bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673).
1. KETENTUAN UMUM
2. DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
3. RUANG LINGKUP
4. PENGADAAN
5. IMPOR DAN EKSPOR
6. PEREDARAN
7. LABEL DAN PUBLIKASI
8. PREKURSOR NARKOTIKA
9. PENGOBATAN DAN REHABILITASI
10. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
11. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
12. PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
13. PERAN SERTA MASYARAKAT
14. PENGHARGAAN
15. KETENTUAN PIDANA
16. KETENTUAN PERALIHAN
17. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Oktober 2009.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan
Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I
menurut Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.
Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 09 Oktober 2009.
bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman;
bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;
bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
3. KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN
4. HAK DAN KEWAJIBAN
5. KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
6. SENSOR FILM
7. PERAN SERTA MASYARAKAT
8. PENGHARGAAN
9. PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI
10. PENDANAAN
11. SANKSI ADMINISTRATIF
12. KETENTUAN PIDANA
13. KETENTUAN PERALIHAN
14. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 08 Oktober 2009.
Mencabut
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman mencabut UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473)
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib mengutamakan film Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan, keanggotaan, pedoman dan kriteria, serta tenaga sensor dan sekretariat lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
ABSTRAK:
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh- sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
3. PERENCANAAN
4. PEMANFAATAN
5. PENGENDALIAN
6. PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
7. SISTEM INFORMASI
8. TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
9. HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
10. PERAN MASYARAKAT
11. PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
12. PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
13. PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
14. KETENTUAN PIDANA
15. KETENTUAN PERALIHAN
16. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 03 Oktober 2009.
Mencabut
UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mencabut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.
Persyaratan dan tata cara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
ABSTRAK:
bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kawasan kontinen maritim yang terletak di antara dua benua dan dua samudera serta berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik dalam wilayah khatulistiwa menyebabkan wilayah Indonesia sangat strategis dengan kekayaan dan keunikan kondisi meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
bahwa unsur meteorologi, klimatologi, dan geofisika merupakan kekayaan sumber daya alam dan memiliki potensi bahaya sehingga harus dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan manusia;
bahwa informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika mempunyai peran strategis dalam meningkatkan keselamatan jiwa dan harta, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan;
bahwa lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan masyarakat demi kepentingan nasional;
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh terhadap penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika secara global sehingga perlu diantisipasi dan direspons melalui kerja sama internasional.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
pembinaan meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang profesional dan menghasilkan penyelenggaraan yang komprehensif, terpadu, efisien, dan efektif;
kewajiban Pemerintah dalam penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Badan berdasarkan rencana induk yang ditetapkan;
pengamatan meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang dilakukan berdasarkan standar metode dalam sistem jaringan pengamatan yang ditetapkan;
pengelolaan data yang dilakukan oleh Badan untuk menghasilkan informasi yang cepat, tepat, akurat, luas cakupannya, dan mudah dipahami berdasarkan standar yang ditetapkan;
kewajiban Pemerintah untuk menyediakan pelayanan informasi dan peringatan dini, serta kewajiban lembaga penyiaran dan media massa milik Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyebarluaskannya dalam rangka penyebarluasannya;
kewajiban Pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memanfaatkan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika;
keharusan peralatan pengamatan yang laik operasi dan dikalibrasi secara berkala;
kewajiban Pemerintah untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim melalui koordinasi kegiatan pengendalian, pemantauan, dan evaluasi penerapan kebijakan;
kerja sama internasional dan penunjukan Badan sebagai wakil tetap (permanent representative) Pemerintah Indonesia di World Meteorological Organization (WMO);
kewajiban melaporkan hasil penelitian yang sensitif dan mengikutsertakan peneliti instansi pemerintah terkait;
hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan peran sertanya dalam membantu menyebarluaskan informasi, membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta menjaga sarana dan prasarana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Oktober 2009.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan meteorologi, klimatologi, dan geofisika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama dan izin relokasi stasiun pengamatan yang masuk dalam sistem jaringan pengamatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai metode pengamatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan data diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelayanan jasa konsultasi dan kalibrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tarif layanan informasi khusus dan layanan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penggunaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peralatan yang laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Standar teknis dan operasional pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan perubahan iklim diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu;
bahwa penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu ditingkatkan;
bahwa di samping bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan sehingga penyediaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
4. KEWENANGAN PENGELOLAAN
5. PEMANFAATAN SUMBER ENERGI PRIMER
6. RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN
7. USAHA KETENAGALISTRIKAN
8. PERIZINAN
9. PENGGUNAAN TANAH
10. HARGA JUAL, SEWA JARINGAN, DAN TARIF TENAGA LISTRIK
11. LINGKUNGAN HIDUP DAN KETEKNIKAN
12. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
13. PENYIDIKAN
14. SANKSI ADMINISTRATIF
15. KETENTUAN PIDANA
16. KETENTUAN PERALIHAN
17. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 23 September 2009.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyediaan tenaga listrik dan izin operasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga jual, sewa jaringan, dan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jual beli tenaga listrik lintas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
ABSTRAK:
ahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah;
bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif;
bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah;
bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. PAJAK
3. BAGI HASIL PAJAK PROVINSI
4. PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK
5. PEMUNGUTAN PAJAK
6. RETRIBUSI
7. PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI
8. PENGAWASAN DAN PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI
9. PEMUNGUTAN RETRIBUSI
10. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
11. KEDALUWARSA PENAGIHAN
12. PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
13. INSENTIF PEMUNGUTAN
14. KETENTUAN KHUSUS
15. PENYIDIKAN
16. KETENTUAN PIDANA
17. KETENTUAN PERALIHAN
18. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2010.
Mencabut
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mencabutUndang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048). Dan dinyatakan tidak berlaku.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
kereta api;
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah:
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan; dan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
penyelenggaraan tempat Parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
sewa tempat pemakaman atau pembakaran/pengabuan mayat yang dimiliki atau dikelola Pemerintah Daerah.
Objek Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf g adalah pelayanan pengujian kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor di air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf i adalah penyediaan peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.
Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Retribusi Jasa Umum:
Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;
jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;
Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; dan
pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Retribusi Jasa Usaha:
Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
Retribusi Perizinan Tertentu:
perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan;
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan penyebarluasan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Administrasi dan Tata Usaha NegaraHonorarium, Gaji, Penghasilan, Uang Kehormatan, Tunjangan, Penghargaan, Hak LainnyaPembentukan, Perubahan, dan Pembubaran Komisi/Komite/Badan/Dewan/Staf Khusus/Tim/Panitia
Status Peraturan
Dicabut dengan
UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mencabut
UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 25 Agustus 2009.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat