Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini diatur tentang: Pedoman mengadili perkara Pidana berdasarkan keadilan restoratif dengan menetapkan batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Hakim mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif dilaksanakan berdasarkan asas: a. pemulihan keadaan; b. penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban; c. tanggung jawab Terdakwa; d. pidana sebagai upaya terakhir; e. konsensualitas; dan f. transparansi dan akuntabilitas. Tujuan mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif untuk: a. memulihkan Korban tindak pidana; b. memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat; c. menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa; dan d. menghindarkan setiap orang, khususnya Anak, dari perampasan kemerdekaan. dan Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Ruang lingkup peraturan ini berlaku untuk perkara pidana, termasuk dalam lingkup pidana jinayat dan militer, perkara Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, berlaku dan harus diterapkan oleh seluruh Pengadilan. Tata cara mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif diantaranya mengatur tentang: Hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini: a. tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat; b. tindak pidana merupakan delik aduan; c. tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun; d. tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau e. tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal: a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian; b. terdapat Relasi Kuasa; atau c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hakim dengan penetapan berwenang memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil Pihak Lain yang Terkait ke persidangan untuk dimintai keterangannya. Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 dapat berupa: a. Terdakwa mengganti kerugian; b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau c. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan. Kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13 dilarang memuat ketentuan yang: a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan; b. melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia; c. merugikan pihak ketiga; atau d. tidak dapat dilaksanakan. Kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal mekanisme Keadilan Restoratif yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung ini diterapkan, Hakim mencantumkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya. Ketua Pengadilan tingkat banding berwenang melakukan pembinaan, pemantauan, menerima laporan, dan pengawasan atas pelaksanaan Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif di wilayah hukum Pengadilan tingkat banding yang bersangkutan.
Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat