Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Protocol To Implement The Sixth Package Of Commitments On Financial Services Under The ASEAN Framework Agreement Services (Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Keenam Bidang Jasa Keuangan dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa)
ABSTRAK:
Bahwa tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan kerja sama internasional di sektor jasa keuangan, khususnya kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Negara Anggota ASEAN lainnya. Pemerintah Indonesia dan Negara Anggota ASEAN lainnya telah menandatangani Protocol to Implement the Sixth Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement on Services (Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Keenam Bidang Jasa Keuangan dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa) pada tanggal 20 Maret 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. Sehingga, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan Protocol to Implement the Sixth Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement on Services (Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Keenam Bidang Jasa Keuangan dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa).
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 24 Tahun 2000, dan UU No. 7 Tahun 2014.
UU ini mengatur tentang :
Pengesahan Protocol to Implement the Sixth Package of Commitments on Financial Services under the ASEAN Framework Agreement on Services.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 25 Mei 2018.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan (Agreement Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of The Kingdom Of Thailand On Cooperation In The Field Of Defence)
ABSTRAK:
Bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi politik bebas aktif merupakan salah satu perwujudan dari tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kerja sama di bidang Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand, pada tanggal 21 Mei 2015 di Jakarta, Indonesia, telah ditandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan. Sehingga, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000.
UU ini mengatur tentang :
Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Kerajaan Thailand Tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 09 Mei 2018.
UU No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mengubah
UU No. 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ABSTRAK:
dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, diperlukan lembaga perwakilan rakyat yang mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 20A, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650);
Ketentuan yang perlu disempurnakan adalah ketentuan mengenai kedudukan partai pemenang pemilu dalam struktur di DPR dan MPR. Dalam suatu tatanan yang demokratis apa yang disuarakan rakyat dalam pemilu semestinya tercermin dalam susunan dan konfigurasi pimpinan DPR. Oleh karena itu perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai susunan pimpinan DPR dan MPR dengan cara penambahan jumlah wakil ketua pimpinan pada MPR dan DPR yang memberikan cerminan keterwakilan suara partai pemenang pemilu pada struktur pimpinan dua lembaga tersebut sebagai lembaga perwakilan yang mencerminkan representasi rakyat. Selain itu, perlu juga dilakukan penataan struktur organisasi Mahkamah Kehormatan Dewan dengan menambah jumlah pimpinan dan memperjelas wewenang dan tugas Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana yang telah dilakukan penambahan pimpinan pada alat kelengkapan dewan pada saat perubahan kesatu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga dapat mencerminkan asas proporsionalitas.
Demikian juga penataan Badan Legislasi terkait dengan kewenangan Badan Legislasi dalam menyusun rancangan undang-undang dan naskah akademik. Sebagai alat kelengkapan dewan yang secara khusus menangani bidang legislasi, maka sangat tidak tepat kewenangan tersebut tidak melekat dalam Badan Legislasi. Selain fungsi legislasi, juga dilakukan penataan lembaga DPR dengan menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, suatu alat kelengkapan dewan yang akan menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaaan Badan Pemeriksa Keuangan dan yang hasil kerjanya disampaikan kepada komisi untuk melakukan pengawasan.
Terkait dengan kewenangan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya, perubahan Undang-Undang ini juga memuat ketentuan pemberian sanksi dan bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi DPR dan pemanggilan paksa bagi pihak-pihak yang tidak bersedia menghadiri panggilan DPR.
Selanjutnya, Undang-Undang perubahan ini juga mengatur mengenai kedudukan pimpinan MPR dan DPR saat ini, bagaimana konsekuensinya atas penambahan jumlah pimpinan serta batasan waktu keberlakuan atas perubahan ketentuan pimpinan MPR dan DPR serta pimpinan alat kelengkapan dewan, mengingat dalam aturan selanjutnya terdapat ketentuan yang berbeda terhadap pimpinan MPR dan DPR serta pimpinan alat kelengkapan dewan setelah pemilu 2019.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 2018.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai rekrutmen tenaga administrasi dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tentang tata tertib
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP,
Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Dengan telah diratifikasinya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan UU Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut-serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, mewajibkan negara untuk menerapkan dalam sistem hukum nasional. Selain itu, untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan yang menggunakan lambang kepalangmerahan sebagai tanda pelindung dan tanda pengenal, maka pengaturan mengenai kepalangmerahan perlu diatur dalam undang-undang.
Dasar hukum UU ini adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 dan UU Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut-serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
Dalam UU ini diatur mengenai penyelenggara kepalangmerahan yang dilakukan oleh pemerintah dan Palang Merah Indonesia (PMI) dalam masa damai dan masa konflik bersenjata. Negara Indonesia menggunakan lambang palang merah sebagai lambang kepalangmerahan yang berfungsi sebagai tanda pelindung dan tanda pengenal. Dalam kegiatan kepalangmerahan peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara: 1) memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana; 2) mengawasi kegiatan kepalangmerahan; 3) memberikan masukan terhadap kebijakan kepalangmerahan; dan 4) menyampaikan informasi dan/atau laporan penyalahgunaan lambang dan nama kepalangmerahan. Aturan mengenai lambang dan logo kepalangmerahaan diatur dalam lampiran UU ini.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 09 Januari 2018.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pcrundang-undangan yang mengatur Kepalangmerahan, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Undang-undang (UU) tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
ABSTRAK:
bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa negara menjamin hak, kesempatan, dan memberikan pelindungan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;
bahwa pekerja migran Indonesia harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;
bahwa penempatan pekerja migran Indonesia merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan pelindungan hukum, serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kepentingan nasional;
bahwa negara wajib membenahi keseluruhan sistem pelindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan harga diri sebagai bangsa mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja;
bahwa penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 G, Pasal 28 I ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5314);
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja berbadan hukum, Pekerja Migran Indonesia yang bekerja pada Pemberi Kerja perseorangan, pelaut awak kapal dan pelaut perikanan, hak dan kewajiban Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya, upaya Pelindungan Pekerja Migran Indonesia baik pelindungan dalam sistem penempatan (sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah bekerja), atase ketenagakerjaan, layanan terpadu satu atap, sistem pembiayaan yang berpihak pada Calon Pekerja Migran Indonesia dan Pekerja Migran Indonesia, penyelenggaraan Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, dan pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi. Undang-Undang ini juga mengatur tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta peran dan fungsi Badan sebagai pelaksana kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Undang-Undang ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 diperkuat fungsi dan perannya sebagai pelaksana pelindungan bagi Pekerja Migran Indonesia.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 22 November 2017.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Protocol Amending The Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh Mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
ABSTRAK:
Latar belakang pengesahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol Amending The Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) adalah bahwa:
kegiatan perdagangan merupakan salah satu sektor utama penggerak perekonomian nasional yang dapat diiakukan melalui kerja sama perdagangan internasional untuk mendukung program-program pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Anggota World Trade Organization (WTO) pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 telah menyepakati Persetujuan Fasilitasi Perdagangan yang akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari persetujuan WTO melalui pengesahan Protocol Amending the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang telah diadopsi oleh Dewan Umum WTO pada tanggal 27 November 2014 di Jenewa, Swiss;
sebagai dasar hukum dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan Persetujuan Fasilitasi Perdagangan termasuk perubahan dalam struktur Persetujuan WTO dan sesuai ketentuan pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perlu mengesahkan Protokol dimaksud dengan Undang-Undang;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
Mengesahkan Protocol Amending the Manrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Spanyol dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Beberapa bagian penting dari Bagian pertama TFA adalah:
Publikasi dan Ketersediaan Informasi
Kewajiban untuk melakukan publikasi dan menyediakan informasi terkait kegiatan yang berkaitan dengan fasilitasi perdagangan termasuk menyediakan hal-hal tertentu dalam jaringan. Ketentuan ini juga mengatur tentang penunjukan enquiry point dan prosedur notifikasi.
Kesempatan Memberikan Komentar, Memperoleh Informasi Sebelum Pemberlakuan dan Konsultasi
Kewajiban untuk menyediakan kesempatan bagi pihak-pihak terkait untuk memberikan komentar terkait dengan rancangan dan perubahan terhadap instrumen hukum terkait dengan fasilitasi perdagangan. Ketentuan ini juga mengatur tentang kewajiban untuk mengadakan konsultasi rutin dengan para pemangku kepentingan.
Aduance Rulings
Kewajiban untuk menyediakan keputusan awal (aduance rulings) tertulis mengenai permintaan dari pedagang terkait klasifikasi tarif atau asal barang (origin)). Aduance rulings tersebut harus bersifat mengikat bagi institusi kepabeanan dan tetap berlaku secara sah untuk jangka waktu tertentu.
Banding atau Prosedur Tinjauan
Kewajiban untuk memberikan hak bagi pelaku usaha untuk mengajukan banding dan hak tersebut harus bersifat non-diskriminasi. Banding yang dilakukan dapat berupa banding administratif atau hukum.
Kebijakan Lain Guna Memperkuat Netralitas, Non-Diskriminasi dan Transparansi
Kewajiban pengawasan atau pemeriksaan di perbatasan terkait produk makanan, minuman atau pakan ternak guna melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan, jika dilakukan penahanan barang impor, maka penahanan tersebut harus segera diberitahukan ke importir dan terjaminnya hak importir untuk memperoleh tes uji kedua.
Ketentuan-Ketentuan mengenai Biaya dan Ongkos yang Dibebankan pada atau yang Terkait dengan Kegiatan Impor dan Ekspor
Ketentuan-ketentuan mengenai biaya dan ongkos yang dibebankan pada atau yang terkait dengan kegiatan impor dan ekspor terkait dengan publikasi biaya dan ongkos, standar terkait biaya dan ongkos, serta ketentuan sanksi kepabeanan.
Pelepasan dan Izin Barang
Kewajiban terkait dengan standar pelaksanaan pelepasan dan izin barang.
Keda Sama Badan di Perbatasan
Kewajiban untuk bekerja sama dan berkoordinasi antara otoritas perbatasan terkait pengawasan perbatasan dan prosedur fasilitasi perdagangan.
Pergerakan Barang dalam Pengawasan Bea dan Cukai yang Ditujukan untuk Impor
Kewajiban, sejauh dapat dilaksanakan dan semua syarat terpenuhi, untuk mengizinkan perpindahan barang dari satu kantor kepabeanan di pintu masuk ke kantor kepabeanan lainnya tempat barang akan dilepaskan.
Formalitas Terkait Importasi, Eksportasi dan Transit
Ketentuan terkait dengan kewajiban dalam hal Importasi, Eksportasi, dan Transit, antara lain:
formalitas dan persyaratan dokumentasi;
penerimaan salinan;
penggunaan standar internasional;
sistem perizinan satu atap;
pemeriksaan sebelum pengiriman barang;
penggunaan perantara kepabeanan;
prosedur-prosedur perbatasan yang umum dan keseragaman persyaratan dokumentasi;
barang-barang yang ditolak;
penerimaan sementara barang-barang/proses pengolahan di dalam dan di luar daerah pabean.
Kebebasan Transit
Kewajiban untuk tidak menerapkan peraturan terkait transit jika memungkinkan atau jika solusi yang tidak lebih menghambat perdagangan tersedia.
Kerja Sama Kepabeanan
Aturan tentang kerja sama antarinstitusi kepabeanan.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 22 November 2017.
Undang-undang (UU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang
ABSTRAK:
bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
bahwa dalam rangka melindungi kedaulatan negara sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 10 Juli 2017;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430).
Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur mengenai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 22 November 2017.
Undang-undang (UU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018
ABSTRAK:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungajwab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
APBN 2018 termuat dalam UU tentang APBN Tahun 2018 yang disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dalam rangka mendukung terwujudnya perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
APBN terdiri atas anggaran pendapatan negara, anggaran belanja negara, dan pembiayaan anggaran.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2018.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Merdeka Papua Nugini tentang Kegiatan Kerja Sama di Bidang Pertahanan (Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Independent State of Papua New Guinea Concerning Cooperation Activities In The Field of Defence)
ABSTRAK:
Bahwa hubungan luar negeri yang dilandasi politik bebas aktif merupakan salah satu perwujudan dari tujuan, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehingga, untuk meningkatkan kerja sama di bidang pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Merdeka Papua Nugini, pada tanggal 12 Maret 2010 di Port Moresby, Papua Nugini telah ditandatangani Persetujuan Kerja Sama Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Merdeka Papua Nugini. Oleh karena itu, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Merdeka Papua Nugini.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan UU No. 24 Tahun 2000.
UU ini mengatur tentang :
Pengesahan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Negara Merdeka Papua Nugini.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 13 November 2017.
Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China tentang Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Extradition)
ABSTRAK:
Bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selain mepunyai dampak positih juga mempunyai dampak negatif yang bersifat internasional, dan untuk mencegahnya diperlukan hubungan kerja sama yang efektif antarnegara yang dilakukan melalui perjanjian bilateral. Sehingga, untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama yang efektif khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China telah menandatangani Persetujuan Ekstradisi di Beijing pada tanggal 1 Juli 2009.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 1 Tahun 1979, dan UU No. 24 Tahun 2000.
UU ini mengatur tentang :
Pengesahan Persetujuan Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China.
CATATAN:
Undang-undang (UU) ini mulai berlaku pada tanggal 13 November 2017.
-
-
4
TENTANG DATABASE PERATURAN
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat