bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.
Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
3. PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR, DAN KEPEMILIKAN
4. JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
5. PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING
6. TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
7. RAHASIA BANK
8. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
9. PENYELESAIAN SENGKETA
10. SANKSI ADMINISTRATIF
11. KETENTUAN PIDANA
12. KETENTUAN PERALIHAN
13. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2008.
-
Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, serta memperkukuh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perkembangan zaman, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. TATANAN PERKERETAAPIAN
4. PEMBINAAN
5. PENYELENGGARAAN
6. PRASARANA PERKERETAAPIAN
7. PERPOTONGAN DAN PERSINGGUNGAN JALUR
KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN
8. SARANA PERKERETAAPIAN
9. RANCANG BANGUN DAN REKAYASA
PERKERETAAPIAN
10. LALU LINTAS KERETA API
11. ANGKUTAN
12. ASURANSI DAN GANTI KERUGIAN
13. PERAN SERTA MASYARAKAT
14. PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN
KECELAKAAN KERETA API
15. LARANGAN
16. PENYIDIKAN
17. KETENTUAN PIDANA
18. KETENTUAN PERALIHAN
19. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 25 April 2007.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian mencabut dan tidak memberlakukan lagi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479).
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kereta api dan penyusunan rencana induk perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perkeretaapian umum dan penyelenggaraan perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalur kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai stasiun kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengoperasian kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelaikan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perpotongan dan persinggungan jalur kereta api dengan bangunan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan kelaikan operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian dan pemeriksaan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lalu lintas kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan pelayanan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan orang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan kereta api dan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak penyelenggara sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan ganti kerugian Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak, pihak ketiga, dan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila;
bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antardaerah;
bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan;
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang sehingga perlu diganti dengan undang-undang penataan ruang yang baru.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang;
pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang;
pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan;
pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan;
hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah maupun antarpemangku kepentingan lain secara bermartabat;
penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang dilakukan;
ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 April 2007.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mencabut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501) dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perkotaan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan agropolitan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang diatur dengan peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang (UU) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
ABSTRAK:
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.
dasar hukum UU ini adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke
arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Juli 2007.
UU ini telah dilakukan uji materil oleh MK dengan nomor putusan 3/PUU-VIII/2010.
UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dan oleh karena itu perlu diganti.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ini diatur mengenai ruang lingkup pemberlakuan UU perikanan; wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaan perikanan; usaha perikanan; sistem informasi dan data statistik perikanan; pungutan perikanan; penelitian dan pengembangan perikanan; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan; pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; penyerahan urusan dan tugas pembantuan; pengawasan perikanan; pengadilan perikanan; penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan; dan ketentuan pidana.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 06 Oktober 2004.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2002.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat