ABSTRAK: |
- Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang
– Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, maka perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Pajak Daerah;
- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74,
Tambahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4189);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4355);
7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
2
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4422);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3339);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4049);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari
Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4050);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintahan Daerah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437);
3
19. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2007- Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara RI tahun 2007
Nomor 4741).
20. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 7 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Takalar Tahun 2007 Nomor 7);
21. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 8 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Takalar (Lembaran Daerah Kabupaten
Takalar Tahun 2008 Nomor 8);
22. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 11 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten
(Lembaran Daerah Kabupaten Takalar Tahun 2008 Nomor
11).
- MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH. BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Takalar. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah lainnya
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Bupati adalah Bupati Takalar. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. 5. Dinas adalah Dinas Pengelola Keuangan atau SKPD yang menangani
Pendapatan Daerah di Kabupaten Takalar. 6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
8. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah
4
(BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
9. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Takalar. 10. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak Daerah sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
Daerah dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
11. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
12. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel,
losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, cottage, villa,
rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar
lebih dari 10 (sepuluh) kamar. 13. Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk
dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang
menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan usaha hotel.
14. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
15. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin,
warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
16. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan yang bertindak
untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain
yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan usaha restoran atau
rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya serta jasa
boga/katering.
17. Jasa Boga atau Katering adalah penyediaan makanan dan/atau minuman
lengkap dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya, untuk keperluan
tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau tidak tertulis.
18. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
19. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau
keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
20. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak
baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak
lain yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan hiburan.
21. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
22. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum
terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca,
didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
23. Penyelenggara reklame adalah orang pribadi atau badan yang bertindak
untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain
yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan reklame.
24. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
5
25. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di
dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
26. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan
batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan
di bidang mineral dan batubara.
27. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun
yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat
penitipan kendaraan bermotor.
28. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
29. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
30. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.
31. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
32. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu
collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan
collocalia linchi.
33. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.\
34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah Kota.
35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan dan/atau laut.
36. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,
dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti.
37. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak
daerah.
38. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
39. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
40. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka
waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
6
41. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
42. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan
data objek pajak dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang
terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta
pengawasan penyetorannya.
43. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD,
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan daerah.
44. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP
adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data
subyek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
45. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas
Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati. 46. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak
yang terutang.
47. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT,
adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak
Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajb Pajak.
48. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat
SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
49. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya
disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak.
51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat
SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
52. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah
surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif
berupa bunga dan/atau denda.
53. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
7
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat
Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat
Keputusan Keberatan.
54. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
55. Putusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
56. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
57. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan
dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak
tersebut.
58. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
59. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
60. Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
JENIS PAJAK DAERAH
Pasal 2
Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
8
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet; dan
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
BAB III
PAJAK HOTEL
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 3
Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan di hotel.
Pasal 4
(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas
telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika,
transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola
hotel.
(3) Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh
hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 5
(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
hotel.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 6
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada hotel.
9
Pasal 7
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 8
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 9
(1) Pajak Hotel yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang
pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan hotel diberikan,
pajak terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran.
Bagian Keempat
Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan
Pasal 10
(1) Setiap Wajib Pajak Hotel wajib menggunakan bon penjualan untuk setiap
transaksi pelayanan di hotel.
(2) Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi tidak
menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak.
(3) Tata cara penggunaan bon penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan
(2), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 11
(1) Setiap Wajib Pajak hotel wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan kepada
Kepala Dinas.
(2) Wajib Pajak Hotel yang wajib melegalisasi bon penjualan tetapi
menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar
pengenaan pajak.
BAB IV
PAJAK RESTORAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Pajak
Pasal 12
Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan di
restoran.
Pasal 13
(1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran.
10
(2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang
dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di
tempat lain.
(3) Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya
tidak melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari. Pasal 14
(1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli
makanan dan/atau minuman dari restoran.
(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 15
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima
atau yang seharusnya diterima restoran.
Pasal 16
(1) Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus terhadap kegiatan usaha kecil dan/atau bersifat insidentil
dikenakan tarif pajak sebesar 5% (lima persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha kecil dan/atau bersifat
insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati. Pasal 17
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 18
(1) Pajak Restoran yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang
pribadi atau badan yang mengusahakan restoran.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan restoran diberikan,
pajak terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran.
Bagian Keempat
Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan
Pasal 19
(1) Setiap Wajib Pajak Restoran wajib menggunakan bon penjualan untuk
setiap transaksi pelayanan restoran.
11
(2) Bagi Wajib Pajak Restoran yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi
tidak menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak.
(3) Tata cara penggunaan bon penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan
(2), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 20
(1) Wajib Pajak Restoran wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan kepada
Kepala Dinas.
(2) Wajib Pajak Restoran yang wajib melegalisasi bon penjualan tetapi
menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari Dasar
Pengenaan Pajak.
BAB V
PAJAK HIBURAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 21
Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan
hiburan dengan dipungut bayaran.
Pasal 22
(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan
dipungut bayaran, yaitu:
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyard, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness
center); dan
j. pertandingan olahraga;
(2) Tidak termasuk objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang
tidak dipungut bayaran, antara lain hiburan yang diselenggarakan dalam
rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan sejenisnya.
Pasal 23
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati
hiburan.
(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan hiburan.
12
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 24
(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau
yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada
penerima jasa hiburan.
Pasal 25
(1) Tarif pajak untuk setiap jenis hiburan ditetapkan sebagai berikut:
a. Pagelaran kesenian rakyat/tradisional, sebesar 5 % (lima persen);
b. Pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, pertandingan olah raga,
sebesar 15% (lima belas persen;
c. tontonan film, sebesar 20% (dua puluh persen);
d. pertunjukan pagelaran musik, tari, sebesar 25% (dua puluh lima
persen);
e. pacuan kuda, kendaraan bermotor sebesar 30% (tiga puluh persen).
(2) Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut:
a. permainan ketangkasan sebesar 20% (dua puluh lima persen);
b. Panti pijat, refleksi, permainan billyard, boling, golf, sebesar 35% (tiga
puluh lima persen);
c. mandi uap/spa, pagelaran busana, kontes kecantikan, sebesar 40%
(empat puluh persen);
d. karaoke, sebesar 45% (empat puluh lima persen);
e. diskotik, klab malam, sebesar 60% (enam puluh persen).
(3) Penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk
tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan harga
tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sangksi
berupa denda sebesar 30%(tiga puluh persen).
Pasal 26
Besarnya pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 27
(1) Pajak Hiburan yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang
pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum hiburan diselenggarakan, pajak
terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran.
13
Bagian Keempat
Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan
Pasal 28
(1) Penyelenggara Hiburan berupa diskotik, musik hidup (live show), karaoke,
klub malam, ruang music (music room), balai gita (singing hall), pub, ruang
salesa musik (music lounge), klub eksekutif dan kegiatan lainnya wajib
menggunakan bon penjualan yang menunjukkan terjadinya pesanan atau
transaksi pembayaran.
(2) Pengecualian kewajiban Wajib Pajak Hiburan untuk menggunakan bon
penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dengan cara
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas.
(3) Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi tidak
menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak.
Pasal 29
(1) Bon Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), harus
mendapat pengesahan berupa legalisasi/perporasi dari Dinas.
(2) Penyelenggara Hiburan dapat mengajukan permohonan dispensasi
kewajiban melegalisasi/perporasi bon penjualan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Kepala Dinas.
(3) Wajib Pajak Hiburan yang wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan
tetapi menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi/perporasi
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) per
bulan dari dasar pengenaan pajak
BAB VI
PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 30
Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan
reklame.
Pasal 31
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron/ large electronic display
(LED) dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
14
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.
(3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah :
a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,
warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,
yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang pada bangunan tempat
usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
Perwakilan Diplomatik, Perwakilan konsulat, Perwakilan Persatuan
Bangsa-Bangsa serta badan/lembaga yang bernaung di bawahnya;
e. reklame yang diselenggarakan semata-mata memuat nama tempat
ibadah dan tempat panti asuhan;
f. reklame yang diselenggarakan untuk kegiatan sosial, Partai Politik dan
Organisasi Kemasyarakatan.
Pasal 32
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang
menggunakan reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang
pribadi atau badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan
tersebut.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga
tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 33
(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Nilai Kontrak
Reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan
faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu
penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan
dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Cara perhitungan nilai sewa reklame adalah sebagai berikut :
NSR(Nilai Sewa Reklame)
NSR = Ukuran x Jenis x Jangka waktu x Lokasi.
(6) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
15
Pasal 34
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 35
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 36
Pajak Reklame yang terutang terjadi pada saat penyelenggaraan reklame atau
saat diterbitkan SKPD.
BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 37
Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas setiap penggunaan
listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Pasal 38
(1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh pembangkit listrik.
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas
tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d. penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah.
Pasal 39
(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang
dapat menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang
menggunakan tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak
Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.
16
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 40
(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran,
Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap
ditambah dengan biaya pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam
rekening listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik
dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik,
jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku
di wilayah Daerah yang bersangkutan;
c. harga satuan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
ditetapkan dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada harga
satuan listrik yang berlaku untuk Perusahaan Listrik Negara.
Pasal 41
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebagai berikut:
a. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain bukan untuk industri,
pertambangan minyak bumi dan gas alam, sebesar 10% (sepuluh persen);
b. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain untuk industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, sebesar 3% (tiga persen);
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, sebesar 1,5% (satu
koma lima persen).
Pasal 42
(1) Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Dalam hal pajak yang terutang dipungut oleh Perusahaan Listrik Negara,
besaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan
Perusahaan Listrik Negara.
(3) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk
penyediaan penerangan jalan.
Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 43
Pajak Penerangan Jalan yang terutang terjadi pada saat penggunaan tenaga
listrik.
BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 44
Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut pajak atas
setiap pengambilan mineral bukan logam dan batuan.
17
Pasal 45
(1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fuller earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakkit; dan
kk. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyata- nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan
pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa
air/gas;
b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang
merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak
dimanfaatkan secara komersial.
18
Pasal 46
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
badan yang dapat mengambil mineral bukan logam dan batuan.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau
badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 47
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai
Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau
harga standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata
yang berlaku di lokasi setempat di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 )sulit diperoleh, digunakan harga
standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
Pasal 48
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua
puluh lima persen).
Pasal 49
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 50
Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan yang terutang terjadi pada saat
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang dimanfaatkan
secara komersial.
BAB IX
PAJAK PARKIR
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 51
Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir
di luar badan jalan.
19
Pasal 52
(1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor.
(2) Tidak termasuk objek Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan
untuk karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, dan perwakilan negara
asing dengan asas timbal balik;
d. penyelenggaraan tempat parkir yang semata-mata digunakan untuk
usaha memperdagangkan kendaraan bermotor;
e. penyelenggaraan fasilitas parkir tempat-tempat ibadah.
Pasal 53
(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
parkir kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan tempat parkir.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 54
(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan
kepada penerima jasa parkir.
Pasal 55
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).
Pasal 56
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 57
Pajak Parkir yang terutang terjadi pada saat terjadinya pembayaran atas
parkir.
20
BAB X
PAJAK AIR TANAH
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 58
Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
Pasal 59
(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air
tanah.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah:
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah;
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar
rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta
peribadatan; dan
c. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan
pemadaman kebakaran.
Pasal 60
(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 61
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor
berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati yang dapat ditinjau
kembali secara periodik paling lama setahun sekali.
21
Pasal 62
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 63
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 64
Pajak Air Tanah yang terutang terjadi pada saat diterbitkan SKPD.
BAB XI
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 65
Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas pengambilan
dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
Pasal 66
(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet.
(2) Tidak termasuk objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pengambilan sarang burung walet yang telah
dikenakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pasal 67
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 68
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang
Burung Walet.
(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang
burung walet dengan volume sarang burung walet.
(3) Harga pasaran umum sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan secara periodik dengan Peraturan Bupati.
22
Pasal 69
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 70
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68. Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 71
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang terjadi pada saat pengambilan
sarang burung walet.
BAB XII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 72
Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut
pajak atas kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau
bangunan.
Pasal 73
(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan
dengan komplek bangunan tersebut;
b. jalan tol;
d. kolam renang;
e. pagar mewah;
f. tempat olahraga;
g. galangan kapal, dermaga;
h. taman mewah;
i. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
j. menara.
(3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. digunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan;
23
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak
untuk mencari keuntungan, antara lain di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan, atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap WajIb Pajak.
Pasal 74
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi
dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 75
(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah NJOP.
(2) Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3
(tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayah.
(3) Penetapan besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Bupati. Pasal 76
(1) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan
sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
(2) Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4).
24
Bagian Ketiga
Saat Terutang Pajak
Pasal 77
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang ditentukan
berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
BAB XIII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 78
Pajak yang terutang dipungut di dalam wilayah Daerah. BAB XIV
MASA PAJAK
Pasal 79
Masa pajak adalah jangka waktu 1 ( satu ) bulan kalender atau jangka waktu
lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 ( tiga ) bulan kalender,
yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang.
BAB XV
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 80
(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat
ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah :
a. Pajak Reklame;
b. Pajak Air Tanah; dan
c. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
(4) Jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
f. Pajak Parkir; dan
g. Pajak Sarang Burung Walet;
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan
Bupati atau Pejabat, membayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan.
(6) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berupa karcis dan nota perhitungan.
(7) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri membayar
dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
25
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, pengisian dan
penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB,
dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (5) dan ayat (7)
diatur dengan Peraturan Bupati.Bagian Kedua
SPTPD
Pasal 82
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD dengan benar, lengkap dan jelas
serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dinas.
(2) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik
atau digital yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(3) Batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(4) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka
SPTPD disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Apabila SPTPD tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), atau melampaui batas waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak SKPD diterima, dapat diterbitkan Surat Teguran.
Pasal 83
Wajib Pajak atas kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD dengan
menyampaikan pernyataan tertulis, dengan ketentuan Dinas belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.
Bagian Ketiga
SPOP
Pasal 84
(1) Untuk pendataan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar,
dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati atau
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
Subjek Pajak.
BAB XVI
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 85
(1) Bupati atau Pejabat menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah saat terutangnya pajak, dan paling lama 6 (enam) bulan sejak
tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
26
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan dan Putusan banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan
pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
(3) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus dan lunas dengan
menggunakan SSPD di Kas Daerah melalui Bendaharawan Khusus
Penerima atau di tempat lain yang ditunjuk Bupati dan dicatat pada Buku
Penerimaan.
(4) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil
penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lama 1 x 24 jam atau
dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bupati atau Pejabat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran dan
tempat pembayaran diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 86
(1) Bupati atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib
Pajak untuk mengangsur pembayaran pajak yang terutang dalam kurun
waktu tertentu.
(2) Angsuran pembayaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut.
(3) Bupati atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib
Pajak untuk menunda pembayaran pajak yang terutang sampai batas
waktu yang ditentukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan,
persyaratan dan pembayaran angsuran serta penundaan pembayaran
pajak, diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XVII
TATA CARA PENAGIHAN
Bagian Kesatu
STPD
Pasal 87
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau
denda.
(2) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan SKPD, SKPDKB dan SKPDKBT.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b ditambah dengan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk
paling lama 15 ( lima belas ) bulan sejak saat terutangnya pajak.
27
(4) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dan ditagih melalui STPD.
Pasal 88
(1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SPPT,
SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
(2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai
awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah Surat teguran atau Surat
peringatan atau surat lain yang sejenis, Wajib Pajak wajib melunasi pajak
yang terutang.
(4) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh Pejabat.
(5) Surat Teguran atau Surat peringatan atau surat lain yang sejenis
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar;
d. saat pelunasan utang pajak.
Bagian Kedua
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pasal 89
(1) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
ayat (5), apabila:
a. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau
mengecilkan kegiatan usaha yang dikerjakannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan
membubarkan kegiatan usahanya atau menggabungkan atau
memekarkan usahanya atau memindahtangankan usaha yang dimiliki
atau yang dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. kegiatan usaha akan dibubarkan atau ditutup oleh Pemerintah Daerah;
e. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh
pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar;
d. saat pelunasan utang pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum
penerbitan Surat Paksa.
(4) Ketentuan formal untuk pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus,
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
28
Bagian Ketiga
Surat Paksa
Pasal 90
(1) Apabila jumlah pajak yang belum dibayar oleh Wajib Pajak tidak dilunasi
dalam batas waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Bupati atau Pejabat menerbitkan Surat Paksa setelah lewat 21 (dua puluh
satu) hari kerja sejak Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain
yang sejenis diterima oleh Wajib Pajak.
(3) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan
pelaksanaan Surat Paksa.
Pasal 91
(1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan
sebelum lewat waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Ketentuan formal untuk pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat
Paksa, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan.
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 92
(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), Bupati atau Pejabat segera
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak Daerah dengan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang dikenal oleh Juru Sita Pajak
Daerah.
(3) Setiap pelaksanaan penyitaan, Juru Sita Pajak Daerah membuat Berita
Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Juru Sita Pajak Daerah,
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dan saksi-saksi.
Pasal 93
(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan atau di tempat lain yang penguasaannya berada ditangan pihak
lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat
berupa:
a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga
lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi
kotor tertentu.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai
dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Juru Sita Pajak
Daerah untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(3) Pengajuan keberatan tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan
penyitaan.
29
Pasal 94
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
a. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 nilainya
tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang
pajak dan penagihan pajak.
Bagian Kelima
Pelelangan
Pasal 95
(1) Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah dilaksanakan penyitaan, Bupati
atau Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap
barang yang disita melalui Kantor Lelang Negara.
(2) Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat
pelaksanaan lelang, Juru Sita Pajak Daerah memberitahukan dengan
segera secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(3) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan
modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk
membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. uang tunai disetor ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau
Bank atau tempat lain yang ditunjuk;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke rekening
Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain
yang ditunjuk atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
c. obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di
bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
d. obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan
di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
e. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak
menagih dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan
pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada
Pejabat.
(5) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(6) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan
paling lama 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(7) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan
untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
(8) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dengan nilai paling banyak Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui
media massa.
30
Pasal 96
(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak belum memperoleh keputusan
keberatan.
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri Wajib pajak dan/atau
Penanggung Pajak.
(3) Lelang tidak dilaksanakan jika Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan
putusan pengadilan, atau putusan pengadilan pajak atau objek lelang
musnah.
BAB XVIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 97
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak,
kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih
mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada SKPD yang
membidangi pendapatan.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 98
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak kabupaten yang
sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur
dengan Peraturan Bupati.
31
BAB XIX
KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN
Bagian Pertama
Keberatan
Pasal 99
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang
ditunjuk atas suatu:
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN;
f. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
(2) Keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima Wajib
Pajak, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara
jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan
pajak dimaksud.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau Pejabat
yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos
tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
(8) Terhadap pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tersebut, Bupati atau
Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi
dasar penghitungan pengenaan pajak, pemotongan atau pemungutan
pajak.
Pasal 100
(1) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan
Bupati atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan
keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan.
(4) Keputusan keberatan tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk
mengajukan permohonan mengangsur pembayaran.
32
Bagian Kedua
Banding
Pasal 101
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat
keputusan keberatan.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar
pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan
Banding.
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding, Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis
hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
(5) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan
banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan
Banding diterbitkan.
Bagian Ketiga
Gugatan
Pasal 102
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
atau
d. penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan paling lama 14 (empat belas)
hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengikat apabila
jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaan Wajib Pajak, jangka waktu dimaksud dapat diperpanjang.
(4) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah 14
(empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan
Wajib Pajak.
(5) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan
1 (satu) Surat Gugatan.
33
BAB XX
PENGURANGAN, KERINGANAN, DAN PEMBEBASAN PAJAK
Pasal 103
(1) Bupati atau Pejabat berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan atau
pembebasan pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap pajak
yang telah dan/atau belum ditetapkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXI
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN DAN
PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 104
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati atau Pejabat
dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD, SKPDN, atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Bupati atau Pejabat dapat:
a. mengurangkan atau menghapus sanksi administratif berupa bunga,
denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang
ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan
atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui, Bupati atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan.
(5) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat wajib memberikan
keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
34
BAB XXII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 105
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada Bupati atau Pejabat.
(2) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui
dan Bupati atau Pejabat tidak memberikan suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan
SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5) Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pembayarannya dilakukan
dengan cara pemindahbukuan dan bukti pemindahbukuan juga berlaku
sebagai bukti pembayaran.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 106
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan itikad baik dan jujur, serta mencerminkan keadaan
kegiatan usaha yang sebenarnya.
(3) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara
pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Bupati. Pasal 107
(1) Bupati atau Pejabat berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan daerah ini.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan/omzet yang diperoleh, atau objek pajak yang terutang;
35
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3) Buku, catatan, atau dokumen, data, informasi dan keterangan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak
paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak permintaan disampaikan.
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan lain yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu
kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan
itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda
pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan
serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur
dengan Peraturan Bupati.
BAB XXIV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 108
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak daerah dapat diberikan
Insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XXV
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 109
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap
tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
36
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis
kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,
memperlihatkan buku tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak
yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti
tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang
diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XXVI
PENYIDIKAN
Pasal 110
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah
agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan
sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
37
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
BAB XXVII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 111
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati
dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
(1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
(2) Jika SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka
waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan
(3) Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi pajak yang terutang
dihitung secara jabatan. b. SKPDKB jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama
24 ( dua puluh empat ) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% ( seratus persen ) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 25% ( dua puluh lima persen ) dari pokok pajak ditambah sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% ( dua persen ) sebulan dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama
24(dua puluh empat )bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
38
BAB XXVIII
SANKSI PIDANA
Pasal 112
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Pasal 113
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 114
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 4 (empat) bulan dan pidana denda paling banyak Rp
4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja
tidak memenuhi kewajiban atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau
Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 115
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 112 ayat (1) dan
ayat (2) merupakan penerimaan Negara.
39
Pasal 116
(1) Petugas pajak atau seseorang yang bekerja di lingkungan Pemerintah
Daerah yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan atau tugas
pokok dan fungsinya memaksa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak
untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,
atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri dan/atau orang lain,
sehingga merugikan keuangan daerah diancam dengan pidana sesuai
peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi.
(2) Petugas pajak yang dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 117
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak terutang yang ditetapkan
berdasarkan:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 04 Tahun 1998 tentang Pajak
Hotel dan Restoran;
b. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 06 Tahun 1998 tentang Pajak
Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C;
c. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 1998 tentang Pajak
Hiburan;
d. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 03 Tahun 2000 tentang Pajak
Reklame;
e. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pajak
Penerangan Jalan;
masih tetap merupakan pajak yang terutang dan dapat ditagih selama jangka
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang, berdasarkan tata cara
penagihan pajak yang diatur dalam peraturan daerah ini.
BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 118
Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, maka :
a. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 04 Tahun 1998 tentang Pajak
Hotel dan Restoran;
b. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 06 Tahun 1998 tentang Pajak
Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C;
c. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 1998 tentang Pajak
Hiburan; dan
d. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 03 Tahun 2000 tentang Pajak
Reklame;
e. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pajak
Penerangan Jalan;
Dan semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
40
Pasal 119
Ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2014.
Pasal 120
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Pasal 121
Peraturan Daerah ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Takalar.
|