Undang-undang (UU) tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
ABSTRAK:
Hakikat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penduduk sebagai modal dasar dan faktor dominan pembangunan harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan karena jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang cepat akan memperlambat tercapainya kondisi yang ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk serta keluarga akan memperbaiki segala aspek dan dimensi pembangunan dan kehidupan masyarakat untuk lebih maju, mandiri, dan dapat berdampingan dengan bangsa lain dan dapat mempercepat terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (3), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang ini mengatur konteks perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga dengan memberikan perhatian khusus dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga pada dasarnya ditujukan untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh manusia tidak lagi hanya berdimensi lokal atau nasional, akan tetapi juga internasiona. Untuk melaksanakan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga diperlukan suatu lembaga yang kuat. Oleh karenanya dibutuhkan bentuk koordinasi dan pemahaman mengenai konsep perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga secara tepat.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3475) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Lampiran file: 49 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 37 dan penjelasan hlm 38 sd 49)
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
ABSTRAK:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 5 Tahun 1986, dan UU No. 48 Tahun 2009.
Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2017.
Undang-Undang ini mengubah UU No. 5 Tahun 1986.
Lampiran file: 33 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 23 dan penjelasan hlm 24 sd 33)
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
ABSTRAK:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 7 Tahun 1989, dan UU No. 48 Tahun 2009.
Dalam Undang-Undang ini mengatur ketentuan terkait Peradilan Agama yang meletakkan takkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Undang-Undang ini mengubah UU No. 7 Tahun 1989
Lampiran file: 31 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 20 dan penjelasan hlm 21 sd 31)
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
ABSTRAK:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun, UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 2 Tahun 1986, dan UU No. 48 Tahun 2009.
Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan ekstenal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Undang-Undang ini mengubah UU No. 2 Tahun 1986.
Lampiran file: 28 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 19 dan penjelasan hlm 20 sd 28)
bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu;
bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Undang-undang (UU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010
ABSTRAK:
Dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amendemen keempat, Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diajukan oleh Presiden setiap tahun untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. RAPBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. RAPBN Tahun Anggaran 2010 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amendemen Keempat, UU No. 13 Tahun 1985, UU No. 12 Tahun 1994, UU No. 20 Tahun 1997, UU No. 18 Tahun 2000, UU No. 20 Tahun 2000, UU No. 24 Tahun 2002, UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 19 Tahun 2003, UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 3 Tahun 2004, UU No. 10 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 14 Tahun 2005, UU No. 11 Tahun 2006, UU No. 17 Tahun 2006, UU No. 28 Tahun 2007, UU No. 39 Tahun 2007, UU No. 19 Tahun 2008, UU No. 35 Tahun 2008, dan UU No. 36 Tahun 2008.
Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2010 disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2010 sebagaimana telah dibahas dan disepakati bersama, baik dalam Pembicaraan Pendahuluan maupun Pembicaraan Tingkat I Pembahasan RAPBN Tahun Anggaran 2010 antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan memperhatikan perkembangan faktor eksternal dan stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2010 yang diperkirakan mencapai sekitar 5,5% (lima koma lima persen).
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2010.
Lampiran file: 59 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 33 dan penjelasan hlm 34 sd 59)
Undang-undang (UU) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
ABSTRAK:
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam sistem hukum nasional.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 8 Tahun 1981, UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 2 Tahun 1986, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 30 Tahun 2002, UU No. 4 Tahun 2004, dan UU No. 16 Tahun 2004.
Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal
53 sampai dengan Pasal 62 dari Bab VII mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Lampiran file: 26 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 16 dan penjelasan hlm 17 sd 26)
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
ABSTRAK:
bahwa perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;
bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal;
bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan;
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah,
Ketentuan Pasal 2 diubah
Ketentuan Pasal 7
Ketentuan Pasal 9 diubah
Ketentuan Pasal 14 ayat (3) diubah
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A
Ketentuan Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4),
Ketentuan Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3)
Ketentuan Pasal 25 diubah
Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A, Pasal 25B, dan Pasal 25C
Ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (5),
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4)
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A
Ketentuan Pasal 32 diubah
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A
Ketentuan Pasal 36 diubah
Ketentuan Pasal 41 diubah
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A
Ketentuan Pasal 42 diubah
Ketentuan Pasal 43 diubah
Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah
Ketentuan Pasal 46 diubah
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 46A
Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a),
Ketentuan Pasal 50 diubah
Ketentuan Pasal 65 ayat (1) dihapus
Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah,
Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C
Ketentuan Pasal 69 diubah
Ketentuan Pasal 71 diubah
Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A,
Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga Pasal 73
Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 73A dan Pasal 73B
Ketentuan Pasal 75 diubah
Ketentuan Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9)
Di antara Bagian Kedua dan Bagian Ketiga disisipkan 1 (satu) bagian yakni Bagian Kedua A
Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A
Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 83A
Ketentuan Pasal 85 diubah
Ketentuan Pasal 93 diubah
Di antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A
Ketentuan Pasal 98 diubah
di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D
Ketentuan Pasal 105 dihapus.
Ketentuan Pasal 110 diubah
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 Oktober 2009.
Merubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Mencabut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
Ketentuan mengenai penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan ketentuan mengenai pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan.
bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;
bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang;
bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum Cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dala m penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. TUGAS DAN FUNGSI
4. TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
5. PERSYARATAN
6. JENIS DAN KLASIFIKASI
7. PERIZINAN
8. KEWAJIBAN DAN HAK
9. PENYELENGGARAAN
10. PEMBIAYAAN
11. PENCATATAN DAN PELAPORAN
12. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
13. KETENTUAN PIDANA
14. KETENTUAN PERALIHAN
15. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 2009.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan tenaga kesehatan asing pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rumah Sakit pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif pajak sebagaimana dmaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan Peraturan Menteri
Pedoman organisasi Rumah Sakit ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai subsidi atau bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pendapatan Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan pendapatan negara atau Pemerintah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Pengawas Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mencapai cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, arsip sebagai identitas dan jati diri bangsa, serta sebagai memori, acuan, dan bahan pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus dikelola dan diselamatkan oleh negara. Untuk menjamin ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya, menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat, serta mendinamiskan sistem kearsipan, diperlukan penyelenggaraan kearsipan yang sesuai dengan prinsip, kaidah, dan standar kearsipan sebagaimana dibutuhkan oleh suatu sistem penyelenggaraan kearsipan nasional yang andal. Ketentuan dan pengaturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kearsipan masih bersifat parsial dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga perlu diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang tersendiri.
Dasar Hukum Undang-Undang ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang ini mengatur tentang Sistem penyelenggaraan kearsipan nasional yang komprehensif dan terpadu harus dibangun dengan mengimplementasikan prinsip, kaidah, norma, standar, prosedur, dan kriteria, pembinaan kearsipan, sistem pengelolaan arsip, sumber daya pendukung, serta peran serta masyarakat dan organisasi profesi yang sedemikian rupa, sehingga mampu merespons tuntutan dinamika gerak maju masyarakat, bangsa, dan negara ke depan. Sistem kearsipan nasional berfungsi menjamin ketersediaan arsip yang autentik, utuh, dan terpercaya serta mampu mengidentifikasikan keberadaan arsip yang memiliki keterkaitan informasi sebagai satu keutuhan informasi pada semua organisasi kearsipan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2009.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2964) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Lampiran file: 82 hlm (batang tubuh hlm 1 sd 52 dan penjelasan hlm 53 sd 82)
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat