Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara Di Provinsi Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan Kabupaten Lombok Barat pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Lombok Barat, dipandang perlu membentuk Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 64 Tahun 1958, UU No. 69 Tahun 1958, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Lombok Utara di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juli 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh Di Provinsi Jambi
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Jambi pada umumnya dan Kabupaten Kerinci pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Kerinci, dipandang perlu membentuk Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh di Provinsi Jambi.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 1956, UU No. 61 Tahun 1958, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang ini dibentuk Kota Sungai Penuh di wilayah Provinsi Jambi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juli 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah Di Provinsi Bengkulu
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Bengkulu pada umumnya dan Kabupaten Bengkulu Utara pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Bengkulu Utara, dipandang perlu membentuk Kabupaten Bengkulu Tengah di Provinsi Bengkulu untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah di Provinsi Bengkulu.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU Darurat No. 4 Tahun 1956, UU No. 9 Tahun 1967, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Bengkulu Tengah di wilayah Provinsi Bengkulu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juli 2008.
PEMBENTUKAN-KABUPATEN-labuhanbatu-utara-PROVINSI-sumatera utara
2008
Undang-undang (UU) NO. 23, LN.2008/NO.96, LL SETNEG : 14 HLM
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara Di Provinsi Sumatera Utara
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Sumatera Utara pada umumnya dan Kabupaten Labuhanbatu pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Labuhanbatu, dipandang perlu membentuk Kabupaten Labuhanbatu Utara di Provinsi Sumatera Utara untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU Darurat No. 7 Tahun 1956, UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Lanuhanbatu Utara di wilayah Provinsi Sumatera Utara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juli 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Provinsi Sumatera Utara
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Sumatera Utara pada umumnya dan Kabupaten Labuhanbatu pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Labuhanbatu, dipandang perlu membentuk Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Provinsi Sumatera Utara untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Selatan di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU Darurat No. 7 Tahun 1956, UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Lanuhanbatu Selatan di wilayah Provinsi Sumatera Utara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juli 2008.
bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.
Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
3. PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR, DAN KEPEMILIKAN
4. JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
5. PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING
6. TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
7. RAHASIA BANK
8. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
9. PENYELESAIAN SENGKETA
10. SANKSI ADMINISTRATIF
11. KETENTUAN PIDANA
12. KETENTUAN PERALIHAN
13. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2008.
-
Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Undang-undang (UU) tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
ABSTRAK:
bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi;
bahwa sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan;
bahwa sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan Umum,
Asas, Prinsip Dan Tujuan Pemberdayaan,
Kriteria,
Penumbuhan Iklim Usaha,
Pengembangan Usaha,
Pembiayaan Dan Penjaminan,
Kemitraan, dan Koordinasi Pemberdayaan,
Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 04 Juli 2008.
mencabut dan tidak memberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3611).
Kriteria sebagaimana dimaksud nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam;
bahwa pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan;
bahwa sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat;
bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1, KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAHAN
4. HAK DAN KEWAJIBAN
5. PERIZINAN
6. PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SAMPAH
7. PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI
8. KERJA SAMA DAN KEMITRAAN
9. PERAN MASYARAKAT
10. LARANGAN
11. PENGAWASAN
12. SANKSI ADMINISTRATIF
13. PENYELESAIAN SENGKETA
14. PENYIDIKAN
15. KETENTUAN PIDANA
16. KETENTUAN PERALIHAN
17. KETENTUAN LAIN-LAIN
18. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 07 Mei 2008.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan sistem tanggap darurat diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tata cara pelabelan atau penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan kewajiban produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha pengelolaan sampah yang mendapatkan izin dan tata cara pengumuman diatur dengan peraturan daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.
dll
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang;
bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan negara;
bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional;
bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan;
Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam Undang Undang ini diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya;
pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan;
pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam “International Ship and Port Facility Security Code”; dan
pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti “International Convention for the Prevention of Pollution from Ships”.
Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 07 Mei 2008.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri, keagenan umum, dan perwakilan perusahaan angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayaran-perintis dan penugasan pada angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan dan usaha jasa terkait diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri angkutan perairan dan perkuatan industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan hipotek diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai terminal khusus dan perubahan status terminal khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pengawasan pembangunan kapal, serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran dari kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyijilan, pengawakan kapal, dan dokumen pelaut diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai garis muat dan pemuatan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja dan persyaratan fasilitas kesehatan penumpang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan Telekomunikasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan meteorologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penetapan alur dan perlintasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan perairan pandu, persyaratan dan kualifikasi petugas pandu, serta penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengangkatan kerangka kapal dan/atau muatannya diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan salvage dan pekerjaan bawah air diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan kelembagaan Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan keamanan dan ketertiban serta permintaan bantuan di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penahanan kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran akibat pengoperasian kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran di pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan limbah di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Persyaratan perlindungan lingkungan maritim untuk kegiatan penutuhan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Mahkamah Pelayaran memiliki susunan organisasi dan tata kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, kewenangan, dan tugas Mahkamah Pelayaran serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Komite Nasional Keselamatan Transportasi serta tata cara pemeriksaan dan investigasi kecelakaan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia, tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif, serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai identitas penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
206
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat