UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
UU No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1962 Tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri Menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 23 November 2001.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2505);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 3045).
Undang-undang (UU) tentang Perlindungan Varietas Tanaman
ABSTRAK:
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara agraris, maka pertanian yang maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan yang penting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional;
bahwa untuk membangun pertanian yang maju, efisien, dan tangguh perlu didukung dan ditunjang antara lain dengan tersedianya varietas unggul;
bahwa sumberdaya plasma nutfah yang merupakan bahan utama pemuliaan tanaman, perlu dilestarikan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka merakit dan mendapatkan varietas unggul tanaman tanpa merugikan pihak manapun yang terkait guna mendorong pertumbuhan industri perbenihan;
bahwa guna lebih meningkatkan minat dan peranserta perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman dalam rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman perlu diberikan hak tertentu serta perlindungan hukum atas hak tersebut secara memadai;
bahwa sesuai dengan konvensi internasional, perlindungan varietas tanaman perlu diatur dengan undang-undang.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3398) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3680);
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).
1. KETENTUAN UMUM
2. LINGKUP PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
3. PERMOHONAN HAK PERLINDUNGAN
VARIETAS TANAMAN
4. PEMERIKSAAN
5. PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
6. BERAKHIRNYA HAK PERLINDUNGAN
VARIETAS TANAMAN
7. BIAYA
8. PENGELOLAAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN
9. HAK MENUNTUT
10. PENYIDIKAN
11. KETENTUAN PIDANA
12. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 20 Desember 2000.
-
Ketentuan mengenai penggunaan oleh Pemerintah atas varietas yang dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan oleh Menteri.
Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan, kualifikasi Pemeriksa PVT dan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Ketentuan mengenai pemberian atau penolakan permohonan hak PVT berikut bentuk dan isinya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Susunan organisasinya, tata kerja Komisi Banding PVT, tata cara permohonan dan pemeriksaan banding, serta penyelesaiannya diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Ketentuan mengenai perjanjian lisensi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai Lisensi Wajib diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
bahwa tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa;
bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomukasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi;
bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. PEMBINAAN
4. PENYELENGGARAAN
5. PENYIDIKAN
6. SANKSI ADMINISTRASI
7. KETENTUAN PIDANA
8. KETENTUAN PIDANA
9. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 08 September 2000.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi mencabut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU ini diatur mengenai penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembagian hutan berdasarkan statusnya yang terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Selain itu, hutan harus dilakukan pengelolaan yang dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berupa: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 30 September 1999.
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku: oschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63; dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketetnuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Telah dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang;
bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;
bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. KETENTUAN UMUM
2. ASAS DAN TUJUAN
3. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
4. KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA
5. PEMBINAAN
6.RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA
7. PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
8. KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA
9. KEPENTINGAN INTERNASIONAL ATAS OBJEK PESAWAT UDARA
10. ANGKUTAN UDARA
11. KEBANDARUDARAAN
12. NAVIGASI PENERBANGAN
13. KESELAMATAN PENERBANGAN
14. KEAMANAN PENERBANGAN
15. PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
KECELAKAAN PESAWAT UDARA
16. INVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTAN
KECELAKAAN PESAWAT UDARA
17. PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI PENERBANGAN
18. SISTEM INFORMASI PENERBANGAN
19. SUMBER DAYA MANUSIA
20. PERAN SERTA MASYARAKAT
21. PENYIDIKAN
22. KETENTUAN PIDANA
23. KETENTUAN PERALIHAN
24. KETENTUAN PENUTUP
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2009.
mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan dinyatakan tidak berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga, fungsi perumusan kebijakan, dan fungsi pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keselamatan penerbangan, unit kerja, dan lembaga penyelenggara pelayanan umum diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
dll
UU No. 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
ABSTRAK:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Salah satu jaminan negara atas kemerdekaan beribadah ialah memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat.
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
BAB I Ketentuan Umum
BAB II Jemaah Haji
BAB III Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
BAB IV Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
BAB V Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah
BAB VI Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
BAB VII Penyelenggaraan Ibadah Umrah
BAB VIII Koordinasi
BAB IX Peran Serta Masyarakat
BAB X Penyidikan
BAB XI Larangan
BAB XII Ketentuan Pidana
BAB XIII Ketentuan Peralihan
BAB XIV Ketentuan Penutup
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2019.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang.
Lingkungan HidupSumber Daya AlamAir, Sistem Penyediaan Air Minum
Hasil pencarian pada file:
Status Peraturan
Dicabut sebagian dengan
UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Diubah dengan
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, Angka I Matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota: (a). huruf C Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 1 Suburusan Sumber Daya Air (SDA) kolom 3 huruf b, kolom 4 huruf b, dan kolom 5 huruf b; (b). huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor I Sub-Urusan Geologi kolom 3 huruf a, kolom 4 huruf b, dan kolom 5, yang tertuang dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, Angka I Matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota: (a). huruf C Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 1 Suburusan Sumber Daya Air (SDA) kolom 3 huruf b, kolom 4 huruf b, dan kolom 5 huruf b; (b). huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor I Sub-Urusan Geologi kolom 3 huruf a, kolom 4 huruf b, dan kolom 5, yang tertuang dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, Angka I Matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota: (a). huruf C Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 1 Suburusan Sumber Daya Air (SDA) kolom 3 huruf b, kolom 4 huruf b, dan kolom 5 huruf b; (b). huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor I Sub-Urusan Geologi kolom 3 huruf a, kolom 4 huruf b, dan kolom 5, yang tertuang dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
bahwa air merupakan kebutuhan dasar hidup manusia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa Indonesia;
bahwa air sebagai bagian dari sumber daya air merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air perlu dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi guna memenuhi kebutuhan rakyat atas air.
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air adalah Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Atas dasar penguasaan negara terhadap Sumber Daya Air, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Air, termasuk tugas untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas Air bagi masyarakat. Di samping itu, Undang-Undang ini juga memberikan kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Air kepada pemerintah desa, atau yang disebut dengan nama lain, untuk membantu pemerintah dalam Pengelolaan Sumber Daya Air serta mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di wilayahnya.
Sebagian, tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dalam mengelola Sumber Daya Air yang meliputi satu Wilayah Sungai dapat ditugaskan kepada Pengelola Sumber Daya Air yang dapat berupa unit pelaksana teknis kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Keberadaan Air sebagai sumber kehidupan masyarakat, secara alamiah, bersifat dinamis dan mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah administratif. Keberadaan Air mengikuti siklus hidrologi yang erat hubungannya dengan kondisi cuaca pada suatu daerah sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata dalam setiap waktu dan setiap wilayah. Hal tersebut menuntut Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan secara utuh dari hulu sampai ke hilir dengan basis Wilayah sungai.
Berdasarkan hal tersebut, pengaturan kewenangan dan tanggung jawab Pengelolaah Sumber Daya Air oleh Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan Wilayah sungai. Untuk mencapai keterpaduan pengelolaan Sumber Daya Air, perlu disusun sebuah acuan bersama bagi para pemangku kepentingan dalam satu wilayah sungai yang berupa Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dengan prinsip keterpaduan antara Air Permukaan dan Air Tanah. Pola Pengelolaan Sumber Daya Air tersebut disusun secara terkoordinasi antarinstansi yang terkait.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Air tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air. Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air merupakan rencana induk Konservasi Sumber Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan Pengendalian Daya Rusak Air yang disusun secara terkoordinasi dan berbasis Wilayah Sungai. Rencana tersebut menjadi dasar dalam penyusunan program Pengelolaan Sumber Daya Air yang dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kegiatan setiap instansi yang terkait.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 16 Oktober 2019.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, Angka I Matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota:
(a). huruf C Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 1 Suburusan Sumber Daya Air (SDA) kolom 3 huruf b, kolom 4 huruf b, dan kolom 5 huruf b;
(b). huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor I Sub-Urusan Geologi kolom 3 huruf a, kolom 4 huruf b, dan kolom 5,
yang tertuang dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
90
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat