhi dan/atau tidak membayar pajak produksi;
b. tidak melakukan perintah-perintah dan/atau petunjuk-petunjuk yang wajib dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
c. Setiap pemegang SIPD sebagaiman dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
(1) Terhadap obyek pajak yang pajaknya telah ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah dan belum bayar, maka besarnya pajak yang terutang didasarkan pada Peraturan Daerah yang berlaku terdahulu.
(2) Terhadap obyek pajak yang ada setelah berlakunya Peraturan Daerah ini, pajak yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
BAB XXX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 50
Pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XXXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 52
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 02 Tahun 2000 tentang Pajak Bahan Galian Golongan C (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara Tahun 2000 Nomor 21 Tahun 2000 Seri A) dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Pasal 53
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara .
|