Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Papua Nugini (Extradition Treaty Between The Republic Of Indonesia and The Independent State of Papua New Guinea)
ABSTRAK:
bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional,bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara lain, selain mempunyai dampak positif juga mempunyai dampak negatif yang bersifat transnasional, yaitu memberikan peluang yang lebih besar bagi pelaku kejahatan untuk meloloskan diri dari penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan pidana dari negara tempat kejahatan dilakukan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT STATE OF PAPUA NEW GUINEA)
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 2015.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Republik Sosialis Viet Nam (Extradition Treaty Between The Republic Of Indonesia And The Socialist Republic Of Viet Nam)
ABSTRAK:
bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Pemerintah Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional,bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memudahkan lalu lintas manusia dari satu negara ke negara lain, selain mempunyai dampak positif juga mempunyai dampak negatif yang bersifat transnasional, yaitu memberikan peluang yang lebih besar bagi pelaku kejahatan untuk meloloskan diri dari penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan pidana dari negara tempat kejahatan dilakukan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE SOCIALIST REPUBLIC OF VIET NAM)
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 2015.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste tentang Kegiatan Kerja Sama di Bidang Pertahanan (Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia And The Government of The Democratic Republic of Timor-Leste Concerning Cooperative Activities In The Field of Defence)
ABSTRAK:
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 10 Maret 2015.
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015
ABSTRAK:
bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan ingkungan, dan kemandirian, guna mencapai Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, meningkatkan kesejahteraan rakyat serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015, telah terjadi perkembangan dan perubahan asumsi dasar ekonomi makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TahunAnggaran 2015;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015
Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 akan dipertahankan
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 06 Maret 2015.
Otonomi Daerah dan Pemerintah DaerahPartai Politik dan Pemilu
Status Peraturan
Dicabut sebagian dengan
UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, Angka I Matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota: (a). huruf C Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 1 Suburusan Sumber Daya Air (SDA) kolom 3 huruf b, kolom 4 huruf b, dan kolom 5 huruf b; (b). huruf CC Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor I Sub-Urusan Geologi kolom 3 huruf a, kolom 4 huruf b, dan kolom 5, yang tertuang dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Diubah dengan
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung maka telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 02 Februari 2015.
Pemilihan Umum Daerah, DPRD, Pemilihan Kepala Daerah
Status Peraturan
Diubah dengan
UU No. 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang
PERPU No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
bahwa untuk menjamin pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi perlu ditegaskan dengan pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan,bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Kedaulatan rakyat dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dilaksanakan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 02 Februari 2015.
Partai Politik dan PemiluPembentukan, Perubahan, dan Pembubaran Komisi/Komite/Badan/Dewan/Staf Khusus/Tim/PanitiaDasar Pembentukan Kementerian/Lembaga/Badan/Organisasi
Status Peraturan
Diubah dengan
UU No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mengubah
UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ABSTRAK:
1. bahwa dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperlukan lembaga perwakilan rakyat yang mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia;
2. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 20A, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
penggunaan hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR, susunan pimpinan alat kelengkapan DPR yaitu komisi, badan legislasi, badan anggaran, badan kerja sama antar parlemen, mahkamah kehormatan dewan, dan badan urusan rumah tangga dilakukan dengan cara menambah jumlah wakil ketua sebanyak 1 (satu) orang pada setiap alat kelengkapan DPR tersebut.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2014.
Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
ABSTRAK:
1. negara bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan upaya pengamanan maksimal terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat;
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pemasukan benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, dan/atau produk hewan, kemitraan usaha peternakan, pengaturan mengenai ternak ruminansia betina produktif, pencegahan penyakit hewan, penguatan otoritas veteriner.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dan berperan mendorong pembangunan nasional;
bahwa dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan undang-undang yang baru;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia dan penutupan Objek Asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Undang-Undang ini juga mengharuskan penyelenggaraan Program Asuransi Wajib, misalnya asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga bagi pengendara kendaraan bermotor, secara kompetitif dan memungkinkan pemberian fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan pemanfaatan Asuransi atau Asuransi Syariah dalam rangka pengelolaan risiko.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan. Pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan, terutama dalam hal pengaturan lini usaha dan produk Asuransi dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau kecilnya peran industri perasuransian tersebut.
Pengaturan dalam Undang-Undang ini juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan Perasuransian diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh persetujuan berhenti sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, jumlah, dan persyaratan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan metode mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan investasi kekayaan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyelesaian kewajiban Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim likuidasi dan pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan dari kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan dan pelaksanaan sebagian fungsi pengaturan dan pengawasan oleh pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta kriteria dan tata cara penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, tugas, masa tugas, dan pemberhentian Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan atau pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta besaran denda sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi Pihak yang tidak melakukan penyesuaian pemegang saham pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi Perusahaan Perasuransian yang tidak melakukan penyesuaian kepemilikan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu diganti;
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan adalah Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan perlu diganti, agar dapat memenuhi perubahan paradigma penyelenggaraan Perkebunan, menangani konflik sengketa Lahan Perkebunan, pembatasan penanaman modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana Perkebunan, izin Usaha Perkebunan, sistem data dan informasi, dan sanksi bagi pejabat.
Tujuan penyelenggaraan Perkebunan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri, memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan. Penyelenggaraan Perkebunan tersebut didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi- berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Adapun lingkup pengaturan penyelenggaraan Perkebunan meliputi: perencanaan, penggunaan lahan, perbenihan, budi daya Tanaman Perkebunan, Usaha Perkebunan, pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan, penelitian dan pengembangan, sistem data dan informasi, pengembangan sumber daya manusia, pembiayaan Usaha Perkebunan, penanaman modal, pembinaan dan pengawasan, dan peran serta masyarakat.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2014.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian sumber daya genetik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai introduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan mengenai tata cara mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai standar minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai pelaksanaan integrasi dan diversifikasi usaha diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin Usaha Perkebunan, luasan lahan tertentu untuk usaha budi daya Tanaman Perkebunan, dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Perkebunan berkelanjutan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia Perkebunan diatur dengan Peraturan Menteri
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan, lembaga pembiayaan, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat