Undang-undang (UU) tentang Dewan Pertimbangan Presiden
ABSTRAK:
Presiden dalam menjalankan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar memerlukan nasihat dan pertimbangan agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, demokrasi, serta kepemerintahan yang baik dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ini diatur mengenai pembentukna, kedudukan, tugas, fungsi, susunan dan keanggotaan, mekanisme kerja, dan pembiayaan dan hak keuanggan Dewan Pertimbangan Presiden. Paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diundangkannya Undang-
Undang ini, Dewan Pertimbangan Presiden harus sudah terbentuk.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2006.
Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang (UU) tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan
ABSTRAK:
bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia;
bahwa pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri; memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari kemiskinan khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan;
bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan;
bahwa untuk mewujudkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan;
bahwa pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan dewasa ini masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga belum dapat memberikan dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
3. SASARAN PENYULUHAN
4. KEBIJAKAN DAN STRATEGI
5. KELEMBAGAAN
6. TENAGA PENYULUH
7. PENYELENGGARAAN
8. SARANA DAN PRASARANA
9. PEMBIAYAAN
10. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
11. KETENTUAN SANKSI
12. KETENTUAN PERALIHAN
13. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 November 2006.
-
Untuk melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan optimalisasi kinerja penyuluhan pada tingkat pusat, diperlukan wadah koordinasi penyuluhan nasional nonstruktural yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
Untuk menunjang kegiatan Badan Koordinasi Penyuluhan pada tingkat provinsi dibentuk sekretariat, yang dipimpin oleh seorang pejabat setingkat eselon IIa, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur.
Badan pelaksana penyuluhan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota, yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Balai Penyuluhan bertanggung jawab kepada badan pelaksana penyuluhan kabupaten/kota yang pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan programa penyuluhan diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja dan metode penyuluhan ditetapkan dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan prasarana diatur dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Badan Pemeriksa Keuangan
ABSTRAK:
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk tercapainya tujuan negara tersebut, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah sehingga perlu dibentuk UU tentang BPK untuk mencabut UU yang lama.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23e, Pasal 23f, dan Pasal 23g Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ini diatur mengenai kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK berkedudukan di Ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Dalam UU ini juga mengatur mengenai tugas dan wewenang BPK, yang salah satu tugasnya yaitu BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2006.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Telah dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor putusan 62/PUU-XI/2013.
Hak Asasi ManusiaHukum Pidana, Perdata, dan Dagang
Status Peraturan
Dicabut sebagian dengan
UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
Diubah dengan
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban
ABSTRAK:
bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana.
Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
1. KETENTUAN UMUM
2. PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KORBAN
3. LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
4. SYARAT DAN TATA CARA
PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN
5. KETENTUAN PIDANA
6. KETENTUAN PERALIHAN
7. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 2006.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden.
Undang-undang (UU) tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
ABSTRAK:
bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin potensi, harkat, dan martabat setiap orang sesuai dengan hak asasi manusia;
bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya;
bahwa Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia;
syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia;
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia;
syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia;
ketentuan pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Agustus 2006.
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3077) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, perlu dibentuk UU tentang Pemerintahan Aceh.
Dasar hukum UU ini adalah : Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara; UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; UU Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang; UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dalam UU ini diatur mengenai pembagian daerah Aceh dan kawasan khusus. Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota, Kabupaten/kota dibagi atas kecamatan, Kecamatan dibagi atas mukim, dan Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Selain mengatur mengenai pembagian daerah, UU ini juga mengatur mengenai kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Agustus 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Telah dilakukan uji materiil oleh MK dengan nomor putusan 35/PUU-VIII/2010.
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 20 Juli 2006.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat