Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Takalar Nomor 02 Tahun 2013

BANGUNAN GEDUNG

MATERI POKOK PERATURAN

Abstrak

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAKALAR TENTANG BANGUNAN GEDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Takalar. 2. Pemerintah Daerah adalah Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Takalar. 3. Bupati adalah Bupati Takalar. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Takalar. 5. Pejabat yang ditunjuk dalam Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Takalar. 6. Pejabat yang ditunjuk dalam melaksanakan pelayan Perijinan terpadu adalah Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah yang menangani Perijinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). 7. Instansi Teknis Pembina Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Takalar. 8. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berSada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 9. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya. 10. Bangunan gedung untuk kepentingan umum adalah bangunan gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya. 4 11. Bangunan gedung fungsi khusus adalah bangunan gedung yang fungsinya mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi. 12. Bangunan gedung adat adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat. 13. Lingkungan bangunan gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem. 14. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan bangunan gedung yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran. 15. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung. 16. Prasarana bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang merupakan pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung pada satu tapak kavling/persil yang sama untuk menunjang kinerja bangunan gedung sesuai dengan fungsinya (dulu dinamakan bangun-bangunan) seperti menara reservoir air, gardu listrik, instalasi pengolahan limbah. 17. Prasarana bangunan gedung yang berdiri sendiri adalah konstruksi bangunan yang berdiri sendiri dan tidak merupakan pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung pada satu tapak kavling/persil, seperti menara telekomunikasi, menara saluran utama tegangan ekstra tinggi, monumen/tugu dan gerbang kota. 18. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya. 19. Mendirikan bangunan gedung adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian, termasuk perkerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan bangunan gedung tersebut. 20. Mengubah bangunan gedung adalah pekerjaan mengganti dan/atau menambah atau mengurangi bagian bangunan tanpa mengubah fungsi bangunan. 21. Membongkar bangunan gedung adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. 22. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang Daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 23. Rencana Rinci Tata Ruang yang selanjutnya disingkat (RDTR) dan rencana tata ruang (RTR) kawasan strategis, yang disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang dan dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. 24. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan 5 pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan. 25. Izin Mendirikan Bangunan gedung yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. 26. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan gedung (PIMB) adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung. 27. Retribusi pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung yang selanjutnya disebut retribusi IMB adalah dana yang dipungut oleh Pemerintah Daerah atas pelayanan yang diberikan dalam rangka pembinaan melalui penerbitan IMB untuk biaya pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung yang meliputi pengecekan, pengukuran lokasi, pemetaan, pemeriksaan dan penataanusahaan proses penerbitan IMB. 28. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. 29. Pengawas adalah orang yang mendapat tugas untuk mengawasi pelaksanaan mendirikan bangunan sesuai dengan IMB. 30. Garis sempadan bangunan gedung adalah garis maya pada persil atau tapak sebagai batas minimum diperkenankannya didirikan bangunan gedung, dihitung dari garis sempadan jalan, tepi sungai atau tepi pantai atau jaringan tegangan tinggi atau garis sempadan pagar atau batas persil atau tapak. 31. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. 32. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disebut SLF adalah persyaratan bagi bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan teknis tata bangunan dan keandalan bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya. 33. Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut TABG adalah merupakan penilai dan pemberi pertimbangan terhadap dokumen rencana teknis bangunan gedung. Bagian Kedua Maksud, Tujuan, dan Lingkup Paragraf 1 Maksud Pasal 2 Maksud dari peraturan daerah ini adalah untuk mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung sejak dari perizinan, perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, kelaikan bangunan gedung agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 6 Tujuan Pasal 3 Peraturan daerah ini bertujuan untuk: (1) mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya; (2) mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan; (3) mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Paragraf 3 Lingkup Pasal 4 Lingkup peraturan daerah ini meliputi ketentuan mengenai fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. BAB II FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Pasal 5 (1) Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan maupun keandalannya serta sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL. (2) Fungsi bangunan gedung meliputi: a. bangunan gedung fungsi hunian, dengan fungsi utama sebagai tempat manusia tinggal; b. bangunan gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan ibadah; c. bangunan gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan usaha; d. bangunan gedung fungsi sosial dan budaya dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya; e. bangunan gedung fungsi khusus dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi dan/atau tingkat risiko bahaya tinggi; dan f. bangunan gedung lebih dari satu fungsi. Pasal 6 (1) Bangunan gedung fungsi hunian dengan fungsi utama sebagai tempat manusia tinggal dapat berbentuk: a. bangunan rumah tinggal tunggal; b. bangunan rumah tinggal deret; c. bangunan rumah tinggal susun; dan d. bangunan rumah tinggal sementara. 7 (2) Bangunan gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan ibadah keagamaan dapat berbentuk: a. bangunan masjid, mushalla, langgar, surau; b. bangunan gereja, kapel; c. bangunan pura; d. bangunan vihara; e. bangunan kelenteng; dan f. bangunan keagamaan dengan sebutan lainnya. (3) Bangunan gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan usaha dapat berbentuk: a. bangunan gedung perkantoran seperti bangunan perkantoran nonpemerintah dan sejenisnya; b. bangunan gedung perdagangan seperti bangunan pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal dan sejenisnya; c. bangunan gedung pabrik; d. bangunan gedung perhotelan seperti bangunan hotel, motel, hostel, penginapan dan sejenisnya; e. bangunan gedung wisata dan rekreasi seperti tempat rekreasi, bioskop dan sejenisnya; f. bangunan gedung terminal seperti bangunan stasiun kereta api, terminal bus angkutan umum, halte bus, terminal peti kemas, pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan perikanan; dan g. bangunan gedung tempat penyimpanan sementara seperti bangunan gudang, gedung parkir dan sejenisnya. (4) Bangunan gedung sosial dan budaya dengan fungsi utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya dapat berbentuk: a. bangunan gedung pelayanan pendidikan seperti bangunan sekolah taman kanak kanak, pendidikan dasar pendidikan menengah, pendidikan tinggi, kursus dan semacamnya; b. bangunan gedung pelayanan kesehatan seperti bangunan puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit termasuk panti-panti dan sejenisnya; c. bangunan gedung kebudayaan seperti bangunan museum, gedung kesenian, bangunan gedung adat dan sejenisnya; d. bangunan gedung laboratorium seperti bangunan laboratorium fisika, laboratorium kimia, dan laboratorium lainnya, dan e. bangunan gedung pelayanan umum seperti bangunan stadion, gedung olah raga dan sejenisnya. (5) Bangunan fungsi khusus dengan fungsi utama yang memerlukan tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional dan/atau yang mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. (6) Bangunan gedung lebih dari satu fungsi dengan fungsi utama kombinasi lebih dari satu fungsi dapat berbentuk: a. bangunan rumah – toko (ruko); b. bangunan rumah – kantor (rukan); c. bangunan gedung mal – apartemen – perkantoran; dan d. bangunan gedung mal – apartemen – perkantoran - perhotelan. 8 Pasal 7 (1) Fungsi bangunan gedung diusulkan oleh calon pemilik bangunan gedung dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW dan/atau RTBL dan persyaratan yang diwajibkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung. (2) Penetapan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui penerbitan IMB. (3) Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperoleh persetujuan dan penetapan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 8 (1) Klasifikasi bangunan gedung menurut klasifikasi fungsi bangunan didasarkan pada pemenuhan syarat administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diklasifikasikan berdasarkan: a. Tingkat Kompleksitas meliputi: 1. bangunan gedung sederhana; 2. bangunan gedung tidak sederhana dan; 3. bangunan gedung khusus. b. Tingkat Permanensi meliputi: 1. bangunan gedung darurat atau sementara; 2. bangunan gedung semi permanen, dan 3. bangunan gedung permanen. c. Tingkat Risiko Kebakaran meliputi: 1. bangunan tingkat risiko kebakaran rendah; 2. bangunan tingkat risiko kebakaran sedang; dan 3. bangunan tingkat risiko kebakaran tinggi. d. Klasifikasi zonasi gempa bumi di Kabupaten Takalar termasuk zona I – III (0,10 g – 0,20 g) yang dapat dirinci dengan mikro zonasi pada kawasankawasan dalam daerah. e. Tingkat kepadatan berdasarkan klasifikasi Lokasi meliputi: 1. bangunan gedung di lokasi; 2. bangunan gedung di lokasi sedang, dan 3. bangunan gedung di lokasi padat. f. Tingkat ketinggian bangunan gedung meliputi: 1. bangunan gedung bertingkat rendah; 2. bangunan gedung bertingkat sedang, dan 3. bangunan gedung bertingkat tinggi. g. Kepemilikan bangunan gedung meliputi: 1. bangunan gedung milik Negara/Daerah; 2. bangunan gedung milik perorangan, dan; 3. bangunan gedung milik badan usaha dan Milik Yayasan. Pasal 9 9 (1) Penentuan klasifikasi bangunan gedung atau bagian dari gedung ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan atau perubahan yang diperlukan pada bangunan gedung. (2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan mengajukan permohonan IMB baru. (3) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan peruntukan ruang yang diatur dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL. (4) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung baru. (5) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui proses penerbitan IMB baru. (6) Perubahan klasifikasi gedung harus melalui proses revisi IMB. (7) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan perubahan data fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung dan/atau kepemilikan bangunan gedung. Pasal 10 Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendataan bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu Umum Pasal 11 (1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. (2) Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi: a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b. status kepemilikan bangunan gedung, dan c. IMB. (3) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi: a. persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang terdiri atas: 1. persyaratan peruntukan lokasi; 2. intensitas bangunan gedung; 3. arsitektur bangunan gedung; 4. pengendalian dampak lingkungan untuk bangunan gedung tertentu; 5. rencana tata bangunan dan lingkungan. b. persyaratan keandalan bangunan gedung terdiri atas: 1. persyaratan keselamatan; 2. persyaratan kesehatan; 10 3. persyaratan kenyamanan; 4. persyaratan kemudahan. Bagian Kedua Persyaratan Administratif Paragraf 1 Status Kepemilikan Hak Atas Tanah Pasal 12 (1) Setiap bangunan gedung harus didirikan di atas tanah milik sendiri atau milik pihak lain yang status tanahnya jelas dan atas izin pemilik tanah. (2) Status tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk dokumen sertifikat hak atas tanah atau bentuk dokumen keterangan status tanah lainnya yang sah. (3) Bangunan gedung yang karena faktor budaya atau tradisi setempat harus dibangun di atas air sungai, air laut, air danau harus mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah. (4) Bangunan gedung yang akan dibangun di atas tanah milik sendiri atau di atas tanah milik orang lain yang terletak di kawasan rawan bencana alam harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam RTRW, RDTR, dan/atauRTBL. Paragraf 2 Status Kepemilikan Bangunan Gedung Pasal 13 (1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali kepemilikan bangunan gedung fungsi khusus. (2) Penetapan status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat proses IMB dan/atau pada saat pendataan bangunan gedung, sebagai sarana tertib pembangunan, tertib pemanfaatan dan kepastian hukum atas kepemilikan bangunan gedung. (3) Status kepemilikan rumah adat pada masyarakat hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat bersangkutan berdasarkan norma dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakatnya dengan tetap berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. (4) Pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung kepada pihak lain harus dilaporkan kepada Pemerintah Daerah untuk diterbitkan surat keterangan bukti kepemilikan baru. (5) Pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh pemilik bangunan gedung yang bukan pemegang hak atas tanah, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan pemegang hak atas tanah. (6) Status kepemilikan rumah adat pada masyarakat hukum adat ditetapkan oleh masyarakat hukum adat bersangkutan berdasarkan norma dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. 11 (7) Tata cara pembuktian kepemilikan bangunan gedung kecuali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pasal 14 (1) Setiap orang atau badan wajib mengajukan permohonan IMB kepada Bupati untuk melakukan kegiatan: a. pembangunan dan/atau prasarana bangunan gedung. b. rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana gedung meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/pengurangan; dan c. pemugaran/pelestarian dengan mendasarkan pada surat keterangan rencana kota (advis planning) untuk lokasi yang bersangkutan. (2) Bupati wajib memberikan secara cuma-cuma surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada setiap calon pemohon IMB sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung. (3) Permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. (4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari: a. surat bukti tentang status hak atas tanah; b. surat bukti tentang status bangunan gedung; c. dokumen/surat surat lainnya yang terkait. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan penggolongannya, meliputi: a. rencana teknis bangunan gedung meliputi: 1. bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana meliputi rumah inti tumbuh, rumah sederhana sehat dan rumah deret sederhana; 2. bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sampai dengan dua lantai; 3. bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal tidak sederhana dua lantai atau lebih dan bangunan gedung lainnya pada umumnya. b. rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum. c. rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus. (6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas: a. data umum bangunan gedung memuat informasi mengenai: 1. fungsi/klasifikasi bangunan gedung; 2. luas lantai dasar bangunan gedung; 3. total luas lantai bangunan gedung; 4. ketinggian/jumlah lantai bangunan; dan 5. rencana pelaksanaan. b. Rencana teknis bangunan gedung disesuaikan dengan penggolongannnya, meliputi: 1. gambar pra rencana bangunan gedung yang terdiri dari gambar/siteplan/situasi, denah, tampak dan gambar potongan; 2. spesifikasi teknis bangunan gedung; 3. rancangan arsitektur bangunan gedung; 4. rencangan struktur secara sederhana/prinsip; 12 5. rancangan utilitas bangunan gedung secara prinsip; 6. spesifikasi umum bangunan gedung; 7. perhitungan struktur bangunan gedung 2 (dua) lantai atau lebih dan/atau bentang struktur lebih dari 6 meter; 8. perhitungan kebutuhan utilitas (mekanikal dan elektrikal); 9. rekomendasi dari Dinas Teknis. (7) Pembayaran retribusi IMB dilakukan setelah Bupati memberikan persetujuan atas dokumen rencana teknis. (8) Berdasarkan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Bupati menerbitkan IMB sebagai izin untuk dapat memulai pembangunan. Paragraf 4 IMB di Atas dan/atau di Bawah Tanah, Air dan/atau Prasarana/Sarana Umum Pasal 15 (1) Permohonan IMB untuk bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum harus mendapatkan persetujuan dari Dinas Teknis. (2) IMB untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat pertimbangan teknis TABG dan dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat. (3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti standar teknis dan pedoman yang terkait. Paragraf 5 Kelembagaan Pasal 16 (1) Dokumen Permohonan IMB disampaikan/diajukan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perizinan. (2) Pemeriksaan dokumen rencana teknis dan administratif dilaksanakan oleh instansi teknis pembina yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung. (3) Bupati dapat melimpahkan sebagian kewenangan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Camat. (4) Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan faktor: a. efisiensi dan efektivitas; b. mendekatkan pelayanan pemberian IMB kepada masyarakat; c. fungsi bangunan, klasifikasi bangunan, luasan tanah dan/atau bangunan yang mampu diselenggaraan di kecamatan; dan d. kecepatan penanganan penanggulangan darurat dan rehabilitasi bangunan gedung pascabencana. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan Bupati. Bagian Ketiga Persyaratan Teknis Bangunan Gedung 13 Paragraf 1 Umum Pasal 17 Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan lingkungan dan persyaratan keandalan bangunan. Pasal 18 Persyaratan tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi persyaratan peruntukan, intensitas, arsitektur dan pengendalian dampak lingkungan bangunan gedung. Pasal 19 Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Paragraf 2 Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan Pasal 20 (1) Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang telah ditetapkan dalam ketentuan tentang RTRW, RDTR dan ketentuan tentang RTBL dari lokasi bersangkutan. (2) Pemerintah Daerah wajib memberikan informasi mengenai RTRW, RDTR dan/ atau RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara cuma-cuma. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi keterangan mengenai peruntukan lokasi, intensitas bangunan yang terdiri dari kepadatan bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan. (4) Bangunan gedung yang dibangun: a. di atas prasarana dan sarana umum; b. di bawah prasarana dan sarana umum; c. di bawah atau di atas air; d. di daerah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi, e. di daerah yang berpotensi bencana alam, dan f. di Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP), harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memperoleh pertimbangan serta persetujuan dari Pemerintah Daerah. Pasal 21 (1) Bangunan gedung yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan intensitas bangunan gedung yang terdiri dari: a. kepadatan dan ketinggian bangunan gedung; b. penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan jumlah lantai; c. perhitungan KDB dan KLB; 14 d. garis sempadan bangunan gedung (muka, samping, belakang); e. jarak bebas bangunan gedung; f. pemisah di sepanjang halaman muka/samping/belakang bangunan gedung, berdasarkan peraturan terkait tentang RTRW, RDTR dan peraturan tentang RTBL. (2) Kepadatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan KDB pada tingkatan padat, sedang dan renggang. (3) Ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB) dan KLB pada tingkatan KLB tinggi, sedang dan rendah. (4) Ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh mengganggu lalu lintas penerbangan. Pasal 22 (1) Setiap bangunan gedung yang dibangun harus memenuhi persyaratan kepadatan bangunan yang diatur dalam KDB untuk lokasi yang bersangkutan. (2) KDB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan. (3) Ketentuan besarnya KDB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Pasal 23 (1) KLB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum. (2) Ketentuan besarnya KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan peraturan terkait tentang RTRW, RDTR dan/atau RTBL. Pasal 24 (1) Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan. (2) Ketentuan besarnya KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan peraturan terkait tentang RTRW dan peraturan tentang RTBL. Pasal 25 (1) Ketinggian bangunan gedung meliputi ketentuan mengenai JLB dan KLB yang dibedakan dalam KLB tinggi, sedang dan rendah. (2) Ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengganggu lalu lintas penerbangan. (3) Bangunan gedung dapat dibuat bertingkat ke bawah tanah sepanjang memungkinkan untuk itu dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan terkait tentang RTRW, RDTR dan peraturan tentang RTBL. 15 Pasal 26 (1) Garis sempadan bangunan gedung mengacu pada RTRW, RDTR dan/atau RTBL. (2) Penetapan garis sempadan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian bangunan. (3) Penetapan garis sempadan bangunan berlaku untuk bangunan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah (besmen). (4) Bupati dapat menetapkan lain untuk kawasan-kawasan tertentu dan spesifik. Pasal 27 (1) Jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk setiap lokasi harus sesuai dengan peruntukannya. (2) Setiap bangunan gedung tidak boleh melanggar ketentuan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Takalar tentang RTRW, Peraturan Daerah Kabupaten Takalar tentang RDTR dan/atau Peraturan Bupati tentang RTBL. (3) Ketentuan jarak bebas bangunan gedung ditetapkan dalam bentuk: a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, rel kereta api dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi, dengan mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan; b. jarak antara bangunan gedung dengan batas persil, jarak antarbangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman yang diberlakukan per kapling/per persil dan/atau per kawasan pada lokasi bersangkutan dengan mempertimbangkan aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. (4) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah didasarkan pada pertimbangan keberadaan atau rencana jaringan pembangunan utilitas umum. (5) Sebelum ditetapkannya jarak bebas bangunan gedung dalam Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati dapat mengaturnya melalui peraturan Bupati. Paragraf 3 Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 28 Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta memperimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai adat/tradisional sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. Pasal 29 (1) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 disesuaikan dengan penetapan tema arsitektur bangunan di dalam Peraturan Bupati tentang RTBL. 16 (2) Penampilan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya serta dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian. (3) Pemerintah Daerah dapat menetapkan kaidah arsitektur tertentu pada suatu kawasan setelah mendengar pendapat Tim Ahli Bangunan Gedung dan pendapat masyarakat. Pasal 30 (1) Bentuk denah bangunan gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana guna mengantisipasi kerusakan akibat bencana alam gempa dan penempatannya tidak boleh mengganggu fungsi prasarana kota, lalu lintas dan ketertiban. (2) Bentuk bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur di sekitarnya dengan mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya. (3) Bentuk denah bangunan gedung adat atau tradisional harus memperhatikan sistem nilai dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakat adat bersangkutan. (4) Atap dan dinding bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan yang aman dari kerusakan akibat bencana alam. Pasal 31 (1) Persyaratan tata ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung. (2) Bentuk bangunan gedung harus dirancang agar setiap ruang dalam dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami, kecuali fungsi bangunan gedung diperlukan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan. (3) Ruang dalam bangunan gedung harus mempunyai tinggi yang cukup sesuai dengan fungsinya dan arsitektur bangunannya. (4) Perubahan fungsi dan penggunaan ruang bangunan gedung atau bagian bangunan gedung harus tetap memenuhi ketentuan penggunaan bangunan gedung dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan dan penghuninya. (5) Pengaturan ketinggian pekarangan adalah apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir yang ditetapkan oleh Balai Sungai atau instansi berwenang setempat atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri. (6) Tinggi lantai dasar suatu bangunan gedung diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m di atas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi ratarata jalan, dengan memperhatikan keserasian lingkungan. (7) Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir atau terdapat kemiringan curam atau perbedaan tinggi yang besar pada suatu tanah perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri. 17 (8) Permukaan atas dari lantai denah (dasar): a. Sekurang-kurangnya 15 cm di atas titik tertinggi dari pekarangan yang sudah dipersiapkan; b. Sekurang-kurangnya 25 cm di atas titik tertinggi dari sumbu jalan yang berbatasan; c. Dalam hal-hal yang luar biasa, ketentuan dalam huruf a, tidak berlaku jika letak lantai-lantai itu lebih tinggi dari 60 cm di atas tanah yang ada di sekelilingnya, atau untuk tanah-tanah yang miring. Pasal 32 (1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya yang diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana luar bangunan gedung. (2) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Persyaratan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP); b. Persyaratan ruang sempadan bangunan gedung; c. Persyaratan tapak besmen terhadap lingkungan; d. Ketinggian pekarangan dan lantai dasar bangunan; e. Daerah hijau pada bangunan; f. Tata tanaman; g. Sirkulasi dan fasilitas parkir; h. Pertandaan (Signage); i. Pencahayaan ruang luar bangunan gedung. Pasal 33 (1) Ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (2) huruf a sebagai ruang yang berhubungan langsung dengan dan terletak pada persil yang sama dengan bangunan gedung, berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman, peresapan air, sirkulasi, unsur estetik, sebagai ruang untuk kegiatan atau ruang fasilitas (amenitas). (2) Persyaratan RTHP ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Takalar tentang RTRW dan Peraturan Daerah Kabupaten Takalar tentang RTBL dan Lingkungan langsung atau tidak langsung dalam bentuk Garis Sempadan Bangunan, Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Dasar Hijau, Koefisien Lantai Bangunan, sirkulasi dan fasilitas parkir dan ketetapan lainnya yang bersifat mengikat semua pihak berkepentingan. (3) Sebelum persyaratan RTHP ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati dapat menerbitkan penetapan sementara sebagai acuan bagi penerbitan IMB. Pasal 34 (1) Persyaratan ruang sempadan depan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b harus mengindahkan keserasian lansekap pada ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan RDTR 18 dan/atau RTBL yang mencakup pagar dan gerbang, tanaman besar/pohon dan bangunan penunjang. (2) Terhadap persyaratan ruang sempadan depan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas jalan dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan, ruang sempadan depan bangunan, pagar, jalur pejalan kaki, jalur kendaraan dan jalur hijau median jalan dan sarana utilitas umum lainnya. Pasal 35 (1) Persyaratan tapak besmen terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c berupa kebutuhan besmen dan besaran Koefisien Tapak Besmen (KTB) ditetapkan berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis dan kebijakan daerah. (2) Untuk penyediaaan RTHP yang memadai, lantai besmen pertama tidak dibenarkan keluar dari tapak bangunan di atas tanah dan atap besmen kedua harus berkedalaman sekurang kurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah. Pasal 36 (1) Daerah hijau bangunan (DHB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e dapat berupa taman atap atau penanaman pada sisi bangunan. (2) DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohonan IMB untuk menyediakan RHTP dengan luas maksimum 25% RHTP. Pasal 37 Tata Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f meliputi aspek pemilihan karakter tanaman dan penempatan tanaman dengan memperhitungkan tingkat kestabilan tanah/wadah tempat tanaman tumbuh dan tingkat bahaya yang ditimbulkannya. Pasal 38 (1) Setiap bangunan bukan rumah tinggal wajib menyediakan fasilitas parkir kendaraan yang proporsional dengan jumlah luas lantai bangunan sesuai SNI dan/atau standar teknis terkait. (2) Fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf g tidak boleh mengurangi daerah hijau yang telah ditetapkan dan harus berorientasi pada pejalan kami, memudahkan aksesibilitas dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan. (3) Sistem sirkulasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (2) huruf g harus saling mendukung antara sirkulasi ekternal dan sirkulasi internal bangunan gedung serta antara individu pemakai bangunan dengan sarana transportasinya. Pasal 39 (1) Pertandaan (Signage) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf h yang ditempatkan pada bangunan, pagar, kavling dan/atau ruang publik tidak boleh mengganggu karakter yang akan diciptakan/dipertahankan. (2) Bupati dapat mengatur lebih lanjut pengaturan tentang pertandaan (signage) dalam Peraturan Bupat Takalar. 19 Pasal 40 (1) Pencahayaan ruang luar bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf i harus disediakan dengan memperhatikan karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan, estetika amenitas dan komponen promosi. (2) Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari penerangan jalan umum. Paragraf 4 Pengendalian Dampak Lingkungan Pasal 41 (1) Setiap kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang mengganggu atau menimbulkan dampak besar dan penting harus dilengkapi dengan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). (2) Kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang tidak mengganggu atau tidak menimbulkan dampak besar dan penting tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL tetapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). (3) Kegiatan yang memerlukan AMDAL, UKL dan UPL dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Paragraf 5 Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Pasal 42 (1) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan atau RTBL memuat program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi dan ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan. (2) Program bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat jenis, jumlah, besaran, dan luasan bangunan gedung, serta kebutuhan ruang terbuka hijau, fasilitas umum, fasilitas sosial, prasarana aksesibilitas, sarana pencahayaan, dan sarana penyehatan lingkungan, baik berupa penataan prasarana dan sarana yang sudah ada maupun baru. (3) Rencana umum dan panduan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ketentuan-ketentuan tata bangunan dan lingkungan pada suatu lingkungan/ kawasan yang memuat rencana peruntukan lahan makro dan mikro, rencana perpetakan, rencana tapak, rencana sistem pergerakan, rencana aksesibilitas lingkungan, rencana prasarana dan sarana lingkungan, rencana wujud visual bangunan, dan ruang terbuka hijau. (4) Rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan arahan program investasi bangunan gedung dan lingkungannya yang disusun berdasarkan program bangunan dan lingkungan serta ketentuan rencana umum dan panduan rencana yang memperhitungkan kebutuhan nyata para pemangku kepentingan dalam proses pengendalian investasi dan 20 pembiayaan dalam penataan lingkungan/kawasan, dan merupakan rujukan bagi para pemangku kepentingan untuk menghitung kelayakan investasi dan pembiayaan suatu penataan atau pun menghitung tolok ukur keberhasilan investasi, sehingga tercapai kesinambungan pentahapan pelaksanaan pembangunan. (5) Ketentuan pengendalian rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat mobilisasi peran masing-masing pemangku kepentingan pada masa pelaksanaan atau masa pemberlakuan RTBL sesuai dengan kapasitasnya dalam suatu sistem yang disepakati bersama, dan berlaku sebagai rujukan bagi para pemangku kepentingan untuk mengukur tingkat keberhasilan kesinambungan pentahapan pelaksanaan pembangunan. (6) Pedoman pengendalian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat untuk mengarahkan perwujudan pelaksanaan penataan bangunan dan lingkungan/kawasan yang berdasarkan dokumen RTBL, dan memandu pengelolaan kawasan agar dapat berkualitas, meningkat, dan berkelanjutan. (7) RTBL disusun berdasarkan pada pola penataan bangunan gedung dan lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat dan dapat dilakukan melalui kemitraan Pemerintah Daerah dengan swasta dan/atau masyarakat sesuai dengan tingkat permasalahan pada lingkungan/kawasan bersangkutan dengan mempertimbangkan pendapat para ahli dan masyarakat. (8) Pola penataan bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi pembangunan baru (new development), pembangunan sisipan parsial (infill development), peremajaan kota (urban renewal), pembangunan kembali wilayah perkotaan (urban redevelopment), pembangunan untuk menghidupkan kembali wilayah perkotaan (urban revitalization), dan pelestarian kawasan. (9) RTBL yang didasarkan pada berbagai pola penataan bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ini ditujukan bagi berbagai status kawasan seperti kawasan baru yang potensial berkembang, kawasan terbangun, kawasan yang dilindungi dan dilestarikan, atau kawasan yang bersifat gabungan atau campuran dari ketiga jenis kawasan pada ayat ini. (10) RTBL ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 6 Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Pasal 43 Persyaratan keandalan bangunan gedung terdiri dari persyaratan keselamatan bangunan gedung, persyaratan kesehatan bangunan gedung, persyaratan kenyamanan bangunan gedung dan persyaratan kemudahan bangunan gedung. Pasal 44 Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap beban muatan, persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran dan persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya petir. 21 Pasal 45 (1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi persyaratan struktur bangunan gedung, pembebanan pada bangunan gedung, struktur atas bangunan gedung, struktur bawah bangunan gedung, pondasi langsung, pondasi dalam, keselamatan struktur, keruntuhan struktur dan persyaratan bahan. (2) Struktur bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus kokoh, stabil dalam memikul beban dan memenuhi persyaratan keselamatan, persyaratan pelayanan selama umur yang direncanakan dengan mempertimbangkan: a. fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan dan kemungkinan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung; b. pengaruh aksi sebagai akibat dari beban yang bekerja selama umur layanan struktur baik beban muatan tetap maupun sementara yang timbul akibat gempa, angin, korosi, jamur dan serangga perusak; c. pengaruh gempa terhadap substruktur maupun struktur bangunan gedung sesuai zona gempanya; d. struktur bangunan yang direncanakan secara daktail pada kondisi pembebanan maksimum, sehingga pada saat terjadi keruntuhan, kondisi strukturnya masih memungkinkan penyelamatan diri penghuninya; e. struktur bawah bangunan gedung pada lokasi tanah yang dapat terjadi likulfaksi, dan; f. keandalan bangunan gedung. (3) Pembebanan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dianalisis dengan memeriksa respon struktur terhadap beban tetap, beban sementara atau beban khusus yang mungkin bekerja selama umur pelayanan dengan menggunakan SNI dan/atau standar teknis terkait. (4) Struktur atas bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi kayu, konstruksi bambu, konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus dilaksanakan dengan menggunakan SNI dan/atau standar teknis terkait. (5) Struktur bawah bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pondasi langsung dan pondasi dalam. (6) Pondasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus direncanakan sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan gedung tidak mengalami penurunan yang melampaui batas. (7) Pondasi dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya dukung yang terletak cukup jauh di bawah permukaan tanah sehingga pengguna pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi. (8) Keselamatan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu penentuan tingkat keandalan struktur bangunan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan berkala oleh tenaga ahli yang bersertifikat sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. (9) Keruntuhan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu kondisi yang harus dihindari dengan cara melakukan pemeriksaan berkala tingkat keandalan bangunan gedung sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. 22 (10) Persyaratan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan lingkungan dan pengguna bangunan gedung serta sesuai dengan SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 46 (1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran meliputi sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif, persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran, persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah ke luar dan sistem peringatan bahaya, persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung, persyaratan instalasi bahan bakar gas dan manajemen penanggulangan kebakaran. (2) Setiap bangunan gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana harus dilindungi dari bahaya kebakaran dengan sistem proteksi aktif yang meliputi sistem pemadam kebakaran, sistem deteksi dan alarm kebakaran, sistem pengendali asap kebakaran dan pusat pengendali kebakaran. (3) Setiap bangunan gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana harus dilindungi dari bahaya kebakaran dengan sistem proteksi pasif dengan mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. (4) Persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran meliputi perencanaan akses bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran dan perencanaan dan pemasangan jalan keluar untuk penyelamatan sesuai dengan SNI dan/atau standar teknis terkait. (5) Persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah ke luar dan sistem peringatan bahaya dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pengguna gedung dalam keadaaan darurat untuk menyelamatkan diri sesuai dengan SNI dan/atau standar teknis terkait. (6) Persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung sebagai penyediaan sistem komunikasi untuk keperluan internal maupun untuk hubungan ke luar pada saat terjadi kebakaran atau kondisi lainnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Telekomunikasi . (7) Persyaratan instalasi bahan bakar gas meliputi jenis bahan bakar gas dan instalasi gas yang dipergunakan baik dalam jaringan gas kota maupun gas tabung mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. (8) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai dan/atau jumlah penghuni tertentu harus mempunyai unit manajemen proteksi kebakaran bangunan gedung. Pasal 47 (1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya petir dan bahaya kelistrikan meliputi persyaratan instalasi proteksi petir dan persyaratan sistem kelistrikan. (2) Persyaratan instalasi proteksi petir harus memperhatikan perencanaan sistem proteksi petir, instalasi proteksi petir, pemeriksaan dan pemeliharaan serta memenuhi SNI dan/atau standar teknis terkait. (3) Persyaratan sistem kelistrikan harus memperhatikan perencanaan instalasi listrik, jaringan distribusi listrik, beban listrik, sumber daya listrik, transformator distribusi, pemeriksaan, pengujian dan pemeliharaan dan memenuhi SNI dan/atau standar teknis terkait. 23 Paragraf 7 Persyaratan Kesehatan Bangunan Gedung Pasal 48 Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan bangunan. Pasal 49 (1) Sistem penghawaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat berupa ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya. (2) Bangunan gedung tempat tinggal dan bangunan gedung untuk pelayanan umum harus mempunyai bukaan permanen atau yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami dan kisi-kisi pada pintu dan jendela. (3) Persyaratan teknis sistem dan kebutuhan ventilasi harus mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 50 (1) Sistem pencahayaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat berupa sistem pencahayaan alami dan/atau buatan dan/atau pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya. (2) Bangunan gedung tempat tinggal dan bangunan gedung untuk pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami yang optimal disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi tiap-tiap ruangan dalam bangunan gedung. (3) Sistem pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. mempunyai tingkat iluminasi yang disyaratkan sesuai fungsi ruang dalam dan tidak menimbulkan efek silau/ pantulan; b. sistem pencahayaan darurat hanya dipakai pada bangunan gedung fungsi tertentu, dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi; c. harus dilengkapi dengan pengendali manual/otomatis dan ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/ dibaca oleh pengguna ruangan. (4) Persyaratan teknis sistem pencahayaan harus mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 51 (1) Sistem sanitasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dapat berupa sistem air minum dalam bangunan gedung, sistem pengolahan dan pembuangan air limbah/kotor, persyaratan instalasi gas medik, persyaratan penyaluran air hujan, persyaratan fasilitasi sanitasi dalam bangunan gedung (saluran pembuangan air kotor, tempat sampah, penampungan sampah dan/atau pengolahan sampah). (2) Sistem air minum dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus direncanakan dengan mempertimbangkan sumber air minum, kualitas air bersih, sistem distribusi dan penampungannya. 24 (3) Persyaratan air minum dalam bangunan gedung harus mengikuti peraturan perundang-undangan terkait. Pasal 52 (1) Sistem pengolahan dan pembuangan air limbah/kotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang dibutuhkan dan sistem pengolahan dan pembuangannya. (2) Air limbah beracun dan berbahaya tidak boleh digabung dengan air limbah rumah tangga, yang sebelum dibuang ke saluran terbuka harus diproses sesuai dengan pedoman dan standar teknis terkait. (3) Persyaratan teknis sistem air limbah harus mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 53 (1) Persyaratan instalasi gas medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 wajib diberlakukan di fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas hiperbank, klinik bersalin dan fasilitas kesehatan lainnya. (2) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem perpipaan gas medik dan sistem vacum gas medik harus dipertimbangkan pada saat perancangan, pemasangan, pengujian, pengoperasian dan pemeliharaannya. (3) Persyaratan instansi gas medik harus mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 54 (1) Sistem air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah dan ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota. (2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan baik dengan sistem peresapan air ke dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke dalam sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase lingkungan. (3) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran. (4) Persyaratan penyaluran air hujan harus mengikuti ketentuan SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 55 (1) Sistem pembuangan kotoran, dan sampah dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya. (2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan tempat penampungan kotoran dan sampah pada bangunan gedung dengan memperhitungkan fungsi bangunan, jumlah penghuni dan volume kotoran dan sampah. 25 (3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat dan lingkungannya. (4) Pengembang perumahan wajib menyediakan wadah sampah, alat pengumpul dan tempat pembuangan sampah sementara, sedangkan pengangkatan dan pembuangan akhir dapat bergabung dengan sistem yang sudah ada. (5) Potensi reduksi sampah dapat dilakukan dengan mendaur ulang dan/atau memanfaatkan kembali sampah bekas. (6) Sampah beracun dan sampah rumah sakit, laboratorium dan pelayanan medis harus dibakar dengan insinerator yang tidak menggangu lingkungan. Pasal 56 (1) Bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan serta penggunannya dapat menunjang pelestarian lingkungan. (2) Bahan bangunan yang aman bagi kesehatan dan tidak menimbulkan dampak penting harus memenuhi kriteria: a. tidak mengandung bahan berbahaya/beracun bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan lingkungan sekitar; b. tidak menimbulkan efek silau bagi pengguna, masyarakat dan lingkungan sekitarnya; c. tidak menimbulkan efek peningkatan temperatur; d. sesuai dengan prinsip konservasi; dan e. ramah lingkungan. Paragraf 8 Persyaratan Kenyamanan Bangunan Gedung Pasal 57 Persyaratan kenyamanan bangunan gedung meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kenyamanan kondisi udara dalam ruang, kenyamanan pandangan, serta kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan. Pasal 58 (1) Kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari dimensi ruang dan tata letak ruang serta sirkulasi antarruang yang memberikan kenyamanan bergerak dalam ruangan. (2) Kenyamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/ furnitur, aksesibilitas ruang dan persyaratan keselamatan dan kesehatan. Pasal 59 (1) Persyaratan kenyamanan kondisi udara di dalam ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh 26 dari temperatur dan kelembaban di dalam ruang untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung. (2) Persyaratan kenyamanan kondisi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti ketentuan SNI dan/atau standar teknis terkait. Pasal 60 (1) Persyaratan kenyamanan pandangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 merupakan kondisi dari hak pribadi pengguna yang di dalam melaksanakan kegiatannya di dalam gedung tidak terganggu bangunan gedung lain di sekitarnya. (2) Persyaratan kenyamanan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan, ke luar bangunan, dan dari luar ke ruang-ruang tertentu dalam bangunan gedung. (3) Persyaratan kenyamanan pandangan dari dalam ke luar bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan: a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan dan rancangan bentuk luar bangunan; b. pemanfaatan potensi ruang luar bangunan gedung dan penyediaan RTH. (4) Persyaratan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan: a. rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan dan rancangan bentuk luar bangunan; b. keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitar bangunan gedung dan penyediaan RTH. c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar. (5) Untuk kenyamanan pandangan pada bangunan gedung harus dipenuhi persyaratan standar teknis kenyamanan pandangan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). Pasal 61 (1) Kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh satu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/atau kebisingan yang timbul dari dalam bangunan gedung maupun lingkungannya. (2) Untuk mendapatkan kenyamanan dari getaran dan kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan dan/atau sumber getar dan sumber bising lainnya yang berada di dalam maupun di luar bangunan gedung. (3) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran dan kebisingan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mengikuti persyaratan teknis, yaitu standar tata cara perencanaan kenyamanan terhadap getaran dan kebisingan pada bangunan gedung. Paragraf 9 Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung Pasal 62 27 Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung serta kelengkapan sarana dan prasarana dalam pemanfaatan bangunan gedung. Pasal 63 (1) Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman termasuk penyandang cacat dan lanjut usia. (2) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal dan vertikal antarruang dalam bangunan gedung, akses evakuasi termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. (3) Bangunan gedung umum yang fungsinya untuk kepentingan publik, harus menyediakan fasilitas dan kelengkapan sarana hubungan vertikal bagi semua orang termasuk manusia berkebutuhan khusus. (4) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai dalam jumlah, ukuran dan jenis pintu, arah bukaan pintu yang dipertimbangkan berdasarkan besaran ruangan, fungsi ruangan dan jumlah pengguna bangunan gedung. (5) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang dan jumlah pengguna. (6) Kelengkapan sarana dan prasarana harus disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan persyaratan lingkungan bangunan gedung. Pasal 64 (1) Setiap bangunan bertingkat harus menyediakan sarana hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung berupa tangga, ram, lif, tangga berjalan (eskalator) atau lantai berjalan (travelator). (2) Jumlah, ukuran dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan gedung, luas bangunan dan jumlah pengguna ruang serta keselamatan pengguna bangunan gedung. (3) Bangunan gedung dengan ketinggian di atas 5 (lima) lantai harus menyediakan lif penumpang. (4) Setiap bangunan gedung yang memiliki lif penumpang harus menyediakan lif khusus kebakaran, atau lif penumpang yang dapat difungsikan sebagai lif kebakaran yang dimulai dari lantai dasar bangunan gedung. (5) Persyaratan kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti SNI dan/atau standar teknis terkait. Paragraf 10 Pembangunan Bangunan Gedung di Atas atau di Bawah Tanah, Air atau Prasarana/Sarana Umum, dan pada Daerah Hantaran Udara Listrik Tegangan Tinggi/Ekstra Tinggi/Ultra Tinggi dan/atau Menara Telekomunikasi dan/atau Menara Air Pasal 65 28 (1) Pembangunan bangunan gedung di atas prasarana dan/atau sarana umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sesuai dengan RTRW dan/atau RDTR dan/atau RTBL; b. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya; c. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap lingkungannya; dan d. mempertimbangkan pendapat Tim Ahli Bangunan Gedung dan pendapat masyarakat. (2) Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah yang melintasi prasarana dan/atau sarana umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sesuai dengan RTRW dan/atau RDTR dan/atau RTBL; b. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal; c. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawah tanah; d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan; dan e. mempertimbangkan pendapat Tim Ahli Bangunan Gedung dan pendapat masyarakat. (3) Pembangunan bangunan gedung di bawah dan/atau di atas air harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sesuai dengan RTRW dan/atau RDTR dan/atau RTBL; b. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi lindung kawasan; c. tidak menimbulkan pencemaran; d. telah mempertimbangkan faktor keselamatan, kenyamanan, kesehatan dan kemudahan bagi pengguna bangunan, dan e. mempertimbangkan pendapat Tim Ahli Bangunan Gedung dan pendapat masyarakat. (4) Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran udara listrik tegangan tinggi/ekstra tinggi/ultra tinggi dan/atau menara telekomunikasi dan/atau menara air harus memenuhi persyaratan peraturan perundang, SNI dan/atau standar teknis terkait. Bagian Keempat Bangunan Gedung Adat Paragraf 1 Umum Pasal 66 (1) Bangunan gedung adat harus dibangun berdasarkan kaidah hukum adat atau tradisi masyarakat hukum adat sesuai dengan budaya dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat hukum adatnya. (2) Pemerintah Daerah dapat menetapkan persyaratan administratif dan persyaratan teknis tersendiri untuk bangunan rumah adat dalam Peraturan Bupati. Paragraf 2 Kearifan Lokal 29 Pasal 67 Penyelenggaraan bangunan rumah adat selain memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 harus memperhatikan kearifan lokal dan sistem nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat hukum adatnya. Paragraf 3 Kaidah Tradisional Pasal 68 (1) Di dalam penyelenggaraan bangunan rumah adat pemilik bangunan gedung harus memperhatikan kaidah dan norma tradisional yang berlaku di lingkungan masyarakat hukum adatnya. (2) Kaidah dan norma tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek perencanaan, pembangunan, pemanfaatan gedung atau bagian dari bangunan gedung, arah/orientasi bangunan gedung, aksesoris pada bangunan gedung dan aspek larangan dan/atau aspek ritual pada penyelenggaraan bangunan gedung rumah adat. Paragraf 4 Pemanfaatan Simbol Tradisional pada Bangunan Gedung Baru Pasal 69 (1) Perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga swasta atau lembaga pemerintah dapat menggunakan simbol atau unsur tradisional yang terdapat pada bangunan gedung adat untuk digunakan pada bangunan gedung yang akan dibangun atau direhabilitasi atau direnovasi. (2) Penggunaan simbol atau unsur tradisional yang terdapat pada bangunan gedung adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap sesuai dengan makna simbol tradisional yang digunakan dan sistem nilai yang berlaku pada pemanfaatan bangunan gedung. (3) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan simbol atau unsur tradisional pada bangunan gedung diatur dalam Peraturan Bupati. Paragraf 5 Persyaratan Bangunan Gedung Adat/Tradisional Pasal 70 (1) Setiap rumah adat atau tradisional dibangun dengan mengikuti persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (2) Persyaratan lain yang bersifat khusus yang berlaku di lingkungan masyarakat hukum adatnya dapat melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Persyaratan bangunan gedung adat/tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. (4) Pemerintah Daerah dapat menetapkan persyaratan administratif dan persyaratan teknis tersendiri untuk bangunan rumah adat di dalam Peraturan Bupati. 30 Bagian Kelima Bangunan Gedung Semi Permanen dan Bangunan Gedung Darurat Paragraf 1 Bangunan Gedung Semi Permanen dan Darurat Pasal 71 (1) Bangunan gedung semi permanen dan darurat merupakan bangunan gedung yang digunakan untuk fungsi yang ditetapkan dengan konstruksi semi permanen dan darurat yang dapat ditingkatkan menjadi permanen. (2) Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap dapat menjamin keamanan, keselamatan, kemudahan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya. (3) Tata cara penyelenggaraan bangunan gedung semi permanen dan darurat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Bagian Keenam Bangunan Gedung di Lokasi Yang Berpotensi Bencana Alam Paragraf 1 Di Lokasi Pantai Pasal 72 (1) Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana yang berasal dari laut harus sesuai dengan peraturan zonasi untuk kawasan rawan gelombang pasang. (2) Dalam hal peraturan zonasi untuk kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam RTRW, RDTR dan/atau RDTR. (3) Pemerintah Daerah dapat menetapkan suatu lokasi sebagai daerah bencana dan menetapkan larangan membangun pada batas tertentu atau tak terbatas dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan demi kepentingan umum. (4) Pemerintah Daerah dapat menetapkan persyaratan khusus tata cara pembangunan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana yang berasal dari laut apabila daerah tersebut dinilai membahayakan. Paragraf 2 Di Lokasi Bencana Alam Geologi Pasal 73 (1) Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana geologi harus sesuai dengan Peta Hazard Gempa Indonesia dan Peta Rawan Bencana Kabupaten Takalar. (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana geologi memperhatikan peraturan zonasi untuk kawasan bencana alam geologi. 31 (3) Dalam hal peraturan zonasi untuk kawasan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam RTRW, RDTR dan/atau RDTR. Pasal 74 Tata cara dan persyaratan penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 72, dan Pasal 73, diatur dalam Peraturan Bupati tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyelenggaraan Bangunan Gedung di Lokasi yang Berpotensi Bencana Alam. BAB IV PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu Umum Pasal 75 (1) Penyelenggaraan bangunan gedung terdiri atas kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. (2) Kegiatan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui proses perencanaan teknis dan proses pelaksanaan konstruksi. (3) Kegiatan pemanfaatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala, perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi, dan pengawasan pemanfaatan bangunan gedung. (4) Kegiatan pelestarian bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan penetapan dan pemanfaatan termasuk perawatan dan pemugaran serta kegiatan pengawasannya. (5) Kegiatan pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan pembongkaran dan pelaksanaan pembongkaran serta pengawasan pembongkaran. (6) Di dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting bagi lingkungan. (7) Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh perorangan atau penyedia jasa di bidang penyelenggaraan gedung. Bagian Kedua Kegiatan Pembangunan Paragraf 1 Umum Pasal 76 32 Kegiatan pembangunan bangunan gedung dapat diselenggarakan secara swakelola atau menggunakan penyedia jasa di bidang perencanaan, pelaksanaan dan/atau pengawasan. Pasal 77 (1) Penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung secara swakelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 menggunakan gambar rencana teknis sederhana atau gambar rencana prototip. (2) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan teknis kepada pemilik bangunan gedung dengan penyediaan rencana teknik sederhana atau gambar prototip. (3) Pengawasan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kelaikan fungsi bangunan gedung. Paragraf 2 Perencanaan Teknis Pasal 78 (1) Setiap kegiatan mendirikan, mengubah, menambah dan membongkar bangunan gedung harus berdasarkan pada perencanaan teknis yang dirancang oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang mempunyai sertifikasi kompetensi di bidangnya sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perencanan teknis untuk bangunan gedung hunian tunggal sederhana, bangunan gedung hunian deret sederhana, dan bangunan gedung darurat. (3) Pemerintah Daerah dapat menetapkan jenis bangunan gedung lainnya yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur di dalam Peraturan Bupati. (4) Perencanaan bangunan gedung dilakukan berdasarkan kerangka acuan kerja dan dokumen ikatan kerja dengan penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang memiliki sertifikasi sesuai dengan bidangnya. (5) Perencanaan teknis bangunan gedung harus disusun dalam suatu dokumen rencana teknis bangunan gedung. Paragraf 3 Dokumen Rencana Teknis Pasal 79 (1) Dokumen rencana teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (5) dapat meliputi: a. gambar rencana teknis berupa: rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal/ elektrikal; b. gambar detail; c. syarat-syarat umum dan syarat teknis; d. rencana anggaran biaya pembangunan; e. laporan perencanaan. 33 (2) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa, dinilai, disetujui dan disahkan sebagai dasar untuk pemberian IMB dengan mempertimbangkan kelengkapan dokumen sesuai dengan fungsi dan klasifkasi bangunan gedung, persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. (3) Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung untuk bangunan gedung yang digunakan bagi kepentingan umum; b. pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung dan memperhatikan pendapat masyarakat untuk bangunan gedung yang akan menimbulkan dampak penting; c. koordinasi dengan Pemerintah Daerah, dan mendapatkan pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung serta memperhatikan pendapat masyarakat untuk bangunan gedung yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. (4) Persetujuan dan pengesahan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang. (5) Dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan dikenakan biaya retribusi IMB yang besarnya ditetapkan berdasarkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung. (6) Berdasarkan pembayaran retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Bupati menerbitkan IMB. Paragraf 4 Pengaturan Retribusi IMB Pasal 80 Pengaturan retribusi IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (6) meliputi: a. jenis kegiatan dan objek yang dikenakan retribusi; b. penghitungan besarnya retribusi IMB; c. indeks penghitungan besarnya retribusi IMB; d. harga satuan (tarif) retribusi IMB. Pasal 81 (1) Jenis kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung yang dikenakan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a meliputi: a. pembangunan baru; b. rehabilitasi/renovasi (perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan/ pengurangan); dan c. pelestarian/pemugaran. (2) Objek retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a meliputi biaya penyelenggaraan IMB yang terdiri atas pengecekan, pengukuran lokasi, pemetaan, pemeriksaan dan penatausahaan pada bangunan gedung dan prasarana bangunan gedung. Pasal 82 34 (1) Penghitungan besarnya IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf b meliputi: a. komponen retribusi dan biaya; b. besarnya retribusi; c. tingkat penggunaan jasa. (2) Komponen retribusi dan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. retribusi pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung; b. retribusi administrasi IMB; c. retribusi penyediaan formulir permohonan IMB. (3) Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung dengan penetapan berdasarkan: a. lingkup butir komponen retribusi sesuai dengan permohonan yang diajukan; b. lingkup kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81; c. volume/besaran, indeks, harga satuan retribusi untuk bangunan gedung dan/atau prasarananya. (4) Tingkat penggunaan jasa atas pemberian layanan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menggunakan indeks berdasarkan fungsi, klasifikasi dan waktu penggunaan bangunan gedung serta indeks untuk prasarana gedung sebagai tingkat intensitas penggunaan jasa dalam proses perizinan dan sesuai dengan cakupan kegiatannya. Pasal 83 (1) Indeks penghitungan besarnya retribusi IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf c mencakup: a. penetapan indeks penggunaan jasa sebagai faktor pengali terhadap harga satuan retribusi untuk mendapatan besarnya retribusi; b. skala indeks; c. kode. (2) Penetapan indeks penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. indeks untuk penghitungan besarnya retribusi bangunan gedung berdasarkan fungsi, klasifikasi setiap bangunan gedung dengan mempertimbangkan spesifikasi bangunan gedung; b. indeks untuk penghitungan besarnya retribusi prasarana bangunan gedung ditetapkan untuk setiap jenis prasarana bangunan gedung; c. kode dan indeks penghitungan retribusi IMB untuk bangunan gedung dan prasarana bangunan gedung. Pasal 84 (1) Harga satuan (tarif) retribusi IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf d mencakup: a. harga satuan bangunan gedung; b. harga satuan prasarana bangunan gedung. (2) Harga satuan (tarif) retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati sesuai dengan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat dan pertimbangan lainnya. 35 (3) Harga satuan (tarif) IMB bangunan gedung dinyatakan per satuan luas (m2) lantai bangunan. (4) Harga satuan bangunan gedung ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a. luas bangunan gedung dihitung dari garis sumbu (as) dinding/kolom; b. luas teras, balkon dan selasar luar bangunan gedung dihitung setengah dari luas yang dibatasi oleh sumbu-sumbunya; c. luas bagian bangunan gedung seperti canopy dan pergola (yang berkolom) dihitung setengah dari luas yang dibatasi oleh garis sumbusumbunya; d. luas bagian bangunan gedung seperti canopy dan pergola (tanpa kolom) dihitung setengah dari luas yang dibatasi oleh garis tepi atap konstruksi tersebut; e. luas overstek/luifel dihitung dari luas yang dibatasi oleh garis tepi konstruksi tersebut. (5) Harga satuan prasarana bangunan gedung dinyatakan per satuan volume prasarana berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a. konstruksi pembatas/pengaman/penahan per m2; b. konstruksi penanda masuk lokasi per m2 atau unit standar; c. konstruksi perkerasan per m2; d. konstruksi penghubung per m2 atau unit standar; e. konstruksi kolam/reservoir bawah tanah per m2; f. konstruksi menara per unit standar dan pertambahannya; g. konstruksi monumen per unit standar dan pertambahannya; h. konstruksi instalasi/gardu per m2; i. konstruksi reklame per unit standar dan pertambahannya, dan j. konstruksi bangunan lainnya yang termasuk prasarana bangunan gedung. Pasal 85 Penghitungan besarnya IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung. Paragraf 5 Tata Cara Penerbitan IMB Pasal 86 (1) Permohonan IMB disampaikan kepada Bupati dengan dilampiri persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. surat bukti tentang status hak atas tanah; b. surat bukti tentang status kepemilikan bangunan gedung; c. dokumen/surat terkait. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. data umum bangunan gedung, dan 36 b. rencana teknis bangunan gedung. (4) Data umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berisi informasi mengenai: a. fungsi dan klasifikasi bangunan gedung; b. luas lantai dasar bangunan gedung; c. total luas lantai bangunan gedung; d. ketinggian/jumlah lantai bangunan gedung; e. rencana pelaksanaan. (5) Rencana teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari: a. Rencana teknis bangunan gedung pada umumnya, meliputi: 1. bangunan hunian rumah tinggal tunggal sederhana (rumah inti tumbuh, rumah sederhana sehat, rumah deret sederhana); 2. bangunan hunian rumah tinggal tunggal dan rumah deret sampai dengan 2 lantai; 3. bangunan hunian rumah tinggal tunggal tidak sederhana atau 2 lantai atau lebih dan gedung lainnya pada umumnya. b. Rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum. c. Rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus. d. Rencana teknis bangunan gedung bangunan diplomatik. Pasal 87 (1) Bupati memeriksa dan menilai syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 serta status/keadaan tanah dan/atau bangunan untuk dijadikan sebagai bahan persetujuan pemberian IMB. (2) Bupati menetapkan retribusi IMB berdasarkan bahan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemeriksaan dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima permohonan IMB. (4) Pemeriksaan dan penilaian permohonan IMB untuk bangunan gedung yang memerlukan pengelolaan khusus atau mempunyai tingkat kompleksitas yang dapat menimbulkan dampak kepada masyarakat dan lingkungan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima permohonan IMB. (5) Berdasarkan penetapan retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon IMB melakukan pembayaran retribusi IMB ke kas daerah dan menyerakan tanda bukti pembayarannya kepada Bupati. (6) Bupati dan/atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati menerbitkan IMB paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya bukti pembayaran retribusi IMB oleh Bupati. (7) Ketentuan mengenai IMB berlaku pula untuk rumah adat kecuali ditetapkan lain oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar dengan mempertimbangkan faktor nilai tradisional dan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat hukum adatnya. Pasal 88 37 (1) Sebelum memberikan persetujuan atas persyaratan administrasi dan persyaratan teknis, Bupati dapat meminta pemohon IMB untuk menyempurnakan dan/atau melengkapi persyaratan yang diajukan. (2) Bupati dapat menyetujui, menunda, atau menolak permohonan IMB yang diajukan oleh pemohon. Pasal 89 (1) Bupati dapat menunda menerbitkan IMB apabila: a. Bupati masih memerlukan waktu tambahan untuk menilai, khususnya persyaratan bangunan serta pertimbangan nilai lingkungan yang direncanakan; b. Bupati sedang merencanakan rencana bagian kota atau rencana terperinci kota. (2) Penundaan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali untuk jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan terhitung sejak penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bupati dapat menolak permohonan IMB apabila bangunan gedung yang akan dibangun: a. Tidak memenuhi persyaratan administratif dan teknis; b. Penggunaan tanah yang akan didirikan bangunan gedung tidak sesuai dengan rencana kota; c. Mengganggu atau memperburuk lingkungan sekitarnya; d. Mengganggu lalu lintas, aliran air, cahaya pada bangunan sekitarnya yang telah ada, dan e. Terdapat keberatan dari masyarakat. (4) Penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan alasannya. Pasal 90 (1) Surat penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) harus sudah diterima pemohon dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah surat penolakan dikeluarkan Bupati. (2) Pemohon dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan kepada Bupati. (3) Bupati dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan jawaban tertulis terhadap keberatan pemohon. (4) Jika pemohon tidak melakukan hak sebagaimana maksud pada ayat (2) pemohon dianggap menerima surat penolakan tersebut. (5) Jika Bupati tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati dianggap menerima alasan keberatan pemohon sehingga Bupati harus menerbitkan IMB. (6) Pemohon dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila Bupati tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 91 38 (1) Bupati dapat mencabut IMB apabila: a. Pekerjaan bangunan gedung yang sedang dikerjakan terhenti selama 3 (tiga) bulan dan tidak dilanjutkan lagi berdasarkan pernyataan dari pemilik bangunan. b. IMB diberikan berdasarkan data dan informasi yang tidak benar. c. Pelaksanaan pembangunan menyimpang dari dokumen rencana teknis yang telah disahkan dan/atau persyaratan yang tercantum dalam izin. (2) Sebelum pencabutan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemegang IMB diberikan peringatan secara tertulis 3 (tiga) kali berturutturut dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dan diberikan kesempatan untuk mengajukan tanggapannya. (3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperhatikan dan ditanggapi dan/atau tanggapannya tidak dapat diterima, Bupati dapat mencabut IMB bersangkutan. (4) Pencabutan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam bentuk surat keputusan Bupati yang memuat alasan pencabutannya. Pasal 92 (1) IMB tidak diperlukan untuk pekerjaan tersebut di bawah ini: a. Memperbaiki bangunan gedung dengan tidak mengubah bentuk dan luas, serta menggunakan jenis bahan semula antara lain: 1. Memlester; 2. Memperbaiki retak bangunan; 3. Memperbaiki daun pintu dan/atau daun jendela; 4. Memperbaiki penutup udara tidak melebihi 1 m2; 5. Membuat pemindah halaman tanpa konstruksi; 6. Memperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan utilitas; 7. Mengubah bangunan sementara. b. Memperbaiki saluran air hujan dan selokan dalam pekarangan bangunan; c. Membuat bangunan yang sifatnya sementara bagi kepentingan pemeliharaan ternak dengan luas tidak melebihi garis sempadan belakang dan samping serta tidak mengganggu kepentingan orang lain atau umum; d. Membuat pagar halaman yang sifatnya sementara (tidak permanen) yang tingginya tidak melebihi 120 (seratus dua puluh) centimeter kecuali adanya pagar ini mengganggu kepentingan orang lain atau umum. e. Membuat bangunan yang sifat penggunaannya sementara waktu. (2) Pekerjaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dipersyaratkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84. (3) Tata cara mengenai perizinan bangunan gedung diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Paragraf 6 Penyedia Jasa Perencanaan Teknis Pasal 93 39 (1) Perencanaan teknis bangunan gedung dirancang oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang mempunyai sertifikasi kompetensi di bidangnya sesuai dengan klasifikasinya. (2) Penyedia jasa perencana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Perencana arsitektur; b. Perencana stuktur; c. Perencana mekanikal; d. Perencana elektrikal; e. Perencana pemipaan (plumber); f. Perencana proteksi kebakaran; g. Perencana tata lingkungan. (3) Pemerintah Daerah dapat menetapkan jenis bangunan gedung yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur dalam Peraturan Bupati. (4) Lingkup layanan jasa perencanaan teknis bangunan gedung meliputi: a. penyusunan konsep perencanaan; b. prarencana; c. pengembangan rencana; d. rencana detail; e. pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi; f. pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan; g. pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi bangunan gedung, dan h. penyusunan petunjuk pemanfaatan bangunan gedung. (5) Perencanaan teknis bangunan gedung harus disusun dalam suatu dokumen rencana teknis bangunan gedung. Bagian Ketiga Pelaksanaan Konstruksi Paragraf 1 Pelaksanaan Konstruksi Pasal 94 (1) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, penambahan, perubahan dan/atau pemugaran bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung. (2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh IMB dan dilaksanakan berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disahkan. (3) Pelaksana bangunan gedung adalah orang atau badan hukum yang telah memenuhi syarat menurut peraturan perundang-undangan kecuali ditetapkan lain oleh Pemerintah Daerah. (4) Dalam melaksanakan pekerjaan, pelaksana bangunan diwajibkan mengikuti semua ketentuan dan syarat-syarat pembangunan yang ditetapkan dalam IMB. Pasal 95 40 Untuk memulai pembangunan, pemilik IMB wajib mengisi lembaran permohonan pelaksanaan bangunan, yang berisikan keterangan mengenai: a. Nama dan Alamat; b. Nomor IMB; c. Lokasi Bangunan; d. Pelaksana atau Penanggung jawab pembangunan. Pasal 96 (1) Pelaksanaan konstruksi didasarkan pada dokumen rencana teknis yang sesuai dengan IMB. (2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembangunan bangunan gedung baru, perbaikan, penambahan, perubahan dan/atau pemugaran bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung. Pasal 97 (1) Kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 terdiri atas kegiatan pemeriksaan dokumen pelaksanaan oleh Pemerintah Daerah, kegiatan persiapan lapangan, kegiatan konstruksi, kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi dan kegiatan penyerahan hasil akhir pekerjaan. (2) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan kelengkapan, kebenaran dan keterlaksanaan konstruksi dan semua pelaksanaan pekerjaan. (3) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi sumber daya dan penyiapan fisik lapangan. (4) Kegiatan konstruksi meliputi kegiatan pelaksanaan konstruksi di lapangan, pembuatan laporan kemajuan pekerjaan, penyusunan gambar kerja pelaksanaan (shop drawings) dan gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang telah dilaksanakan (as built drawings) serta kegiatan masa pemeliharaan konstruksi . (5) Kegiatan pemeriksaaan akhir pekerjaan konstruksi meliputi pemeriksaan hasil akhir pekerjaaan konstruksi bangunan gedung terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan yang berwujud bangunan gedung yang laik fungsi dan dilengkapi dengan dokumen pelaksanaan konstruksi, gambar pelaksanaan pekerjaan (as built drawings), pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung, peralatan serta perlengkapan mekanikal dan elektrikal serta dokumen penyerahan hasil pekerjaan. (6) Berdasarkan hasil pemeriksaan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilik bangunan gedung atau penyedia jasa/pengembang mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Laik Fungsi bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah. Paragraf 2 Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Pasal 98 41 (1) Pelaksanaan konstruksi wajib diawasi oleh petugas pengawas pelaksanaan konstruksi. (2) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi pemeriksaan kesesuaian fungsi, persyaratan tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan, dan IMB. Pasal 99 Petugas pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 berwenang: (1) Memasuki dan mengadakan pemeriksaan di tempat pelaksanaan konstruksi setelah menunjukkan tanda pengenal dan surat tugas. (2) Menggunakan acuan peraturan umum bahan bangunan, rencana kerja syarat-syarat dan IMB. (3) Memerintahkan untuk menyingkirkan bahan bangunan dan bangunan yang tidak memenuhi syarat, yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan umum. (4) Menghentikan pelaksanaan konstruksi, dan melaporkan kepada instansi yang berwenang. Paragraf 4 Pemeriksaan Kelaikan Fungsi Bangunan Gedung Pasal 100 (1) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan setelah bangunan gedung selesai dilaksanakan oleh pelaksana konstruksi sebelum diserahkan kepada pemilik bangunan gedung. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ada ayat (1) dapat dilakukan oleh pemilik/pengguna bangunan gedung atau penyedia jasa atau Pemerintah Daerah. Pasal 101 (1) Pemilik/pengguna bangunan yang memiliki unit teknis dengan SDM yang memiliki sertifikat keahlian dapat melakukan pemeriksaan berkala dalam rangka pemeliharaan dan perawatan. (2) Pemilik/pengguna bangunan dapat melakukan ikatan kontrak dengan pengelola berbentuk badan usaha yang memiliki unit teknis dengan SDM yang bersertifikat keahlian pemeriksaan berkala dalam rangka pemeliharaan dan parawatan bangunan gedung. (3) Pemilik perorangan bangunan gedung dapat melakukan pemeriksaan sendiri secara berkala selama yang bersangkutan memiliki sertifikat keahlian. Pasal 102 (1) Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung untuk proses penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana, bangunan gedung lainnya atau bangunan gedung tertentu dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi yang memiliki sertifikat keahlian. 42 (2) Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung untuk proses penerbitan SLF bangunan gedung fungsi khusus dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi yang memiliki sertifikat dan tim internal yang memiliki sertifikat keahlian dengan memperhatikan pengaturan internal dan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang fungsi khusus tersebut. (3) Pengkajian teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung untuk proses penerbitan SLF bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana, bangunan gedung lainnya pada umumnya dan bangunan gedung tertentu untuk kepentingan umum dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis konstruksi bangunan gedung yang memiliki sertifikat keahlian. (4) Pelaksanaan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung untuk proses penerbitan SLF bangunan gedung fungsi khusus dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis konstruksi bangunan gedung yang memiliki sertifikat keahlian dan tim internal yang memiliki sertifikat keahlian dengan memperhatikan pengaturan internal dan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang fungsi dimaksud. (5) Hubungan kerja antara pemilik/ pengguna bangunan gedung dan penyedia jasa pengawasan/ manajemen konstruksi atau penyedia jasa pengkajian teknis konstruksi bangunan gedung dilaksanakan berdasarkan ikatan kontrak. Pasal 103 (1) Pemerintah Daerah khususnya instansi teknis pembina penyelenggaraan bangunan gedung dalam proses penerbitan SLF bangunan gedung, melaksanakan pengkajian teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal termasuk rumah tinggal tunggal sederhana dan rumah deret dan pemeriksaan berkala bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal dan rumah deret. (2) Dalam hal di instansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud ada ayat (1) tidak terdapat tenaga teknis yang cukup, Pemerintah Daerah dapat menugaskan penyedia jasa pengkajian teknis kontruksi bangunan gedung untuk melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana dan rumah tinggal deret sederhana. (3) Dalam hal penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, instansi teknis pembina penyelenggara bangunan gedung dapat bekerja sama dengan asosiasi profesi di bidang bangunan gedung untuk melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung. Paragraf 5 Tata Cara Penerbitan SLF Bangunan Gedung Pasal 104 (1) Penerbitan SLF bangunan gedung dilakukan atas dasar permintaan pemilik/pengguna bangunan gedung untuk bangunan gedung yang telah selesai pelaksanaan konstruksinya atau untuk perpanjangan SLF bangunan gedung yang telah pernah memperoleh SLF. 43 (2) SLF bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mengikuti prinsip pelayanan prima dan tanpa pungutan biaya. (3) SLF bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah terpenuhinya persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. (4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Pada proses pertama kali SLF bangunan gedung: 1. kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen status hak atas tanah; 2. kesesuaian data aktual dengan data dalam IMB dan/atau dokumen status kepemilikan bangunan gedung; 3. kepemilikan dokumen IMB. b. Pada proses perpanjangan SLF bangunan gedung: 1. kesesuaian data aktual dan/atau adanya perubahan dalam dokumen status kepemilikan bangunan gedung; 2. kesesuaian data aktual (terakhir) dan/atau adanya perubahan dalam dokumen status kepemilikan tanah; dan 3. kesesuaian data aktual (terakhir) dan/atau adanya perubahan data dalam dokumen IMB. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Pada proses pertama kali SLF bangunan gedung: 1. kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen pelaksanaan konstruksi termasuk as built drawings, pedoman pengoperasian dan pemeliharaan/perawatan bangunan gedung, peralatan serta perlengkapan mekanikal dan elektrikal dan dokumen ikatan kerja; 2. pengujian lapangan (on site) dan/atau laboratorium untuk aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan pada struktur, peralatan dan perlengkapan bangunan gedung serta prasarana pada komponen konstruksi atau peralatan yang memerlukan data teknis akurat sesuai dengan pedoman teknis dan tata cara pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung. b. Pada proses perpanjangan SLF bangunan gedung: 1. kesesuaian data aktual dengan data dalam dokumen hasil pemeriksaan berkala, laporan pengujian struktur, peralatan dan perlengkapan bangunan gedung serta prasarana bangunan gedung, laporan hasil perbaikan dan/atau penggantian pada kegiatan perawatan, termasuk perubahan fungsi, intensitas, arsitektrur dan dampak lingkungan yang ditimbulkan; 2. pengujian lapangan (on site) dan/atau laboratorium untuk aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan pada struktur, peralatan dan perlengkapan bangunan gedung serta prasarana pada struktur, komponen konstruksi dan peralatan yang memerlukan data teknis akurat termasuk perubahan fungsi, peruntukan dan intensitas, arsitektur serta dampak lingkungan yang ditimbulkannya, sesuai dengan pedoman teknis dan tata cara pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung. (6) Data hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat dalam daftar simak, disimpulkan dalam surat pernyataan pemeriksaan kelaikan 44 fungsi bangunan gedung atau rekomendasi pada pemeriksaan pertama dan pemeriksaan berkala. Paragraf 6 Pendataan Bangunan Gedung Pasal 105 (1) Bupati wajib melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib administrasi pembangunan dan tertib administrasi pemanfaatan bangunan gedung. (2) Pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung baru dan bangunan gedung yang telah ada. (3) Khusus pendataan bangunan gedung baru, dilakukan bersamaan dengan proses IMB, proses SLF dan proses sertifikasi kepemilikan bangunan gedung. (4) Bupati wajib menyimpan secara tertib data bangunan gedung sebagai arsip Pemerintah Daerah. (5) Pendataan bangunan gedung fungsi khusus dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Bagian Keempat Kegiatan Pemanfaatan Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum Pasal 106 Kegiatan Pemanfaatan bangunan gedung meliputi pemanfaatan, pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala, perpanjangan SLF, dan pengawasan pemanfaatan. Pasal 107 (1) Pemanfatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam IMB setelah pemilik memperoleh SLF. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara tertib administrasi dan tertib teknis untuk menjamin kelaikan fungsi bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Paragraf 2 Pemeliharaan Pasal 108 (1) Kegiatan pemeliharaan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 meliputi pembersihan, perapian, pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan/atau penggantian bahan atau perlengkapan bangunan gedung dan/atau kegiatan sejenis lainnya berdasarkan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung. (2) Pemilik atau pengguna bangunan gedung di dalam melakukan kegiatan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan 45 penyedia jasa pemeliharaan gedung yang mempunyai sertifikat kompetensi yang sesuai berdasarkan ikatan kontrak berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan kegiatan pemeliharaan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menerapkan prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3). (4) Hasil kegiatan pemeliharaaan dituangkan ke dalam laporan pemeliharaan yang digunakan sebagai pertimbangan penetapan perpanjangan SLF. Paragraf 3 Perawatan Pasal 109 (1) Kegiatan perawatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 meliputi perbaikan dan/atau penggantian bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan rencana teknis perawatan bangunan gedung. (2) Pemilik atau pengguna bangunan gedung di dalam melakukan kegiatan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan penyedia jasa perawatan bangunan gedung bersertifikat dengan dasar ikatan kontrak berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Perbaikan dan/atau penggantian dalam kegiatan perawatan bangunan gedung dengan tingkat kerusakan sedang dan berat dilakukan setelah dokumen rencana teknis perawatan bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah. (4) Hasil kegiatan perawatan dituangkan ke dalam laporan perawatan yang akan digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan penetapan perpanjangan SLF. (5) Pelaksanaan kegiatan perawatan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menerapkan prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Paragraf 4 Pemeriksaan Berkala Pasal 110 (1) Pemeriksaan berkala bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dilakukan untuk seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau sarana dan prasarana dalam rangka pemeliharaan dan perawatan yang harus dicatat dalam laporan pemeriksaan sebagai bahan untuk memperoleh perpanjangan SLF. (2) Pemilik atau pengguna bangunan gedung di dalam melakukan kegiatan pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan penyedia jasa pengkajian teknis bangunan gedung atau perorangan yang mempunyai sertifikat kompetensi yang sesuai. (3) Lingkup layanan pemeriksaan berkala bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan dokumen administrasi, pelaksanaan, pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung; 46 b. kegiatan pemeriksaan kondisi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis termasuk pengujian keandalan bangunan gedung; c. kegiatan analisis dan evaluasi, dan d. kegiatan penyusunan laporan. (4) Bangunan rumah tinggal tunggal, bangunan rumah tinggal deret dan bangunan rumah tinggal sementara yang tidak laik fungsi, SLFnya dibekukan. Paragraf 5 Perpanjangan SLF Pasal 111 (1) Perpanjangan SLF bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 diberlakukan untuk bangunan gedung yang telah dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan: a. 20 tahun untuk rumah tinggal tunggal atau deret sampai dengan 2 lantai; b. 5 tahun untuk bangunan gedung lainnya. (2) Bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana meliputi rumah tumbuh, rumah sederhana sehat dan rumah deret sederhana tidak dikenakan perpanjangan SLF. (3) Pengurusan perpanjangan SLF bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender sebelum berkhirnya masa berlaku SLF dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pengurusan perpanjangan SLF dilakukan setelah pemilik/ pengguna/pengelola bangunan gedung memiliki hasil pemeriksaan/kelaikan fungsi bangunan gedung berupa: a. laporan pemeriksaan berkala, laporan pemeriksaan dan perawatan bangunan gedung; b. daftar simak pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung; dan c. dokumen surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung atau rekomendasi. (5) Permohonan perpanjangan SLF diajukan oleh pemilik/ pengguna/pengelola bangunan gedung dengan dilampiri dokumen: a. surat permohonan perpanjangan SLF; b. surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung atau rekomendasi hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung yang ditandatangani di atas meterai yang cukup; c. as built drawings; d. fotokopi IMB bangunan gedung atau perubahannya; e. fotokopi dokumen status hak atas tanah; f. fotokopi dokumen status kepemilikan bangunan gedung; g. rekomendasi dari instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang fungsi khusus; dan h. dokumen SLF bangunan gedung yang terakhir. (6) Pemerintah Daerah menerbitkan SLF paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 47 (7) SLF disampaikan kepada pemohon selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerbitan perpanjangan SLF. Pasal 112 Tata cara perpanjangan SLF diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Paragraf 6 Pengawasan Pemanfaatan Bangunan Gedung Pasal 113 Pengawasan pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah : a. pada saat pengajuan perpanjangan SLF; b. adanya laporan dari masyarakat, dan c. adanya indikasi perubahan fungsi dan/atau bangunan gedung yang membahayakan lingkungan. Paragraf 7 Pelestarian Pasal 114 (1) Pelestarian bangunan gedung meliputi kegiatan penetapan dan pemanfaatan, perawatan dan pemugaran, dan kegiatan pengawasannya sesuai dengan kaidah pelestarian. (2) Pelestarian bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara tertib dan menjamin kelaikan fungsi bangunan gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 8 Penetapan dan Pendaftaran Bangunan Gedung yang Dilestarikan Pasal 115 (1) Bangunan gedung dan lingkungannya dapat ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan apabila telah berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. (2) Pemilik, masyarakat, Pemerintah Daerah dapat mengusulkan bangunan gedung dan lingkungannya yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan. (3) Bangunan gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diusulkan penetapannya harus telah mendapat pertimbangan dari tim ahli pelestarian bangunan gedung dan hasil dengar pendapat masyarakat dan harus mendapat persetujuan dari pemilik bangunan gedung. (4) Bangunan gedung yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan klasifikasinya yang terdiri atas: 48 a. klasifikasi utama yaitu bangunan gedung dan lingkungannya yang bentuk fisiknya sama sekali tidak boleh diubah; b. klasifikasi madya yaitu bangunan gedung dan lingkungannya yang bentuk fisiknya dan eksteriornya sama sekali tidak boleh diubah, namun tata ruang dalamnya sebagian dapat diubah tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya; c. klasifikasi pratama yaitu bangunan gedung dan lingkungannya yang bentuk fisik aslinya boleh diubah sebagian tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya serta tidak menghilangkan bagian utama bangunan gedung tersebut. (5) Pemerintah Daerah melalui dinas terkait mencatat bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan serta keberadaan bangunan gedung dimaksud menurut klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Keputusan penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara tertulis kepada pemilik. Paragraf 9 Pemanfaatan Bangunan Gedung yang Dilestarikan Pasal 116 (1) Bangunan gedung yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) dapat dimanfaatkan oleh pemilik dan/atau pengguna dengan memperhatikan kaidah pelestarian dan klasifikasi bangunan gedung cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. (3) Bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijual atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa seizin Pemerintah Daerah. (4) Pemilik bangunan cagar budaya wajib melindungi dari kerusakan atau bahaya yang mengancam keberadaannya. (5) Pemilik bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) berhak memperoleh insentif dari Pemerintah Daerah. (6) Besarnya insentif untuk melindungi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan kebutuhan nyata. Pasal 117 (1) Pemugaran, pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala bangunan gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban APBD. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana teknis pelestarian dengan mempertimbangkan keaslian bentuk, tata letak, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, dan nilai-nilai yang dikandungnya sesuai dengan tingkat kerusakan bangunan gedung dan ketentuan klasifikasinya. 49 Bagian Kelima Pembongkaran Paragraf 1 Umum Pasal 118 (1) Pembongkaran bangunan gedung meliputi kegiatan penetapan pembongkaran dan pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung, yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembongkaran secara umum serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara tertib dan mempertimbangkan keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya. (3) Pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan ketetapan perintah pembongkaran atau persetujuan pembongkaran oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah. Paragraf 2 Penetapan Pembongkaran Pasal 119 (1) Pemerintah Daerah mengidentifikasi bangunan gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau laporan dari masyarakat. (2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bangunan gedung yang didirikan bukan pada tempatnya berdasarkan rencana tata ruang yang berlaku; b. bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi; c. bangunan gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya; d. bangunan gedung yang tidak memiliki IMB; dan/atau e. bangunan gedung yang pemiliknya menginginkan tampilan baru. (3) Pemerintah Daerah menyampaikan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik/pengguna bangunan gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar. (4) Berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemilik/pengguna/pengelola bangunan gedung wajib melakukan pengkajian teknis dan menyampaikan hasilnya kepada Pemerintah Daerah. (5) Apabila hasil pengkajian tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Daerah menetapkan bangunan gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran atau surat pesetujuan pembongkaran dari Bupati, yang memuat batas waktu dan prosedur pembongkaran serta sanksi atas pelanggaran yang terjadi. (6) Dalam hal pemilik/pengguna/pengelola bangunan gedung tidak melaksanakan perintah pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pembongkaran akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban 50 biaya pemilik/pengguna/pengelola bangunan gedung, kecuali bagi pemilik bangunan rumah tinggal yang tidak mampu, biaya pembongkarannya menjadi beban Pemerintah Daerah. Paragraf 3 Rencana Teknis Pembongkaran Pasal 120 (1) Pembongkaran bangunan gedung yang pelaksanaannya dapat menimbulkan dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang disusun oleh penyedia jasa perencanaan teknis yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai. (2) Rencana teknis pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetujui oleh Pemerintah Daerah, setelah mendapat pertimbangan dari TABG. (3) Dalam hal pelaksanaan pembongkaran berdampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan, pemilik dan/atau Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada masyarakat di sekitar bangunan gedung, sebelum pelaksanaan pembongkaran. (4) Pelaksanaan pembongkaran mengikuti prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Paragraf 4 Pelaksanaan Pembongkaran Pasal 121 (1) Pembongkaran bangunan gedung dapat dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung atau menggunakan penyedia jasa pembongkaran bangunan gedung yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai. (2) Pembongkaran bangunan gedung yang menggunakan peralatan berat dan/atau bahan peledak harus dilaksanakan oleh penyedia jasa pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai sertifikat keahlian yang sesuai. (3) Pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak melaksanakan pembongkaran dalam batas waktu yang ditetapkan dalam surat perintah pembongkaran, pelaksanaan pembongkaran dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban biaya pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung. Paragraf 5 Pengawasan Pembongkaran Bangunan Gedung Pasal 122 (1) Pengawasan pembongkaran bangunan gedung tidak sederhana dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai. 51 (2) Pembongkaran bangunan gedung tidak sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana teknis yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Daerah. (3) Hasil pengawasan pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada Pemerintah Daerah. (4) Pemerintah Daerah melakukan pemantauan atas pelaksanaan kesesuaian laporan pelaksanaan pembongkaran dengan rencana teknis pembongkaran. Bagian Keenam Penyelenggaraan Bangunan Gedung Pascabencana Paragraf 1 Penanggulangan Darurat Pasal 123 (1) Penanggulangan darurat merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi sementara waktu akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam yang menyebabkan rusaknya bangunan gedung yang menjadi hunian atau tempat beraktivitas. (2) Penanggulangan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau kelompok masyarakat. (3) Penanggulangan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah terjadinya bencana alam sesuai dengan skalanya yang mengancam keselamatan bangunan gedung dan penghuninya. (4) Skala bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dalam setiap tingkatan pemerintahan yaitu: a. Presiden untuk bencana alam dengan skala nasional; b. Gubernur untuk bencana alam dengan skala provinsi; c. Bupati untuk bencana alam skala kabupaten. (5) Di dalam menetapkan skala bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada peraturan perundang-undangan terkait. Paragraf 2 Bangunan Gedung Umum Sebagai Tempat Penampungan Pasal 124 (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya penanggulangan darurat berupa penyelamatan dan penyediaan penampungan sementara. (2) Penampungan sementara pengungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada lokasi yang aman dari ancaman bencana dalam bentuk tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi berupa tempat penampungan massal, penampungan keluarga atau individual. (3) Bangunan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan fasilitas penyediaan air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai. (4) Penyelenggaraan bangunan penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati berdasarkan persyaratan teknis sesuai dengan lokasi bencananya. Bagian Ketujuh 52 Rehabilitasi Pascabencana Paragraf 1 Umum Pasal 125 (1) Bangunan gedung yang rusak akibat bencana dapat diperbaiki atau dibongkar sesuai dengan tingkat kerusakannya. (2) Bangunan gedung yang rusak tingkat sedang dan masih dapat diperbaiki, dapat dilakukan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. (3) Rehabilitasi bangunan gedung yang berfungsi sebagai hunian rumah tinggal pascabencana berbentuk pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat. (4) Bantuan perbaikan rumah masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dana, peralatan, material, dan sumber daya manusia. (5) Persyaratan teknis rehabilitasi bangunan gedung yang rusak disesuaikan dengan karakteristik bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan dengan memperhatikan standar konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi. (6) Pelaksanaan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui bimbingan teknis dan bantuan teknis oleh instansi/ lembaga terkait. (7) Tata cara dan persyaratan rehabilitasi bangunan gedung pascabencana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. (8) Dalam melaksanakan rehabilitasi bangunan gedung hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Daerah memberikan kemudahan kepada pemilik bangunan gedung yang akan direhabilitasi berupa: a. Pengurangan atau pembebasan biaya IMB, atau b. Pemberian desain prototip yang sesuai dengan karakter bencana, atau c. Pemberian bantuan konsultansi penyelenggaraan rekonstruksi bangunan gedung, atau d. Pemberian kemudahan kepada permohonan SLF; e. Bantuan lainnya. (9) Untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi bangunan gedung hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati dapat menyerahkan kewenangan penerbitan IMB kepada pejabat pemerintahan di tingkat paling bawah. (10) Rehabilitasi rumah hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui proses peran masyarakat di lokasi bencana, dengan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. (11) Tata cara penerbitan IMB bangunan gedung hunian rumah tinggal pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80. (12) Tata cara penerbitan SLF bangunan gedung hunian rumah tinggal pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104. Pasal 126 53 Rumah tinggal yang mengalami kerusakan akibat bencana dapat dilakukan rehabilitasi dengan menggunakan konstruksi bangunan gedung yang sesuai dengan karakteristik bencana. BAB V TIM AHLI BANGUNAN GEDUNG (TABG) Bagian Kesatu Pembentukan TABG Pasal 127 (1) TABG dibentuk dan ditetapkan oleh Bupati. (2) TABG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah ditetapkan oleh Bupati selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah peraturan daerah ini dinyatakan berlaku efektif. Pasal 128 (1) Susunan keanggotaan TABG terdiri dari: a. Pengarah b. Ketua c. Wakil Ketua d. Sekretaris e. Anggota (2) Keanggotaan TABG terdiri dari unsur-unsur: a. asosiasi profesi; b. masyarakat ahli di luar disiplin bangunan gedung termasuk masyarakat adat; c. perguruan tinggi; d. instansi pemerintah. (3) Keterwakilan unsur-unsur asosiasi profesi, perguruan tinggi, dan masyarakat ahli termasuk masyarakat adat, minimum sama dengan keterwakilan unsur-unsur instansi Pemerintah Daerah. (4) Keanggotaan TABG tidak bersifat tetap. (5) Setiap unsur diwakili oleh 1 (satu) orang sebagai anggota. (6) Nama-nama anggota TABG diusulkan oleh asosiasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat ahli termasuk masyarakat adat yang disimpan dalam database daftar anggota TABG. Bagian Kedua Tugas dan Fungsi Pasal 129 (1) TABG mempunyai tugas: a. Memberikan pertimbangan teknis berupa nasehat, pendapat, dan pertimbangan profesional pada pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum. b. Memberikan masukan tentang program dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi yang terkait. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, TABG mempunyai fungsi: 54 a. Pengkajian dokumen rencana teknis yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; b. Pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan tentang persyaratan tata bangunan. c. Pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan tentang persyaratan keandalan bangunan gedung. (3) Disamping tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TABG dapat membantu: a. Pembuatan acuan dan penilaian; b. Penyelesaian masalah; c. Penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar. Pasal 130 (1) Masa kerja TABG ditetapkan 1 (satu) tahun anggaran. (2) Masa kerja TABG dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Pembiayaan TABG Pasal 131 (1) Biaya pengelolaan database dan operasional anggota TABG dibebankan pada APBD Pemerintah Daerah. (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Biaya pengelolaan database. b. Biaya operasional TABG yang terdiri dari: 1. Biaya sekretariat; 2. Persidangan; 3. Honorarium dan tunjangan; 4. Biaya perjalanan dinas. (3) Pelaksanaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati. BAB VI PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG Paragraf 1 Lingkup Peran Masyarakat Pasal 132 Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dapat terdiri atas: a. pemantauan dan penjagaan ketertiban penyelenggaraan bangunan gedung; b. pemberian masukan kepada Pemerintah Daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung; c. penyampaian pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan RTBL, rencana teknis bangunan tertentu dan 55 kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan; d. pengajuan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kepentingan umum. Pasal 133 (1) Objek pemantauan dan penjagaan ketertiban penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf a meliputi kegiatan pembangunan, kegiatan pemanfaatan, kegiatan pelestarian termasuk perawatan dan/atau pemugaran bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan dan/atau kegiatan pembongkaran bangunan gedung. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dilakukan secara objektif; b. dilakukan dengan penuh tanggung jawab; c. dilakukan dengan tidak menimbulkan gangguan kepada pemilik/pengguna bangunan gedung, masyarakat dan lingkungan; d. dilakukan dengan tidak menimbulkan kerugian kepada pemilik/pengguna bangunan gedung, masyarakat dan lingkungan. (3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau organisasi kemasyarakatan melalui kegiatan pengamatan, penyampaian masukan, usulan dan pengaduan terhadap: a. bangunan gedung yang ditengarai tidak laik fungsi; b. bangunan gedung yang pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan/atau pembongkarannya berpotensi menimbulkan tingkat gangguan bagi pengguna dan/ atau masyarakat dan lingkungannya; c. bangunan gedung yang pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan/atau pembongkarannya berpotensi menimbulkan tingkat bahaya tertentu bagi pengguna dan/atau masyarakat dan lingkungannya. d. bangunan gedung yang ditengarai melanggar ketentuan perizinan dan lokasi bangunan gedung. (4) Hasil pantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan secara tertulis kepada Pemerintah Daerah secara langsung atau melalui TABG. (5) Pemerintah Daerah wajib menanggapi dan menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penelitian dan evaluasi secara administratif dan secara teknis melalui pemeriksaan lapangan dan melakukan tindakan yang diperlukan serta menyampaikan hasilnya kepada pelapor. Pasal 134 (1) Penjagaan ketertiban penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf a dapat dilakukan oleh masyarakat melalui: a. pencegahan perbuatan perorangan atau kelompok masyarakat yang dapat mengurangi tingkat keandalan bangunan gedung; b. pencegahan perbuatan perseorangan atau kelompok masyarakat yang dapat menggangu penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya. 56 (2) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat melaporkan secara lisan dan/atau tertulis kepada: a. Pemerintah Daerah melalui instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban. b. Pihak pemilik, pengguna atau pengelola bangunan gedung. (3) Pemerintah Daerah wajib menanggapi dan menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melakukan penelitian dan evaluasi secara administratif dan secara teknis melalui pemeriksaan lapangan dan melakukan tindakan yang diperlukan serta menyampaikan hasilnya kepada pelapor. Pasal 135 (1) Objek pemberian masukan atas penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf b meliputi masukan terhadap penyusunan dan/atau penyempurnaan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung di lingkungan Pemerintah Daerah. (2) Pemberian masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menyampaikannya secara tertulis oleh: a. perorangan; b. kelompok masyarakat; c. organisasi kemasyarakatan; d. masyarakat ahli; atau e. masyarakat hukum adat. (3) Masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun dan/atau menyempurnakan peraturan, pedoman dan standar teknis di bidang bangunan gedung. Pasal 136 (1) Penyampaian pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan RTBL, rencana teknis bangunan tertentu dan kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf c bertujuan untuk mendorong masyarakat agar merasa berkepentingan dan bertanggungjawab dalam penataan bangunan gedung dan lingkungannya. (2) Penyampaian pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh: a. perorangan; b. kelompok masyarakat; c. organisasi kemasyarakatan; d. masyarakat ahli, atau e. masyarakat hukum adat. (3) Pendapat dan pertimbangan masyarakat untuk RTBL yang lingkungannya berdiri bangunan gedung tertentu dan/atau terdapat kegiatan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dapat disampaikan melalui TABG atau dibahas dalam forum dengar pendapat masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus difasilitasi oleh Pemerintah melalui koordinasi dengan Pemerintah Daerah. 57 (4) Hasil dengar pendapat dengan masyarakat dapat dijadikan pertimbangan dalam proses penetapan rencana teknis oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Paragraf 2 Forum Dengar Pendapat Pasal 137 (1) Forum dengar pendapat diselenggarakan untuk memperoleh pendapat dan pertimbangan masyarakat atas penyusunan RTBL, rencana teknis bangunan gedung tertentu atau kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. (2) Tata cara penyelenggaraan forum dengar pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan tahapan kegiatan yaitu: a. penyusunan konsep RTBL atau rencana kegiatan penyelenggaraan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting bagi lingkungan; b. penyebarluasan konsep atau rencana sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada masyarakat khususnya masyarakat yang berkepentingan dengan RTBL dan bangunan gedung yang akan menimbulkan dampak penting bagi lingkungan; c. mengundang masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk menghadiri forum dengar pendapat. (3) Masyarakat yang diundang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah masyarakat yang berkepentingan dengan RTBL, rencana teknis bangunan gedung tertentu dan penyelenggaraan bangunan gedung yang akan menimbulkan dampak penting bagi lingkungan. (4) Hasil dengar pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam dokumen risalah rapat yang ditandatangani oleh penyelenggara dan wakil dari peserta yang diundang. (5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi simpulan dan keputusan yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh penyelenggara bangunan gedung. (6) Tata cara penyelenggaraan forum dengar pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Paragraf 3 Gugatan Perwakilan Pasal 138 (1) Gugatan perwakilan terhadap penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf d dapat diajukan ke pengadilan apabila hasil penyelenggaraan bangunan gedung telah menimbulkan dampak yang mengganggu atau merugikan masyarakat dan lingkungannya yang tidak diperkirakan pada saat perencanaan, pelaksanaan dan/atau pemantauan. (2) Gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang bertindak sebagai wakil para pihak yang dirugikan 58 akibat dari penyelenggaraan bangunan gedung yang mengganggu, merugikan atau membahayakan kepentingan umum. (3) Gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pengadilan yang berwenang sesuai dengan hukum acara gugatan perwakilan. (4) Biaya yang timbul akibat dilakukan gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan kepada pihak pemohon gugatan. (5) Dalam hal tertentu Pemerintah Daerah dapat membantu pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan menyediakan anggarannya di dalam APBD. Paragraf 4 Bentuk Peran Masyarakat dalam Tahap Rencana Pembangunan Pasal 139 Peran masyarakat dalam tahap rencana pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan dalam bentuk: a. penyampaian keberatan terhadap rencana pembangunan bangunan gedung yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Takalar; b. pemberian masukan kepada Pemerintah Daerah dalam rencana pembangunan bangunan gedung; c. pemberian masukan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pertemuan konsultasi dengan masyarakat tentang rencana pembangunan bangunan gedung. Paragraf 5 Bentuk Peran Masyarakat dalam Proses Pelaksanaan Konstruksi Pasal 140 Peran masyarakat dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dapat dilakukan dalam bentuk: a. Menjaga ketertiban dalam kegiatan pembangunan; b. Mencegah perbuatan perseorangan atau kelompok yang dapat mengurangi tingkat keandalan bangunan gedung dan/atau mengganggu penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan; c. Melaporkan kepada instansi yang berwenang atau kepada pihak yang berkepentingan atas perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. Melaporkan kepada instansi yang berwenang tentang aspek teknis pembangunan bangunan gedung yang membahayakan kepentingan umum; e. Melakukan gugatan ganti rugi kepada penyelenggara bangunan gedung atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari penyelenggaraan bangunan gedung. Paragraf 6 Bentuk Peran Masyarakat dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung 59 Pasal 141 Peran masyarakat dalam pemanfaatan bangunan gedung dapat dilakukan dalam bentuk: a. Menjaga ketertiban dalam kegiatan pemanfaatan bangunan gedung; b. Mencegah perbuatan perorangan atau kelompok yang dapat mengganggu pemanfaatan bangunan gedung; c. Melaporkan kepada instansi yang berwenang atau kepada pihak yang berkepentingan atas penyimpangan pemanfaatan bangunan gedung; d. Melaporkan kepada instansi yang berwenang tentang aspek teknis pemanfaatan bangunan gedung yang membahayakan kepentingan umum; e. Melakukan gugatan ganti rugi kepada penyelenggara bangunan gedung atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari penyimpangan pemanfaatan bangunan gedung. Paragraf 7 Bentuk Peran Masyarakat dalam Pelestarian Bangunan Gedung Pasal 142 Peran masyarakat dalam pelestarian bangunan gedung dapat dilakukan dalam bentuk: a. Memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau pemilik bangunan gedung tentang kondisi bangunan gedung yang tidak terpelihara, yang dapat mengancam keselamatan masyarakat, dan yang memerlukan pemeliharaan; b. Memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau pemilik bangunan gedung tentang kondisi bangunan gedung bersejarah yang kurang terpelihara dan terancam kelestariannya; c. Memberikan informasi kepada instansi yang berwenang atau pemilik bangunan gedung tentang kondisi bangunan gedung yang kurang terpelihara dan mengancam keselamatan masyarakat dan lingkungannya; d. Melakukan gugatan ganti rugi kepada pemilik bangunan gedung atas kerugian yang diderita masyarakat akibat dari kelalaian pemilik di dalam melestarikan bangunan gedung. Paragraf 8 Bentuk Peran Masyarakat dalam Pembongkaran Bangunan Gedung Pasal 143 Peran masyarakat dalam pembongkaran bangunan gedung dapat dilakukan dalam bentuk: a. Mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang atas rencana pembongkaran bangunan gedung yang masuk dalam kategori cagar budaya; b. Mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang atau pemilik bangunan gedung atas metode pembongkaran yang mengancam keselamatan atau kesehatan masyarakat dan lingkungannya; c. Melakukan gugatan ganti rugi kepada instansi yang berwenang atau pemilik bangunan gedung atas kerugian yang diderita masyarakat dan 60 lingkungannya akibat yang timbul dari pelaksanaan pembongkaran bangunan gedung; d. Melakukan pemantauan atas pelaksanaan pembangunan bangunan gedung. Paragraf 9 Tindak Lanjut Pasal 144 Instansi yang berwenang wajib menanggapi keluhan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 dengan melakukan kegiatan tindak lanjut baik secara teknis maupun secara administratif untuk dilakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VII PEMBINAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 145 (1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada penyelenggara bangunan gedung. Bagian Kedua Pengaturan Pasal 146 (1) Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dituangkan ke dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati sebagai kebijakan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan ke dalam pedoman teknis, standar teknis bangunan gedung dan tata cara operasionalisasinya. (3) Di dalam penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Takalar dan dengan mempertimbangkan pendapat tenaga ahli di bidang penyelenggaraan bangunan gedung. (4) Pemerintah Daerah menyebarluaskan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada penyelenggara bangunan gedung. 61 Bagian Ketiga Pemberdayaan Pasal 147 (1) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada penyelenggara bangunan gedung. (2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui peningkatan profesionalitas penyelenggara bangunan gedung dengan penyadaran akan hak dan kewajiban dan peran dalam penyelenggaraan bangunan gedung terutama di daerah rawan bencana. (3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pendataan, sosialisasi, penyebarluasan dan pelatihan di bidang penyelenggaraan bangunan gedung. Pasal 148 Pemberdayaan terhadap masyarakat yang belum mampu memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung melalui: a. Forum dengar pendapat dengan masyarakat; b. Pendampingan pada saat penyelenggaraan bangunan gedung dalam bentuk kegiatan penyuluhan, bimbingan teknis, pelatihan dan pemberian tenaga teknis pendamping; c. Pemberian bantuan percontohan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis dalam bentuk pemberian stimulan bahan bangunan yang dikelola masyarakat secara bergulir; dan/atau d. Bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dalam bentuk penyiapan RTBL serta penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman. Pasal 149 Bentuk dan tata cara pelaksanaan forum dengar pendapat dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 huruf a diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Bagian Keempat Pengawasan Pasal 150 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah di bidang penyelenggaraan bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan IMB, SLF, dan surat persetujuan dan penetapan pembongkaran bangunan gedung. (2) Dalam pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan bangunan gedung, Pemerintah Daerah dapat melibatkan peran masyarakat: a. dengan mengikuti mekanisme yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah; b. pada setiap tahapan penyelenggaraan bangunan gedung; c. dengan mengembangkan sistem pemberian penghargaan berupa tanda jasa dan/ atau insentif untuk meningkatkan peran masyarakat. 62 BAB VIII SANKSI Bagian Kesatu Bentuk Sanksi Pasal 151 Pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam IMB dan/atau SLF dapat dikenai sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana. Pasal 152 (1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan pembangunan; c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; e. pembekuan IMB gedung; f. pencabutan IMB gedung; g. pembekuan SLF bangunan gedung; h. pencabutan SLF bangunan gedung; atau i. perintah pembongkaran bangunan gedung. (2) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperberat dengan pengenaan sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. (3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetor ke rekening kas Pemerintah Daerah. (4) Jenis pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didasarkan pada berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan setelah mendapatkan pertimbangan TABG. Pasal 153 (1) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 151 peraturan daerah ini, yang mengakibatkan kerugian harta benda orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, dan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan dan penggantian kerugian yang diderita. (2) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan daerah ini, yang mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain atau mengakibatkan cacat seumur hidup diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan dan penggantian kerugian yang diderita. (3) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan daerah ini, yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) 63 tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan dan penggantian kerugian yang diderita. (4) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) hakim harus memperhatikan pertimbangan TABG. Pasal 154 (1) Setiap orang atau badan hukum yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan ini sehingga mengakibatkan bangunan tidak laik fungsi dapat dipidana kurungan, pidana denda dan penggantian kerugian. (2) Pidana kurungan, pidana denda dan penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 1% (satu per seratus) dari nilai bangunan dan ganti kerugian jika mengakibatkan kerugian harta benda orang lain; b. Pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 2% (dua per seratus) dari nilai bangunan dan ganti kerugian jika mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain sehingga menimbulkan cacat; c. Pidana kurungan paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak 3% (tiga per seratus) dari nilai bangunan dan ganti kerugian jika mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Bagian Kedua Penyidikan Pasal 155 (1) Penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah ini, pada tahap pertama dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah. (2) Di dalam melaksanakan tugasnya, PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau badan tentang adanya pelanggaran; b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian serta melakukan pemeriksaan; c. Memanggil seseorang untuk didengar keterangannya; d. Mendengar keterangan ahli yang diperlukan dalam hubungan pemeriksaan perkara; e. Melakukan tindakan lain yang diperlukan. (3) Apabila di dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan adanya petunjuk tindak pidana, PPNS melaporkannya kepada penyidik umum. (4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang membuat berita acara pemeriksaan. (5) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini, disampaikan kepada penyidik umum. 64 BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 156 (1) Permohonan IMB yang telah masuk/terdaftar sebelum berlakunya peraturan daerah ini, tetap diproses sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku sebelumnya. (2) Pemilik bangunan gedung yang pada saat berlakunya peraturan daerah ini belum memiliki IMB wajib mengajukan permohonan IMB selambatlambatnya 180 (seratur delapan puluh) hari setelah peraturan daerah ini dinyatakan berlaku dengan dilengkapi SLF. (3) Dalam hal bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan perundang-undangan lainnya, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Bupati. (4) Pemilik bangunan gedung yang mengubah fungsi bangunan gedung yang telah memiliki IMB wajib mengajukan permohonan IMB baru. (5) Dalam hal bangunan gedung yang sudah memiliki IMB namun tidak sesuai dan/atau tidak memenuhi persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan gedung sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini, maka bangunan gedung tersebut perlu dilakukan perbaikan (retrofitting) secara bertahap, yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bupati. (6) Dalam hal bangunan gedung yang sudah memiliki IMB namun tidak memiliki SLF, secara bertahap perlu mengajukan permohonan SLF yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bupati. (7) Pemberlakuan IMB dan SLF ditentukan sebagai berikut: a. Bangunan umum 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya peraturan ini; b. Bangunan hunian nonsederhana 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya peraturan ini; c. Bangunan hunian sederhana 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya peraturan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 157 Untuk kawasan-kawasan tertentu, dengan pertimbangan tertentu dapat ditetapkan peraturan bangunan gedung secara khusus oleh Bupati berdasarkan RTRW dengan tetap memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Pasal 158 Dengan berlakunya peraturan daerah ini, Peraturan Daerah Kabupaten Takalar terkait tentang Bangunan Gedung berikut perubahannya dinyatakan tidak berlaku lagi. 65 Pasal 159 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Bupati. Pasal 160 Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.

METADATA PERATURAN

Tipe Dokumen
Peraturan Perundang-undangan
Judul
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 02 Tahun 2013 tentang BANGUNAN GEDUNG
T.E.U.
Indonesia, Kabupaten Takalar
Nomor
02
Bentuk
Peraturan Daerah (Perda)
Bentuk Singkat
Perda
Tahun
2013
Tempat Penetapan
Pattallassang
Tanggal Penetapan
15 Juli 2013
Tanggal Pengundangan
15 Juli 2013
Tanggal Berlaku
15 Juli 2013
Sumber
LD.2013/NO.02
Subjek
KONSTRUKSI, SIPIL, ARSITEK, BANGUNAN, DAN INFRASTRUKTUR
Status
Berlaku
Bahasa
Bahasa Indonesia
Lokasi
Pemerintah Kabupaten Takalar
Bidang
Halaman ini telah diakses 1001 kali

UJI MATERI

Belum Tersedia

STATUS PERATURAN

Belum Tersedia

TENTANG DATABASE PERATURAN

Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat

KONTAK
  • Sekretariat Website JDIH BPK
  • Ditama Binbangkum - BPK
  • Jalan Gatot Subroto 31
  • Jakarta Pusat, 10210
  • Telp (021) 25549000 ext. 1521

© Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
Badan Pemeriksa Keuangan