Undang-undang (UU) tentang Penanganan Fakir Miskin
ABSTRAK:
bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan;
bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada huruf b, diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;
bahwa pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan pengaturan penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967).
1. KETENTUAN UMUM
2. HAK DAN TANGGUNG JAWAB
3. PENANGANAN FAKIR MISKIN
4. TUGAS DAN WEWENANG
5. SUMBER DAYA
6. KOORDINASI DAN PENGAWASAN
7. PERAN SERTA MASYARAKAT
8. KETENTUAN PIDANA
9. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 2011.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi informasi dan penerbitan kartu identitas diatur dengan Peraturan Menteri.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
ABSTRAK:
bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;
bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;
bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Materi muatan baru dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), yaitu:
penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang- undangan lainnya;
pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang- undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
Sistematisasi materi pokok dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah:
asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan;
perencanaan Peraturan Perundang-undangan;
penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang;
pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
pengundangan Peraturan Perundang-undangan;
penyebarluasan;
partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 2011.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi s diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang diatur dengan Peraturan DPR.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah.
Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang
ABSTRAK:
bahwa Sistem Resi Gudang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha di bidang Sistem Resi Gudang perlu adanya pengaturan mengenai Lembaga Jaminan Resi Gudang;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Muatan Resi Gudang;
2. Wewenang Badan Pengawas;
3. Muatan Sertifikat lembaga penilai kesesuaian;
4. Lembaga jaminan resi gudang.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 08 Agustus 2011.
UU 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan kantor perwakilan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Modal awal Lembaga Jaminan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai penatausahaan rekening dalam kaitannya dengan jenis barang yang dijamin oleh Lembaga Jaminan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dasar Pembentukan Kementerian/Lembaga/Badan/Organisasi
Status Peraturan
Diubah dengan
UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
ABSTRAK:
bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (2), Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Pasal 1 angka 2 diubah dan ditambah 1 (satu) angka, yakni angka 4,
Pasal 4 ayat (3) diubah, di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3a), di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 8 (delapan) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat (4h);
Ketentuan Pasal 6 diubah
Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B
Ketentuan Pasal 8 diubah
Penjelasan Pasal 10 diubah
Ketentuan Pasal 15 diubah
Pasal 16 dihapus.
Ketentuan Pasal 23 diubah
Ketentuan Pasal 26 diubah
Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 32
Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A
Ketentuan Pasal 34 ayat (3) diubah dan setelah ayat (3) ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4)
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 35 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a)
Di antara Pasal 35 dan Bagian Keempat Bab V disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 41
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A
Pasal 50 dihapus.
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A,
Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 57 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 57
Ketentuan Pasal 59 diubah
Ketentuan Pasal 60 diubah
Pasal 65 dihapus.
Pasal 79 diubah
Ketentuan Pasal 87 diubah
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 20 Juli 2011.
Mengubah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 15 diubah
dst
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia;
bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
bahwa selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962).
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi (i) pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah; (ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah; (iii) pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; serta (iv) pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Juni 2011.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ciri, desain, dan kriteria bahan baku Rupiah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengedarkan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggantian atas Rupiah yang dicabut dan ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
UU No. 37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang
bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas Wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan kepentingan dan kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia;
bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab tantangan yang ada.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. PELAKSANAAN FUNGSI KEIMIGRASIAN
3. MASUK DAN KELUAR WILAYAH INDONESIA
4. DOKUMEN PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA
5. VISA, TANDA MASUK, DAN IZIN TINGGAL
6. PENGAWASAN KEIMIGRASIAN
7. TINDAKAN ADMINISTRATIF KEIMIGRASIAN
8. RUMAH DETENSI IMIGRASI DAN RUANG DETENSI IMIGRASI
9. PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN
10. PENYIDIKAN
11. KETENTUAN PIDANA
12. BIAYA
13. KETENTUAN LAIN-LAIN
14. KETENTUAN PERALIHAN
15. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 05 Mei 2011.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474);
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 145, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5064); dan
semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara masuk dan keluar Wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian, penarikan, pembatalan, pencabutan, penggantian, serta pengadaan blanko dan standardisasi Dokumen Perjalanan Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan, jenis kegiatan, dan jangka waktu Visa, serta tata cara pemberian Tanda Masuk diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Alih status Izin Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan, jangka waktu, pemberian, perpanjangan, atau pembatalan Izin Tinggal, dan alih status Izin Tinggal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Keimigrasian, Intelijen Keimigrasian, Rumah Detensi Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi, serta penanganan terhadap korban perdagangan orang dan Penyelundupan Manusia diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan PPNS Keimigrasian, dan administrasi penyidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya imigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan khusus Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
bahwa pembangunan nasional yang berkesinambungan memerlukan perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta memenuhi prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa jasa akuntan publik merupakan jasa yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan berpengaruh secara luas dalam era globalisasi yang memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian nasional yang sehat dan efisien serta meningkatkan transparansi dan mutu informasi dalam bidang keuangan;
bahwa sampai saat ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur profesi akuntan publik yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan profesi akuntan publik.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur antara lain:
lingkup jasa Akuntan Publik;
perizinan Akuntan Publik dan KAP;
hak, kewajiban, dan larangan bagi Akuntan Publik dan KAP;
kerja sama antar-Kantor Akuntan Publik (OAI) dan kerja sama antara KAP dan Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA);
Asosiasi Profesi Akuntan Publik;
Komite Profesi Akuntan Publik;
pembinaan dan pengawasan oleh Menteri;
sanksi administratif; dan
ketentuan pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 03 Mei 2011.
Ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan (“Accountant”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 705) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Ketentuan mengenai pembatasan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin Akuntan Publik Asing menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perpanjangan izin Akuntan Publik diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara menjadi Rekan non-Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan pencabutan izin usaha KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin cabang KAP dan tidak berlakunya izin cabang KAP diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan domisili Akuntan Publik dan KAP sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d serta pelatihan profesional berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran dan pembatalan status terdaftar OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama OAI diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman nama KAPA atau OAA, perjanjian kerja sama, persetujuan pencantuman nama, pengajuan permohonan, dan persetujuan pencantuman nama KAPA atau OAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran KAPA atau OAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Asosiasi Profesi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan SPAP, penyelenggaraan ujian profesi akuntan publik, dan pendidikan profesional berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan unsur-unsur, serta tata kerja Komite Profesi Akuntan Publik, dan sekretariat Komite Profesi Akuntan Publik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap Akuntan Publik, KAP, dan/atau cabang KAP diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencantuman Pihak Terasosiasi dalam daftar orang tercela diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda diatur dalam Peraturan Pemerintah.
59
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat