Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Takalar Nomor 08 Tahun 2012

PAJAK DAERAH

MATERI POKOK PERATURAN

Abstrak

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Takalar. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah lainnya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Bupati adalah Bupati Takalar. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Dinas adalah Dinas Pengelola Keuangan atau SKPD yang menangani Pendapatan Daerah di Kabupaten Takalar. 6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 8. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah 4 (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 9. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Takalar. 10. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak Daerah sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak Daerah dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 11. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. 12. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, cottage, villa, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) kamar. 13. Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan usaha hotel. 14. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. 15. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. 16. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan usaha restoran atau rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya serta jasa boga/katering. 17. Jasa Boga atau Katering adalah penyediaan makanan dan/atau minuman lengkap dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya, untuk keperluan tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis atau tidak tertulis. 18. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. 19. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. 20. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan hiburan. 21. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. 22. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. 23. Penyelenggara reklame adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya yang menyelenggarakan reklame. 24. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. 5 25. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 26. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. 27. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. 28. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. 29. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 30. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 31. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 32. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. 33. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.\ 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Kota. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan dan/atau laut. 36. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 37. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. 38. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah. 39. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah. 40. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. 6 41. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 42. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek pajak dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya. 43. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah. 44. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subyek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 45. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati. 46. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang. 47. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajb Pajak. 48. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. 49. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 52. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 53. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan 7 ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 54. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 55. Putusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 56. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. 57. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. 58. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah. 59. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 60. Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB II JENIS PAJAK DAERAH Pasal 2 Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; 8 d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; dan j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. BAB III PAJAK HOTEL Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 3 Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan di hotel. Pasal 4 (1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. (2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. (3) Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya; c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum. Pasal 5 (1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. (2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 6 Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel. 9 Pasal 7 Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Pasal 8 Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 9 (1) Pajak Hotel yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. (2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan hotel diberikan, pajak terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran. Bagian Keempat Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan Pasal 10 (1) Setiap Wajib Pajak Hotel wajib menggunakan bon penjualan untuk setiap transaksi pelayanan di hotel. (2) Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi tidak menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak. (3) Tata cara penggunaan bon penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2), diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 11 (1) Setiap Wajib Pajak hotel wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan kepada Kepala Dinas. (2) Wajib Pajak Hotel yang wajib melegalisasi bon penjualan tetapi menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak. BAB IV PAJAK RESTORAN Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Pajak Pasal 12 Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan di restoran. Pasal 13 (1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran. 10 (2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. (3) Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per hari. Pasal 14 (1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran. (2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 15 Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Pasal 16 (1) Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). (2) Khusus terhadap kegiatan usaha kecil dan/atau bersifat insidentil dikenakan tarif pajak sebesar 5% (lima persen). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha kecil dan/atau bersifat insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 17 Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 18 (1) Pajak Restoran yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran. (2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan restoran diberikan, pajak terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran. Bagian Keempat Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan Pasal 19 (1) Setiap Wajib Pajak Restoran wajib menggunakan bon penjualan untuk setiap transaksi pelayanan restoran. 11 (2) Bagi Wajib Pajak Restoran yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi tidak menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak. (3) Tata cara penggunaan bon penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2), diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 20 (1) Wajib Pajak Restoran wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan kepada Kepala Dinas. (2) Wajib Pajak Restoran yang wajib melegalisasi bon penjualan tetapi menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari Dasar Pengenaan Pajak. BAB V PAJAK HIBURAN Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 21 Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Pasal 22 (1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran, yaitu: a. tontonan film; b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; d. pameran; e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; f. sirkus, akrobat, dan sulap; g. permainan bilyard, golf, dan boling; h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan j. pertandingan olahraga; (2) Tidak termasuk objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, antara lain hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan sejenisnya. Pasal 23 (1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan. (2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. 12 Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 24 (1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. (2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan. Pasal 25 (1) Tarif pajak untuk setiap jenis hiburan ditetapkan sebagai berikut: a. Pagelaran kesenian rakyat/tradisional, sebesar 5 % (lima persen); b. Pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, pertandingan olah raga, sebesar 15% (lima belas persen; c. tontonan film, sebesar 20% (dua puluh persen); d. pertunjukan pagelaran musik, tari, sebesar 25% (dua puluh lima persen); e. pacuan kuda, kendaraan bermotor sebesar 30% (tiga puluh persen). (2) Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai berikut: a. permainan ketangkasan sebesar 20% (dua puluh lima persen); b. Panti pijat, refleksi, permainan billyard, boling, golf, sebesar 35% (tiga puluh lima persen); c. mandi uap/spa, pagelaran busana, kontes kecantikan, sebesar 40% (empat puluh persen); d. karaoke, sebesar 45% (empat puluh lima persen); e. diskotik, klab malam, sebesar 60% (enam puluh persen). (3) Penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk tetapi tidak menggunakan tanda masuk atau tidak mencantumkan harga tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sangksi berupa denda sebesar 30%(tiga puluh persen). Pasal 26 Besarnya pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 27 (1) Pajak Hiburan yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. (2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang terjadi pada saat dilakukan pembayaran. 13 Bagian Keempat Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan Pasal 28 (1) Penyelenggara Hiburan berupa diskotik, musik hidup (live show), karaoke, klub malam, ruang music (music room), balai gita (singing hall), pub, ruang salesa musik (music lounge), klub eksekutif dan kegiatan lainnya wajib menggunakan bon penjualan yang menunjukkan terjadinya pesanan atau transaksi pembayaran. (2) Pengecualian kewajiban Wajib Pajak Hiburan untuk menggunakan bon penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dengan cara mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas. (3) Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan, tetapi tidak menggunakan bon penjualan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak. Pasal 29 (1) Bon Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), harus mendapat pengesahan berupa legalisasi/perporasi dari Dinas. (2) Penyelenggara Hiburan dapat mengajukan permohonan dispensasi kewajiban melegalisasi/perporasi bon penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Dinas. (3) Wajib Pajak Hiburan yang wajib melegalisasi/perporasi bon penjualan tetapi menggunakan bon penjualan yang tidak dilegalisasi/perporasi dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) per bulan dari dasar pengenaan pajak BAB VI PAJAK REKLAME Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 30 Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas setiap penyelenggaraan reklame. Pasal 31 (1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame. (2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron/ large electronic display (LED) dan sejenisnya; b. reklame kain; c. reklame melekat, stiker; d. reklame selebaran; e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan; f. reklame udara; g. reklame apung; h. reklame suara; 14 i. reklame film/slide; dan j. reklame peragaan. (3) Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah : a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya; c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut; d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, Perwakilan Diplomatik, Perwakilan konsulat, Perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa serta badan/lembaga yang bernaung di bawahnya; e. reklame yang diselenggarakan semata-mata memuat nama tempat ibadah dan tempat panti asuhan; f. reklame yang diselenggarakan untuk kegiatan sosial, Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan. Pasal 32 (1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame. (2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. (3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut. (4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 33 (1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. (2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Nilai Kontrak Reklame. (3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame. (4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Cara perhitungan nilai sewa reklame adalah sebagai berikut : NSR(Nilai Sewa Reklame) NSR = Ukuran x Jenis x Jangka waktu x Lokasi. (6) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. 15 Pasal 34 Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pasal 35 Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 36 Pajak Reklame yang terutang terjadi pada saat penyelenggaraan reklame atau saat diterbitkan SKPD. BAB VII PAJAK PENERANGAN JALAN Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 37 Dengan nama Pajak Penerangan Jalan dipungut pajak atas setiap penggunaan listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Pasal 38 (1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. (2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik. (3) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. penggunaan tenaga listrik oleh Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, perwakilan asing dengan asas timbal balik; c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan d. penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah. Pasal 39 (1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan tenaga listrik. (2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik. (3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik. 16 Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 40 (1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. (2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan : a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik; b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan; c. harga satuan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada harga satuan listrik yang berlaku untuk Perusahaan Listrik Negara. Pasal 41 Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebagai berikut: a. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain bukan untuk industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, sebesar 10% (sepuluh persen); b. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain untuk industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, sebesar 3% (tiga persen); c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, sebesar 1,5% (satu koma lima persen). Pasal 42 (1) Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. (2) Dalam hal pajak yang terutang dipungut oleh Perusahaan Listrik Negara, besaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan Perusahaan Listrik Negara. (3) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 43 Pajak Penerangan Jalan yang terutang terjadi pada saat penggunaan tenaga listrik. BAB VIII PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN Bagian Kesatu Nama, Objek dan Subjek Pajak Pasal 44 Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut pajak atas setiap pengambilan mineral bukan logam dan batuan. 17 Pasal 45 (1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi: a. asbes; b. batu tulis; c. batu setengah permata; d. batu kapur; e. batu apung; f. batu permata; g. bentonit; h. dolomit; i. feldspar; j. garam batu (halite); k. grafit; l. granit/andesit; m. gips; n. kalsit; o. kaolin; p. leusit; q. magnesit; r. mika; s. marmer; t. nitrat; u. opsidien; v. oker; w. pasir dan kerikil; x. pasir kuarsa; y. perlit; z. phospat; aa. talk; bb. tanah serap (fuller earth); cc. tanah diatome; dd. tanah liat; ee. tawas (alum); ff. tras; gg. yarosif; hh. zeolit; ii. basal; jj. trakkit; dan kk. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyata- nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; b. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial. 18 Pasal 46 (1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan yang dapat mengambil mineral bukan logam dan batuan. (2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 47 (1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis mineral bukan logam dan batuan. (3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 )sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan. Pasal 48 Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pasal 49 Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 50 Pajak Mineral Bukan Logam dan batuan yang terutang terjadi pada saat kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang dimanfaatkan secara komersial. BAB IX PAJAK PARKIR Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 51 Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan. 19 Pasal 52 (1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. (2) Tidak termasuk objek Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; d. penyelenggaraan tempat parkir yang semata-mata digunakan untuk usaha memperdagangkan kendaraan bermotor; e. penyelenggaraan fasilitas parkir tempat-tempat ibadah. Pasal 53 (1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor. (2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 54 (1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir. (2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir. Pasal 55 Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen). Pasal 56 Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 57 Pajak Parkir yang terutang terjadi pada saat terjadinya pembayaran atas parkir. 20 BAB X PAJAK AIR TANAH Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 58 Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Pasal 59 (1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. (2) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah: a. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan c. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan pemadaman kebakaran. Pasal 60 (1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. (2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 61 (1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. (2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut: a. jenis sumber air; b. lokasi sumber air; c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; e. kualitas air; dan f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. (3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati yang dapat ditinjau kembali secara periodik paling lama setahun sekali. 21 Pasal 62 Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen). Pasal 63 Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 64 Pajak Air Tanah yang terutang terjadi pada saat diterbitkan SKPD. BAB XI PAJAK SARANG BURUNG WALET Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 65 Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. Pasal 66 (1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. (2) Tidak termasuk objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pasal 67 (1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. (2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 68 (1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet. (2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet dengan volume sarang burung walet. (3) Harga pasaran umum sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan secara periodik dengan Peraturan Bupati. 22 Pasal 69 Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Pasal 70 Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68. Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 71 Pajak Sarang Burung Walet yang terutang terjadi pada saat pengambilan sarang burung walet. BAB XII PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN Bagian Kesatu Nama, Objek, Subjek dan Wajib Pajak Pasal 72 Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut pajak atas kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan bumi dan/atau bangunan. Pasal 73 (1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. (2) Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut; b. jalan tol; d. kolam renang; e. pagar mewah; f. tempat olahraga; g. galangan kapal, dermaga; h. taman mewah; i. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan j. menara. (3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang : a. digunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; 23 b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional; c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f. digunakan oleh badan, atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. (4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap WajIb Pajak. Pasal 74 (1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. (2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Bagian Kedua Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 75 (1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP. (2) Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah. (3) Penetapan besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati. Pasal 76 (1) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). (2) Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4). 24 Bagian Ketiga Saat Terutang Pajak Pasal 77 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang ditentukan berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. BAB XIII WILAYAH PEMUNGUTAN Pasal 78 Pajak yang terutang dipungut di dalam wilayah Daerah. BAB XIV MASA PAJAK Pasal 79 Masa pajak adalah jangka waktu 1 ( satu ) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 ( tiga ) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. BAB XV PEMUNGUTAN PAJAK Bagian Kesatu Tata Cara Pemungutan Pasal 80 (1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan. (2) Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. (3) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah : a. Pajak Reklame; b. Pajak Air Tanah; dan c. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. (4) Jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Penerangan Jalan; e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; f. Pajak Parkir; dan g. Pajak Sarang Burung Walet; (5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati atau Pejabat, membayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. (6) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa karcis dan nota perhitungan. (7) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri membayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT. 25 Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (5) dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Bupati.Bagian Kedua SPTPD Pasal 82 (1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD dengan benar, lengkap dan jelas serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dinas. (2) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. (3) Batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak. (4) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka SPTPD disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Apabila SPTPD tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atau melampaui batas waktu 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD diterima, dapat diterbitkan Surat Teguran. Pasal 83 Wajib Pajak atas kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan ketentuan Dinas belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Bagian Ketiga SPOP Pasal 84 (1) Untuk pendataan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dilakukan dengan menggunakan SPOP. (2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Bupati atau Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak. BAB XVI TATA CARA PEMBAYARAN Pasal 85 (1) Bupati atau Pejabat menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak, dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. 26 (2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. (3) Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus dan lunas dengan menggunakan SSPD di Kas Daerah melalui Bendaharawan Khusus Penerima atau di tempat lain yang ditunjuk Bupati dan dicatat pada Buku Penerimaan. (4) Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk, hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lama 1 x 24 jam atau dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bupati atau Pejabat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran dan tempat pembayaran diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 86 (1) Bupati atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur pembayaran pajak yang terutang dalam kurun waktu tertentu. (2) Angsuran pembayaran pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut. (3) Bupati atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk menunda pembayaran pajak yang terutang sampai batas waktu yang ditentukan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan, persyaratan dan pembayaran angsuran serta penundaan pembayaran pajak, diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XVII TATA CARA PENAGIHAN Bagian Kesatu STPD Pasal 87 (1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika: a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. (2) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKPD, SKPDKB dan SKPDKBT. (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 ( lima belas ) bulan sejak saat terutangnya pajak. 27 (4) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. Pasal 88 (1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding. (2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. (3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah Surat teguran atau Surat peringatan atau surat lain yang sejenis, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang terutang. (4) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh Pejabat. (5) Surat Teguran atau Surat peringatan atau surat lain yang sejenis sekurang-kurangnya memuat: a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; b. besarnya utang pajak; c. perintah untuk membayar; d. saat pelunasan utang pajak. Bagian Kedua Penagihan Seketika dan Sekaligus Pasal 89 (1) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (5), apabila: a. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usaha yang dikerjakannya di Indonesia; c. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan membubarkan kegiatan usahanya atau menggabungkan atau memekarkan usahanya atau memindahtangankan usaha yang dimiliki atau yang dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. kegiatan usaha akan dibubarkan atau ditutup oleh Pemerintah Daerah; e. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. (2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sekurang-kurangnya memuat: a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak; b. besarnya utang pajak; c. perintah untuk membayar; d. saat pelunasan utang pajak. (3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. (4) Ketentuan formal untuk pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 28 Bagian Ketiga Surat Paksa Pasal 90 (1) Apabila jumlah pajak yang belum dibayar oleh Wajib Pajak tidak dilunasi dalam batas waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, ditagih dengan Surat Paksa. (2) Bupati atau Pejabat menerbitkan Surat Paksa setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterima oleh Wajib Pajak. (3) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa. Pasal 91 (1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. (2) Ketentuan formal untuk pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan. Bagian Keempat Penyitaan Pasal 92 (1) Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), Bupati atau Pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. (2) Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak Daerah dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang dikenal oleh Juru Sita Pajak Daerah. (3) Setiap pelaksanaan penyitaan, Juru Sita Pajak Daerah membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Juru Sita Pajak Daerah, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dan saksi-saksi. Pasal 93 (1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lain yang penguasaannya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa: a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. (2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Juru Sita Pajak Daerah untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. (3) Pengajuan keberatan tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan. 29 Pasal 94 Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila: a. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak; b. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan penagihan pajak. Bagian Kelima Pelelangan Pasal 95 (1) Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah dilaksanakan penyitaan, Bupati atau Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang Negara. (2) Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan tempat pelaksanaan lelang, Juru Sita Pajak Daerah memberitahukan dengan segera secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. (3) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara: a. uang tunai disetor ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk; b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan; c. obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat; d. obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat; e. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat; f. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat. (5) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. (6) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari setelah penyitaan. (7) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. (8) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa. 30 Pasal 96 (1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak belum memperoleh keputusan keberatan. (2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri Wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak. (3) Lelang tidak dilaksanakan jika Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan pengadilan pajak atau objek lelang musnah. BAB XVIII KEDALUWARSA PENAGIHAN Pasal 97 (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. (2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung. (3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. (4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada SKPD yang membidangi pendapatan. (5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. Pasal 98 (1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. (2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak kabupaten yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati. 31 BAB XIX KEBERATAN, BANDING, DAN GUGATAN Bagian Pertama Keberatan Pasal 99 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu: a. SKPD; b. SKPDKB; c. SKPDKBT; d. SKPDLB; e. SKPDN; f. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. (2) Keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima Wajib Pajak, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dimaksud. (4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. (5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. (6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan. (7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. (8) Terhadap pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tersebut, Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar penghitungan pengenaan pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. Pasal 100 (1) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. (2) Keputusan Bupati atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan. (4) Keputusan keberatan tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan mengangsur pembayaran. 32 Bagian Kedua Banding Pasal 101 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati. (2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan. (3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. (4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan. (5) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Bagian Ketiga Gugatan Pasal 102 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan pajak terhadap: a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, atau d. penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak, jangka waktu dimaksud dapat diperpanjang. (4) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak. (5) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan. 33 BAB XX PENGURANGAN, KERINGANAN, DAN PEMBEBASAN PAJAK Pasal 103 (1) Bupati atau Pejabat berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap pajak yang telah dan/atau belum ditetapkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXI PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 104 (1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati atau Pejabat dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (2) Bupati atau Pejabat dapat: a. mengurangkan atau menghapus sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar; c. mengurangkan atau membatalkan STPD; d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak. (3) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak. (4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui, Bupati atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan. (5) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. 34 BAB XXII PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Pasal 105 (1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atau Pejabat. (2) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati atau Pejabat tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut. (5) Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan utang pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pembayarannya dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan bukti pemindahbukuan juga berlaku sebagai bukti pembayaran. (6) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB. (7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXIII PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN Pasal 106 (1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. (2) Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan itikad baik dan jujur, serta mencerminkan keadaan kegiatan usaha yang sebenarnya. (3) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. Pasal 107 (1) Bupati atau Pejabat berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan daerah ini. (2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan/omzet yang diperoleh, atau objek pajak yang terutang; 35 b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan. (3) Buku, catatan, atau dokumen, data, informasi dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 14 (empat belas) hari kalender sejak permintaan disampaikan. (4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan lain yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XXIV INSENTIF PEMUNGUTAN Pasal 108 (1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak daerah dapat diberikan Insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. (2) Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (3) Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB XXV KETENTUAN KHUSUS Pasal 109 (1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi ahli dalam sidang pengadilan; 36 b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah. (4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan buku tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. (5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. (6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. BAB XXVI PENYIDIKAN Pasal 110 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; 37 h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. BAB XXVII SANKSI ADMINISTRASI Pasal 111 (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan: a. SKPDKB dalam hal: (1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; (2) Jika SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan (3) Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi pajak yang terutang dihitung secara jabatan. b. SKPDKB jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 ( dua puluh empat ) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% ( seratus persen ) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. (5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% ( dua puluh lima persen ) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% ( dua persen ) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24(dua puluh empat )bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. 38 BAB XXVIII SANKSI PIDANA Pasal 112 (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 113 Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Pasal 114 (1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah). (2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. (4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan. Pasal 115 Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan Negara. 39 Pasal 116 (1) Petugas pajak atau seseorang yang bekerja di lingkungan Pemerintah Daerah yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan atau tugas pokok dan fungsinya memaksa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri dan/atau orang lain, sehingga merugikan keuangan daerah diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi. (2) Petugas pajak yang dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XXIX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 117 Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak terutang yang ditetapkan berdasarkan: a. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 04 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran; b. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 06 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C; c. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 1998 tentang Pajak Hiburan; d. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 03 Tahun 2000 tentang Pajak Reklame; e. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pajak Penerangan Jalan; masih tetap merupakan pajak yang terutang dan dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang, berdasarkan tata cara penagihan pajak yang diatur dalam peraturan daerah ini. BAB XXX KETENTUAN PENUTUP Pasal 118 Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, maka : a. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 04 Tahun 1998 tentang Pajak Hotel dan Restoran; b. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 06 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C; c. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 1998 tentang Pajak Hiburan; dan d. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 03 Tahun 2000 tentang Pajak Reklame; e. Peraturan Daerah Kabupaten Takalar Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pajak Penerangan Jalan; Dan semua ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 40 Pasal 119 Ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Pasal 120 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. Pasal 121 Peraturan Daerah ini berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Takalar.

METADATA PERATURAN

Tipe Dokumen
Peraturan Perundang-undangan
Judul
Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Takalar Nomor 08 Tahun 2012 tentang PAJAK DAERAH
T.E.U.
Indonesia, Kabupaten Takalar
Nomor
08
Bentuk
Peraturan Daerah (PERDA)
Bentuk Singkat
PERDA
Tahun
2012
Tempat Penetapan
Pattallassang
Tanggal Penetapan
23 Agustus 2012
Tanggal Pengundangan
23 Agustus 2012
Tanggal Berlaku
23 Agustus 2012
Sumber
LD.2012/NO.08
Subjek
PERPAJAKAN
Status
Berlaku
Bahasa
Bahasa Indonesia
Lokasi
Pemerintah Kabupaten Takalar
Bidang
Halaman ini telah diakses 565 kali

STATUS PERATURAN

Belum Tersedia

UJI MATERI MAHKAMAH KONSTITUSI

Belum Tersedia

TENTANG DATABASE PERATURAN

Database Peraturan BPK merupakan bagian dari pelaksanaan JDIH di lingkungan BPK untuk menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum secara mudah, cepat, dan akurat kepada para pengguna baik kalangan internal BPK maupun masyarakat

KONTAK
  • Sekretariat Website JDIH BPK
  • Ditama Binbangkum - BPK
  • Jalan Gatot Subroto 31
  • Jakarta Pusat, 10210
  • Telp (021) 25549000 ext. 1521

© Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
Badan Pemeriksa Keuangan