Undang-undang (UU) tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang TerorganisasI)
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2009.
Undang-undang (UU) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
ABSTRAK:
bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
4. KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
5. WILAYAH PERTAMBANGAN
6. USAHA PERTAMBANGAN
7. IZIN USAHA PERTAMBANGAN
8. PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN
9. IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
10. IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
11. PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
12. DATA PERTAMBANGAN
13. HAK DAN KEWAJIBAN
14. PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
15. BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
16. USAHA JASA PERTAMBANGAN
17. PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
18. PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
19. PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
20. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
21. PENYIDIKAN
22. SANKSI ADMINISTRATIF
23. KETENTUAN PIDANA
24. KETENTUAN LAIN-LAIN
25. KETENTUAN PERALIHAN
26. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2009.
mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.
bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang;
bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;
bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
4. KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA
5. PEMBINAAN
6.RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA
7. PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
8. KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA
9. KEPENTINGAN INTERNASIONAL ATAS OBJEK PESAWAT UDARA
10. ANGKUTAN UDARA
11. KEBANDARUDARAAN
12. NAVIGASI PENERBANGAN
13. KESELAMATAN PENERBANGAN
14. KEAMANAN PENERBANGAN
15. PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
KECELAKAAN PESAWAT UDARA
16. INVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTAN
KECELAKAAN PESAWAT UDARA
17. PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PENERBANGAN
18. SISTEM INFORMASI PENERBANGAN
19. SUMBER DAYA MANUSIA
20. PERAN SERTA MASYARAKAT
21. PENYIDIKAN
22. KETENTUAN PIDANA
23. KETENTUAN PERALIHAN
24. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2009.
mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga, fungsi perumusan kebijakan, dan fungsi pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keselamatan penerbangan, unit kerja, dan lembaga penyelenggara pelayanan umum diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
dll
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Papua Barat pada umumnya dan Kabupaten Sorong pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Sorong, dipandang perlu membentuk Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 1969, UU No. 21 Tahun 2001, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, UU No. 10 Tahun 2008, dan UU No. 35 Tahun 2008.
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Tambrauw di wilayah Provinsi Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 November 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai di Provinsi Papua
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Papua pada umumnya dan Kabupaten Paniai pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Paniai, dipandang perlu membentuk Kabupaten Deiyai di Provinsi Papua untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai di Provinsi Papua.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 1969, UU No. 45 Tahun 1999, UU No. 21 Tahun 2001, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008.
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Deiyai di wilayah Provinsi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 November 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Papua pada umumnya dan Kabupaten Paniai pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Paniai, dipandang perlu membentuk Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Intan jaya di Provinsi Papua.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 1969, UU No. 45 Tahun 1999, UU No. 21 Tahun 2001, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008.
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Intan Jaya di wilayah Provinsi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 November 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Maluku Utara pada umumnya dan Kabupaten Halmahera Utara pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Halmahera Utara, dipandang perlu membentuk Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 46 Tahun 1999, UU No. 1 Tahun 2003, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008.
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Pulau Morotai di wilayah Provinsi Maluku Utara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 November 2008.
Undang-undang (UU) tentang Pembentukan Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi Nusa Tenggara Timur
ABSTRAK:
Untuk memacu kemajuan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan Kabupaten Kupang pada khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, politik, jumlah penduduk, luas daerah, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, dan meningkatnya beban tugas dan volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Kupang, dipandang perlu membentuk Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten Sabu Raijua di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 21 UUD Tahun 1945, UU No. 64 Tahun 1958, UU No. 69 Tahun 1958, UU No. 22 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2008.
Undang-Undang ini dibentuk Kabupaten Sabu Raijua di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 26 November 2008.
-
-
13 halaman
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat