bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan;
bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan;
bahwa penyelenggaraan pelayanan keperawatan harus dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau oleh perawat yang memiliki kompetensi, kewenangan, etik, dan moral tinggi;
bahwa mengenai keperawatan perlu diatur secara komprehensif dalam Peraturan Perundang-undangan guna memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada perawat dan masyarakat;
Dasar hukum pengesahan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Selain sebagai kebutuhan hukum bagi perawat, pengaturan ini juga merupakan pelaksanaan dari mutual recognition agreement mengenai pelayanan jasa Keperawatan di kawasan Asia Tenggara. Ini memberikan peluang bagi perawat warga negara asing masuk ke Indonesia dan perawat Indonesia bekerja di luar negeri untuk ikut serta memberikan pelayanan kesehatan melalui Praktik Keperawatan. Ini dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan Perawat tingkat dunia, sehingga sistem keperawatan Indonesia dapat dikenal oleh negara tujuan dan kondisi ini sekaligus merupakan bagian dari pencitraan dan dapat mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia di bidang kesehatan.
Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesetaraan, pengakuan, dan angka kredit dosen pada Wahana Pendidikan Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Perawat Warga Negara Asing diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau Keperawatan dalam suatu wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Perawat diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kesehatan Klien diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, dan keanggotaan Konsil Keperawatan diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan Praktik Keperawatan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada Pasal 55 diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Konservasi Tanah dan Air
ABSTRAK:
tanah dan air dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan karunia sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang;
tanah dan air merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan dan mudah terdegradasi fungsinya karena posisi geografis dan akibat penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsi, peruntukan, dan kemampuannya sehingga perlu dilindungi, dipulihkan, ditingkatkan, dan dipelihara melalui Konservasi Tanah dan Air;
pengaturan mengenai Konservasi Tanah dan Air saat ini masih belum memadai dan belum diatur secara terpadu dan komprehensif;
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Konservasi Tanah dan Air;
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara garis besar Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air mengatur substansi yang mencakup:
asas, tujuan, dan ruang lingkup;
penguasaan, wewenang, dan tanggung jawab;
perencanaan Konservasi Tanah dan Air;
penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air;
hak dan kewajiban; pendanaan;
bantuan, insentif, ganti kerugian, dan kompensasi;
pembinaan dan pengawasan Konservasi Tanah dan Air;
pemberdayaan masyarakat;
peran serta masyarakat;
penyelesaian sengketa;
penyidikan;
sanksi administratif; dan
ketentuan pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Konservasi Tanah dan Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air pada Lahan di Kawasan Lindung dan di Kawasan Budi Daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 25 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut tentang Ambang Batas Kekritisan Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan, insentif, ganti kerugian, dan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 43 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kegiatan dan bentuk pemberdayaan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme peran serta masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa Konservasi Tanah dan Air diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ganti rugi diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat;
bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan;
bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan;
bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang- undangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan pelaksanaannya, peningkatan kerja sama lintas sector, dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan daerah.
Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta.
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan Tenaga Kesehatan, termasuk peningkatan karier. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan Tenaga Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi, Registrasi, perizinan, dan hak-hak Tenaga Kesehatan.
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan, penguatan sistem informasi Tenaga Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta sosial ekonomi dan budaya.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 92)
Pasal 4 ayat (2), Pasal 17, Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 21 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 94 huruf a); dan
Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) menjadi sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Pasal 94 huruf b).
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan tenaga pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional diatur dengan Peraturan Menteri.
UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
ABSTRAK:
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;
bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Berlaku, dan Mengubah. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Uundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan diatur dengan Peraturan Presiden.
Undang-undang (UU) tentang Pengelolaan Keuangan Haji
ABSTRAK:
1. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. jumlah WNI yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji terus meningkat sedangkan kuota haji terbatas sehingga jumlah jemaah haji tunggu meningkat;
3. peningkatan jumlah jemaah haji tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji;
4. akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel, memerlukan payung hukum yang kuat.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
semua ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang ini.
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat;
bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya;
bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal;
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut.
Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang- Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
-
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan, merupakan modal dasar pembangunan nasional;
c. bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara.
Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wilayah laut, pembangunan kelautan, pengelolaan kelautan, pengembangan kelautan, pengelolaan ruang laut, dan pelindungan lingkungan laut, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, keselamatan di laut, tata kelola dan kelembagaan, serta peran serta masyarakat.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Hak Asasi ManusiaHukum Acara dan PeradilanHukum Pidana, Perdata, dan DagangTindak Pidana Korupsi, Pencegahan Korupsi
Status Peraturan
Dicabut sebagian dengan
UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
ABSTRAK:
1. Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana;
2. untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi, pelaku, pelapor, dan saksi.
Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
1. Penguatan kelembagaan LPSK, antara lain peningkatan sekretariat menjadi sekretariat jenderal dan pembentukan dewan penasihat;
2. penguatan kewenangan LPSK;
3. perluasan subjek perlindungan;
4. perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban;
5. peningkatan kerja sama dan kordinasi antarlembaga;
6. pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap saksi pelaku;
7. mekanisme penggantian anggota LPSK antar waktu;
8. perubahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh korporsi.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Undang-undang (UU) tentang Administrasi Pemerintahan
ABSTRAK:
bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang- undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
Dasar hukum Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.
Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benar-benar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat dan Daerah.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
-
Ketentuan mengenai tata cara pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dan tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan akibat kerugian yang ditimbulkan dari Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Pencarian dan Pertolongan
ABSTRAK:
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hidup dan kehidupannya termasuk perlindungan dari kecelakaan, bencana, dan kondisi membahayakan manusia berlandaskan pada Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari kecelakaan, bencana, dan kondisi membahayakan manusia dilakukan melalui pencarian dan pertolongan secara cepat, tepat, aman, terpadu, dan terkoordinasi oleh semua komponen bangsa;
bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pencarian dan pertolongan yang telah ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta belum sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 29 tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang ini mengatur kegiatan Pencarian dan Pertolongan yang disesuaikan dengan perkembangan globalisasi, otonomi daerah, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan Pencarian dan Pertolongan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta harmonisasi dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional dan internasional.
Undang-Undang ini bertujuan: (i) mengatur penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan secara cepat, tepat, terkoordinasi, serta menguatkan fungsi kelembagaan pemerintahan yang bertugas melaksanakan Pencarian dan Pertolongan untuk menciptakan profesionalitas di bidang tugasnya; (ii) mengadopsi beberapa ketentuan yang berlaku secara internasional, seperti standar penanganan Pencarian dan Pertolongan, sarana yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik Indonesia. Undang-Undang ini juga memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mempunyai keahlian dan/atau kompetensi di bidang Pencarian dan Pertolongan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan.
Masyarakat sebagai Potensi Pencarian dan Pertolongan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya budaya Pencarian dan Pertolongan dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan Pencarian dan Pertolongan dalam Undang-Undang ini meliputi, Rencana Induk Pencarian dan Pertolongan, Potensi Pencarian dan Pertolongan, Penyelenggaraan Operasi Pencarian dan Pertolongan, Sumber Daya Manusia, Kelembagaan, Sarana dan Prasarana, Sistem Informasi dan Komunikasi, Pendanaan, Kerja Sama Internasional, Peran Serta Masyarakat, dan Ketentuan Pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 16 Oktober 2014.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Potensi Pencarian dan Pertolongan diatur dalam Peraturan Pemerintah;
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keahlian dan/atau standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur bantuan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian Pelaksanaan Operasi Pencarian dan Pertolongan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, wewenang, struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan diatur dengan Peraturan Presiden.
64
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat